PERAN PELAKU PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM PASAR INTERNASIONAL PRODUK-PRODUK HORTIKULTURA INDONESIA [1]
Oleh: Soekirno [2]
I. Pendahuluan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden RI pada tahun 2005 yang lalu mengamanatkan bahwa sektor pertanian secara luas dijadikan andalan dalam pembangunan nasional. Selain memberikan sumbangan yang besar dalam perekonomian nasional, sektor pertanian juga berperan secara signifikan dalam penyerapan tenaga kerja, khususnya di pedesaan.
Secara nasional, fokus pengembangan produk dan bisnis PPK mencakup lingkup kategori produk yang berfungsi dalam hal (Anonim, (?)):
a. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.
b. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional.
c. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik.
d. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan pasar global.
Dari empat fokus pengembangan tersebut, fokus ketiga dan keempat secara jelas mengangkat produk/komoditas hortikultura sebagai salah satu unggulan. Fokus pengembangan kesempatan usaha dan pertumbuhan baru antara lain dimulai pada produk-produk hortikultura, disamping produk-produk lain. Sementara fokus pengembangan produk baru, salah satu produk yang digarap adalah biomedicine (biofarmaka). Biofarmaka merupakan salah satu kelompok komoditas hortikultura.
Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP).
Untuk Mewujudkan RPPK, telah ditetapkan visi Pembangunan Pertanian tahun 2005 – 2009 (Anonim, 2006) yaitu: Terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani. Dalam mencapai visi yang telah ditetapkan tersebut, misi yang diemban adalah 1) Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, 2) Mendorong pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, 3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan penganekaragaman konsumsi, 4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, 5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan pelayanan, 6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian dalam sistem perdagangan domestik dan global.
Dalam merumuskan visi dan misi pembangunan pertanian tersebut, Departemen Pertanian melandaskan diri pada ruh yang merupakan nilai dan jiwa (spirit) pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian. Ruh yang melandasi penyelenggaraan pembangunan pertanian adalah bersih dan peduli. Bersih dimaksudkan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, amanah, transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitas, pelayanan, perlindungan, pembelaan, pemberdayaan dan keberpihakan terhadap kepentingan umum (masyarakat pertanian) diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta aspiratif.
Salah satu kebijakan pembangunan yang dilakukan langsung Departemen Pertanian adalah meningkatkan promosi dan proteksi pertanian, yang diarahkan antara lain peningkatan ekspor dan pengendalian impor. Kebijakan ini sudah barang tentu termasuk komoditas hortikultura.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengembangan hortikultura di Indonesia, arti penting atau posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura, dan tuntutan bagi sumberdaya manusia (SDM) perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura tersebut. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Sesuai dengan sifat hortikultura yang unik, pasar atau perdagangan hortikultura menjadi area kegiatan yang perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Sementara dalam perdagangan inilah, perlindungan tanaman mempunyai peran yang unik pula.
II. Pengembangan Hortikultura di Indonesia
Hortikultura merupakan salah satu komoditas yang mempunyai peran yang penting dalam sektor pertanian, baik dari sisi sumbangan ekonomi nasional, pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja maupun berbagai segi kehidupan masyarakat. Selama ini dikenal beberapa manfaat komoditas hortikultura dalam kehidupan masyarakat (Anomin, 2007), antara lain 1) Manfaat sebagai bahan pangan, 2) Manfaat di bidang ekonomi, 3) Manfaat di bidang kesehatan, dan 4) Manfaat di bidang budaya.
Kemanfaatan komoditas hortikultura sebagai bahan pangan, ditunjukkan oleh kandungan nutrisi yang berguna sebagai sumber-sumber energi, vitamin, mineral dan serat alami. Kemanfaatan di bidang ekonomi dapat dilihat secara nasional, regional maupun tingkat rumah tangga petani. Di tingkat nasional komoditas hortikultura menyumbang produk domestik bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja cukup signifikan. Nilai PDB ini sama dengan sekitar 21,17% dari PDB sektor pertanian, menduduki urutan kedua setelah subsektor tanaman pangan yang sebesar 40,75% (Sumber Ditjen Hortikultura). Selain sumbangan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, komoditas hortikultura berperan penting dalam perdagangan lokal, regional maupun nasional. Sementara di tingkat rumah tangga petani, hortikultura merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang penting pula. Bahkan banyak diantara petani-petani hotikultura yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup baik di pedesaan.
Kemanfaatan dalam bidang kesehatan dapat digambarkan peranannya dalam menjaga kesehatan, terutama terhadap penyakit-penyakit degeneratif. Pencegahan penyakit-penyakit diabetes, hipertensi, gangguan jantung dan penyakit-penyakit yang terkait dengan umur lanjut manusia, sangat dipengaruhi oleh konsumsi hortikultura. Berkembangnya semboyan kembali ke alam, semakin menegaskan manfaat hortikultura yaitu buah-buahan, sayuran dan biofarmaka dalam kesehatan. Selain itu, komoditas hortikultura juga mempunyai manfaat yang cukup penting dalam pengembangan kosmetik.
Di bidang budaya, komoditas hortikutura sangat erat berkaitan dengan keindahan rumah, perkantoran dan sarana umum (taman-taman, dan lain-lain), pesta-pesta dan upacara-upacara adat/keagamaan serta pariwisata.
Pada dasarnya, komoditas hortikultura dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hotikultura terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis, dan tanaman hias 117 jenis. Mengingat banyaknya jenis komoditas yang harus ditangani dan berbagai pertimbangan strategis lain, selama ini pengembangan hortikultura diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang ada.
Di tingkat nasional, komoditas unggulan tersebut adalah mangga, manggis, pisang, durian, jeruk, bawang merah, cabai merah, kentang, anggrek dan rimpang. Namun demikian, di tingkat daerah diberikan kesempatan untuk mengembangkan komoditas unggulan masing-masing sesuai keunggulan yang ada.
Sesuai dengan perkembangan situasi dan untuk lebih meningkatkan upaya pengembangan agribisnis hortikultura, ke depan akan dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Dalam pengembangan kawasan ini, komoditas unggulan menjadi tidak terbatas pada 10 unggulan nasional, tetapi komoditas-komoditas unggulan yang ada di masing-masing kawasan tersebut. Kawasan tidak dibatasi oleh batas administrasi, tetapi merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan hortikultura yang mempunyai kondisi ekosistem yang serupa, dengan jaringan infrastruktur yang menyatukan. Dengan pengembangan kawasan sebagai satu kesatuan pengembangan agribisnis hortikultura, diharapkan penyediaan bahan ekspor menjadi lebih terjamin.
Terdapat fokus-fokus kegiatan pengembangan hortikultura, yaitu peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk melalui penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP), penerapan manajemen rantai pasokan (Supplay Chaim Management = SCM), fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), dan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura.
GAP merupakan panduan umum dalam melaksanakan budidaya secara baik. Dalam pelaksanaannya, GAP dilengkapi dengan Procedure Operational Standart (POS), yang spesifik komoditas dan lokasi secara lebih rinci. Dalam GAP/POS, berbagai praktek budidaya sejak dari perencanaan, pengelolaan lahan, budidaya sampai dengan panen dan pengelolaan secara keseluruhan distandarisasikan dengan baik. Penerapan GAP/POS harus dicatat secara baik sehingga dapat ditelusuri balik (prinsip traceability).
GAP/POS pada prinsipnya merupakan panduan budidaya agar mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bermutu baik, aman dikonsumsi, efisien dalam berproduksi dan memanfaatkan sumberdaya, kelestarian lingkungan terjamin sehingga mampu mempertahankan sistem produksi secara berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan kepada petani. Penerapan GAP/POS diharapkan mampu meningkatkan daya saing dalam perdagangan. GAP/POS menjadi salah satu sistem jaminan mutu produk-produk pertanian, khususnya hortikultura. Terhadap komoditas buah-buahan, telah diterbitkan Permentan nomor 61/Permentan/OT.160/11/2006 tanggal 28 November 2006, untuk menjadi landasan pelaksanaannya di lapang.
Secara teknis operasional di lapang, penerapan GAP/POS sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) maupun sistem pengelolaan pestisida secara baik. Titik-titik kendali penilaian pelaksanaan GAP/POS, sangat terkait erat dengan teknik-teknik pelaksanaan PHT dan sistem pengelolaan pestisida yang baik. Bahkan hampir 30% titik kendali penilaian tersebut terkait dengan masalah pestisida. Penerapan PHT merupakan bagian yang penting dan vital dalam penerapan GAP/POS.
Penerapan manajemen rantai pasokan (SCM) dimaksudkan untuk mengelola jejaring organisasi yang saling tergantung dalam suatu rantai pasokan produk hortikultura, sehingga memberikan keuntungan yang seimbang di antara berbagai anggota rantai dan meningkatkan daya saing. Dalam SCM ini tercakup pengelolaan sejak dari hulu sampai hilir, sejak dari sistem produksi sampai dengan konsumen.
Untuk lebih mendorong pengembangan agribisnis hortikultura, dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Kawasan pengembangan ini secara geografis merupakan satu kesatuan kawasan agribisnis hortikultura yang mencakup berbagai komoditas unggulan hortikultura setempat, tanpa dibatasi sekat-sekat batas administrasi daerah. Dengan demikian, kawasan akan merupakan suatu “kebun produksi” yang mempunyai skala ekonomi yang besar. Berbagai jaringan pendukung agribisnis hortikultura berada dalam satu kesatuan wilayah kawasan tersebut, membentuk suatu wilayah agribisnis hortikultura yang menguntungkan semua pihak, berdaya saing dan berkelanjutan.
Dalam upaya pengembangan agribisnis hortikultura diperlukan dukungan dari berbagai sektor, termasuk swasta dan berbagai pelayanan. Oleh karena itu dikembangkan fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), yang merupakan jejaring kerja berbagai institusi pemerintah, swasta, permodalan dan lain-lain di suatu wilayah agribisnis hortikultura. FATIH diarahkan untuk mendorong dan memfasilitasi investasi dalam pengembangan hortikultura.
Selain itu, dalam pengembangan hortikultura juga dilakukan peningkatan SDM, kelembagaan, maupun penerapan teknologi yang lebih baik dan tepat guna.
III. Perlindungan Tanaman Hortikultura dan Pasar Produk-produk Hortikultura
1. Kebijakan Perlindungan Tanaman Hortikultura
Perlindungan tanaman pada prinsipnya mempunyai peran dalam menjamin agar kuantitas produksi mencapai sasaran yang telah ditetapkan, kualitas produk yang baik dan keberlanjutan produksi serta berperan dalam mendukung perdagangan produk hortikultura. Pada komoditas hortikultura, peran tersebut sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan sistem perdagangan global. Hal ini sangat terlihat pada berbagai persyaratan teknis produk hortikultura yang diperdagangkan, yang tidak dapat dipisahkan dengan persoalan perlindungan tanaman.
Pencapaian produksi hortikultura tidak terlepas dari gangguan-gangguan sistem produksi yang dialami di lapang. Berbagai serangan OPT dan gangguan akibat anomali iklim/bencana alam sering mengakibatkan kerugian hasil yang cukup besar, apalagi dilihat ditingkat petani secara individual. Dengan pengelolaan perlindungan tanaman yang baik, diharapkan gangguan-gangguan tersebut dapat dihilangkan atau diminimalisasikan, sehingga pencapaian target produksi tidak terganggu.
Serangan OPT atau cemaran biologi dan kimia yang digunakan dalam perlindungan tanaman sangat berpengaruh terhadap mutu produk hortikultura. Produk hortikultura dituntut mempunyai mutu yang tinggi, apabila akan diperdagangkan. Akibat serangan OPT yang menyebabkan produk rusak, berlubang, busuk, ukuran tidak optimal, maupun tampilan yang kurang optimal akan sangat berpengaruh terhadap standar mutu yang ditetapkan/diinginkan. Produk-produk hortikultura yang tetap membawa sisa-sisa OPT, apakah itu serangga, cendawan jelaga, patogen lain, juga berpengaruh terhadap pencapaian standar mutu yang diinginkan. Sementara itu, sisa-sisa/residu pestisida yang digunakan untuk pengendalian OPT, selain berbahaya juga berpengaruh terhadap standar mutu keamanan pangan. Standar mutu tersebut yang sangat dituntut oleh pasar (konsumen).
Banyak permasalahan dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan tanaman hortikultura, antara lain banyaknya komoditas hortikultura yang masing-masing disertai jenis OPT yang beragam pula. Sementara teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan OPT tersebut sangat terbatas. Bahkan teknologi budidaya komoditasnya dan identifikasi jenis OPT di masing-masing komoditas juga sangat terbatas. Selain permasalahan banyaknya jenis komoditas dan jenis OPT, jumlah dan kemampuan SDM yang menangani perlindungan tanaman juga sangat terbatas, dukungan saran prasarana yang belum optimal, pemahaman petani dan masyarakat terhadap upaya perlindungan tanaman secara benar belum memadai. Masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa perlindungan tanaman adalah persoalan yang rumit (karena menyangkut perikehidupan serangga dan organisme mikro), dan pengendalian OPT dipahami dengan cara yang sederhana yaitu dengan pestisida. Pada berbagai hal yang spesifik, sarana pengelolaan OPT juga belum tersedia/tidak tersedia.
Kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan perlindungan tanaman sudah cukup jelas dan mempunyai dasar hukum yang kuat. UU nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah ditetapkan bahwa dalam pelaksanaan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan sistem pengendalian hama terpadu, dan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab petani (masyarakat) bersama pemerintah.
PHT menitikberatkan pemanfaatan berbagai teknik pengendalian yang dikombinasikan dalam satu kesatuan program, sehingga dicapai keuntungan ekonomi yang maksimal, dan memberikan dampak yang aman bagi pekerja, konsumen dan lingkungan hidup. Secara prinsip, berbagai cara pengendalian diterapkan harus secara teknis efektif dan dapat diterapkan, secara ekonomi menguntungkan, secara ekologi aman dan secara sosial budaya dapat diterima.
Dalam pelaksanaannya, PHT mendorong untuk memanfaatkan dan memanipulasi unsur-unsur lingkungan alamiah demi terkendalinya populasi OPT berada pada kondisi yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi. Berbagai faktor lingkungan fisik dan biologi, seperti iklim, pengairan, suhu, musuh alami, agens antagonis dan lain-lain dieksplorasi dan dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam pengelolaan OPT. Pestisida yang berasal dari tumbuhan dieksplorasi untuk dimanfaatkan dalam menekan populasi OPT secara cepat.
Penggunaan pestisida, terutama pestisida kimia sintetik masih dibenarkan dalam prinsip PHT, seyogyanya penggunaannya proporsional dan bijaksana. Apabila berbagai cara pengendalian yang diterapkan tidak mampu mengatasi populasi OPT, pestisida dapat dimanfaatkan. Pada kasus-kasus tertentu, penggunaan seed treatment juga masih dilakukan. Namun penggunaan pestisida harus tetap mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, keamanan terhadap konsumen, keamanan terhadap jasad bukan sasaran, polusi/pencemaran, dan lain-lain. Prinsip 6 tepat dalam penggunaan pestisida perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian prinsip pemanfaatan pestisida dengan residu minimum menjadi pertimbangan penting.
Selain pemanfaatan di lapang/ disistem budidaya, pestisida juga perlu mendapat perhatian yang besar dalam pengelolaannya. Prinsip pengelolaan pestisida secara aman, baik dalam pemilihan untuk penggunaannya, persiapan penggunaan, pasca penggunaan, pengelolaan sisa dan wadah pestisida, penyimpanan, dan lain-lain harus memenuhi kaidah-kaidah keamanan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan.
Beberapa hal terkait dengan prinsip-prinsip penerapan PHT dan pengelolaan pestisida kimia sistetik tersebut sangat terkait erat dengan tuntutan pasar, terutama pasar global saat ini. Dalam GAP/POS, hal ini mendapatkan porsi yang sangat signifikan.
Perlindungan tanaman hortikultura terus berupaya mendukung ekspor dengan upaya-upaya pemenuhan standar mutu produk dan standar teknis lain yang terkait dengan perlindungan tanaman.
2. Tuntutan Pasar Produk Hortikultura
Tuntutan pasar terhadap produk hortikultura sangat ketat. Apalagi untuk produk-produk yang dikonsumsi dalam kondisi segar (bukan hasil olahan). Sebagian dari tuntutan pasar tersebut sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan perlindungan tanaman, baik secara langsung di lapang, dalam sistem pengelolaannya dan sistem perdagangan antar negara.
Pasar produk hortikultura segar secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi pasar tradisional, pasar modern dan pasar ekspor. Pasar tradisional termasuk pasar-pasar di pinggir jalan tidak/belum menuntut standar produk yang terlalu tinggi. Namun demikian, harga yang diberikan juga belum optimal. Pasar modern, yang dicirikan dengan bentuk pasar swalayan di kota-kota besar, menuntut standar mutu yang lebih tinggi, dan memberi harga yang secara relatif tinggi pula. Namun demikian, tuntutan standar mutu yang ada, sejauh ini masih terfokus pada mutu fisik produk. Produk dengan tampilan yang baik dan menarik masih menjadi pilihan utama konsumen. Standar mutu yang terkait dengan cemaran biologi dan cemaran kimia (residu pestisida) belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kedepan, konsumen pasti akan semakin memberi perhatian yang lebih besar terhadap residu pestisida, seiring dengan kesadaran terhadap kesehatan.
Tuntutan pasar global merupakan tuntutan yang paling ketat dan sampai dengan saat ini paling sulit dipenuhi. Standar mutu produk yang diminta negara pengimpor (konsumen) semakin tinggi dan beragam. Buah dengan tampilan fisik yang baik saja belum tentu mampu memenuhi keinginan konsumen. Selain itu, selera konsumen terhadap cita rasa produk, sangat berbeda dari konsumen negara yang satu dengan yang lainnya. Keseragaman bentuk ukuran produk juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Disamping itu, kesinambungan pasokan merupakan salah satu tuntutan untuk menjamin kesuksesan pemasaran di luar negeri. Persoalannya banyak produk-produk hortikultura Indonesia yang bersifat musiman.
Produk-produk hortikultura yang menunjukkan tampilan yang kurang menarik banyak yang terkait dengan OPT. Akibat serangan OPT dan atau bekas-bekas dari keberadaan populasi OPT seringkali mengakibatkan produk tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Padahal banyak diantaranya yang mungkin secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian usahatani.
Banyak negara-negara pengimpor produk hortikultura juga mensyaratkan batas residu yang ada dalam produk. Produk-produk yang mengandung residu pestisida melebihi batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan, akan ditolak masuk negara tersebut. Saat ini semakin banyak angka BMR yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi berbagai negara importir. Tidak mustahil, angka BMR tersebut akan terus bertambah dan semakin kecil pula nilainya, seiring dengan tuntutan kesehatan yang diinginkan konsumen.
Selain tuntutan yang terkait dengan standar mutu produk yang secara langsung melibatkan praktek-praktek perlindungan tanaman, terdapat pula tuntutan persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh sistem perlindungan tanaman, khususnya dalam perdagangan internasional. Tidak/belum semua negara menerapkan persyaratan ini, tetapi dengan semakin gencarnya tuntutan penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan bebas, nampaknya persyaratan teknis karantina ini menjadi semakin populer dan penting.
Dengan demikian, beberapa hal yang sangat terkait perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura antara lain standar mutu fisik, cemaran biologis, sistem jaminan mutu GAP/POS dan standar yang terkait dengan sanitari dan fitosanitari (SPS) termasuk residu pestisida.
3. Sanitari dan Fitosanitari (SPS)
Perjanjian sanitari dan fitosanitari (Sanitary and Phytosanitary = SPS) merupakan perjanjian dalam kerangka perdagangan internasional, komoditi pertanian yang mengatur tentang keamanan pangan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Perjanjian SPS merupakan salah satu bagian dari perjanjian dalam putaran Uruguay – GATT (belakangan menjadi WTO), khususnya untuk perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Perjanjian SPS diadminstrasikan oleh Committee on SPS Measures, yang merupakan forum konsultasi dimana anggota-anggota WTO secara reguler bertemu mendiskusikan tentang SPS Measures, dampaknya bagi perdagangan, penerapannya dan melakukan upaya-upaya menghindari terjadinya perselisihan.
Pada dasarnya terdapat tiga lembaga internasional yang menetapkan standar-standar yang terkait dengan Perjanjian SPS, yang sering disebut sebagai “Three Sisters” (Anonim, (?)) yaitu International Plant Protection Convention (IPPC), World Orgatization for Animal Health (OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC).
IPPC diberi kewenangan oleh FAO, tetapi dalam pelaksanaannya melalui kerjasama antara pemerintah anggota dan Regional Plant Protection Organisation (di Asia Pasific, ada APPPC). Lembaga ini mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan untuk mencegah menyebar dan masuknya OPT pada tumbuhan dan produk tumbuhan, mempromosikan ketentuan-ketentuan pengendalian, dengan seminimal mungkin mengganggu perdagangan (trade). IPPC mengembangkan Internasional Standard for Phytosanitary Measures (ISPMs), yang merupakan standar-standar yang harus dipenuhi apabila memperdagangkan produk-produk hortikultura. Sampai dengan edisi terbitan tahun 2005, telah terbit 24 ISPM (secara lengkap tercantum pada lampiran).
Salah satu contoh ISPM tersebut adalah ISPM nomor 6 tahun 1997 tentang Pedoman Surveilans. Dalam pedoman ini, pelaksanaan surveilans harus dilakukan sesuai standar tertentu, OPT yang ditemukan diidentifikasi sampai dengan spesies oleh ahli yang dapat dipercaya, dan hasil surveilans disimpan dalam koleksi secara benar dilengkapi keterangan antara lain nama spesies, lokasi ditemukan, waktu dan lain-lain. Koleksi ini dijadikan bahan rujukan apabila terjadi keragu-raguan dan kesalahpahaman tentang keberadaan spesies OPT di suatu wilayah. Saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara pengimpor produk hortikultura menginginkan pest list hasil surveilans untuk menentukan diterima tidaknya produk tersebut dan atau langkah-langkah pengelolaan dan tindakan karantina yang harus dilakukan.
WOAH (OIE) dibentuk untuk menetapkan standar-standar yang terkait dengan bidang kesehatan hewan.
CAC, merupakan lembaga kerjasama antara FAO dan WHO, yang mengembangkan dan mendorong penerapan standar-standar, code of practice pedoman dan rekomendasi yang mencakup semua aspek keamanan pangan. Dalam hal ini termasuk handling dan distribusi. Mandat CAC/Codex adalah melindungi kesehatan konsumen dan memastikan perdagangan pangan yang dilakukan secara fair. Dalam kaitannya dengan perlindungan tanaman, standar yang dibuat Codex adalah Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida.
4. Langkah-Langkah Yang Telah Dan Sedang Dilakukan
Beberapa langkah telah dan sedang dilakukan dalam upaya untuk memenuhi standar-standar yang terkait dengan perlindungan tanaman untuk mendukung ekspor produk-produk hortikultura. Upaya sosialisasi, pelatihan-pelatihan teknis, penerbitan bahan cetak/informasi, bimbingan teknis, penguatan kelembagaan perlindungan tanaman dilakukan dalam upaya menekan penggunaan pestisida yang tidak proporsional, sehingga residu pestisida minimum. Pengembangan penerapan PHT melalui SLPHT dan penerapan PHT skala luas, eksplorasi dan pengembangan penerapan agensia hayati, pengembangan penggunaan pupuk kompos + agensia hayati, pengembangan kelompok tani pengguna agens hayati, penguatan laboratorium agensia hayati di berbagai daerah turut mendukung pemenuhan standar-standar mutu produk. Penyelenggaraan SLPHT dan pengembangan penerapan agens hayati akan semakin ditingkatkan pada masa-masa yang akan datang.
GAP/POS merupakan salah satu andalan program pengembangan hortikultura. Dalam penerapannya, GAP/POS dan PHT dalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan salah satu persyaratan teknis petani/peserta GAP/POS adalah yang menerima pelatihan teknis dan atau SLPHT. Kedepan, semakin diprioritaskan bahwa penerapan GAP/POS adalah kelompok tani alumni SLPHT. Peran petugas perlindungan tanaman di lapang sangat penting dalam pendampingan petani dalam pelaksanaan GAP/POS.
Penyusunan pest list pada komoditas unggulan ekspor mendapatkan prioritas pelaksanaannya. Saat ini telah diselesaikan draft pest list untuk mangga di daerah-daerah sentra produksi dan spesies-spesies lalat buah di wilayah Kalimantan dan Jawa. Kedua kegiatan tersebut mendapatkan bantuan kerjasama teknis (mangga) dan teknis dengan pembiayaan (lalat buah) dari ACIAR (Australia).
Pelaksanaan surveilans, identifikasi dan pembuatan koleksi referensi juga dilakukan bekerjasama antara petugas Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, BPTPH, UGM, IPB, Barantan, BB Biogen (Litbang Deptan), BBPOPT dan ACIAR. Pada tahun 2007, diharapkan dapat diselesaikan pest list untuk manggis, durian, paprika, anggrek. Komoditas lain yang diharapkan juga dapat diselesaikan antara lain salak, pepaya, rambutan. Tahun 2008 direncanakan dapat diselesaikan untuk antara lain nenas, jahe, belimbing dan lain-lain.
Penyusunan Pest Risk Analysis = PRA (ISPM nomor 2 tahun 1995) telah dilakukan untuk mengendalikan masuknya nematoda sista kuning (Globodera rastochiensis = NSK) yang kemungkinan terbawa impor benih kentang dari Belanda dan OPT lain dari negara-negara lain.
Melalui Permentan nomor 37/2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan atau Sayuran Buah Segar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Permentan ini mengatur pemasukan buah dan sayuran buah segar, untuk mencegah masuk dan tersebarnya 31 spesies lalat buah yang belum ada di Indonesia. Pemasukan buah dan sayuran buah impor hanya diperbolehkan melalui 7 pintu pemasukan, yang mempunyai SDM dan infrastruktur karantina yang memadai, atau daerah lain yang menurut pertimbangan strategis dapat diterima.
Untuk memperkuat kemampuan Indonesia dalam memenuhi persyaratan-persyaratan SPS tersebut, terus digalang kerjasama dengan negara/lembaga donor dan Perguruan Tinggi Nasional dan Lembaga Penelitian Departemen Pertanian. Pelatihan-pelatihan teknis identifikasi spesies-spesies lalat buah, thrips, kutu putih, kutu kebul, cendawan cercosporoid, latihan-latihan pemantapan data base, latihan pemahaman tentang SPS diikuti staf Perlindungan Tanaman Hortikultura (dan Perguruan Tinggi, Barantan, BBPOPT) ke Malaysia, Thailand, Vietnam, Australia, China, selama periode 2005 – 2007. Khusus untuk pelatihan identifikasi lalat buah, telah lebih dari 30 staf yang mendapatkan pelatihan di Australia dan di dalam negeri.
Dalam upaya mengatasi lalat buah pada mangga sehingga mampu menembus pasar ekspor, tahun 2007 dimulai kerjasama dengan Jepang dalam kerangka program IJ-EPA untuk pelatihan-pelatihan dan bantuan peralatan Vapour Heat Treatment (VHT). Dengan pemanfaatan VHT, produk mangga segar dapat lolos dari persyaratan SPS yang terkait dengan keberadaan lalat buah.
IV. Tuntutan bagi SDM Perlindungan Tanaman
Dari paparan singkat dari bab-bab terdahulu, terlihat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura mempunyai beberapa dimensi yang harus ditangani antara lain tanaman, OPT, iklim, lingkungan, sosial budaya, kesehatan maupun politik/administrasi perdagangan. Dimensi tanaman dan OPT sangat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura menangani berbagai persoalan hubungan/interaksi antara tanaman dan OPT. Sementara dimensi iklim, terkait dengan hubungan langsung dan tidak langsung dengan situasi pertumbuhan tanaman dan populasi OPT. Dalam hal tugas fungsi kedinasan Direktorat, iklim terkait dengan dampak anomali yang terjadi, yang mengakibatkan bencana alam.
Dampak negatif terhadap lingkungan telah diketahui secara luas dalam penerapan perlindungan tanaman, terutama dampak negatif penggunaan pestisida. Selain dampak negatif kepada resistensi OPT, resurjensi, matinya organisme bukan sasaran, juga pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sisa-sisa penggunaan pestisida. Dimensi kesehatan manusia juga masih terkait dengan penggunaan pestisida, yaitu keberadaan residu pestisida pada produk-produk pertanian.
Dimensi sosial budaya masyarakat sangat terkait dengan pelaksanaan cara-cara pengendalian OPT yang dilakukan, apa dapat diterima apa tidak oleh masyarakat. Dimensi politik/administrasi perdagangan, sampai dengan saat ini terutama terfokus pada persyaratan-persyaratan perdagangan internasional produk-produk pertanian (hortikultura). Namun pada masa yang akan datang, kemungkinan besar persyaratan-persyaratan yang terkait dengan perlindungan kesehatan manusia menjadi fokus yang penting pada perdagangan hortikultura di dalam negeri, khususnya terkait dengan residu pestisida.
Dari berbagai dimensi perlindungan tanaman hortikultura tersebut, dimensi politik/administrasi perdagangan (internasional) merupakan salah satu dimensi yang cukup pelik. Sebagai salah satu instrumen pendukung perdagangan internasional, khususnya produk-produk hortikultura, perlindungan tanaman memerlukan SDM yang memahami berbagai hal, tidak saja ilmu-ilmu dasar entomologi dan fitopatologi, tetapi juga berbagai pengetahuan implementasi konsep-konsep perlindungan tanaman di tataran administrasi maupun lapangan.
Pengetahuan dan keterampilan dasar entomologi dan fitopatologi sangat diperlukan untuk kegiatan surveilans, identifikasi secara benar jenis OPT, misalnya dalam penyusuanan pest list, identifikasi OPT dalam pelabuhan-pelabuhan masuk produk impor, maupun penentuan cara-cara pengelolaan yang tepat. Khususnya dalam hal koleksi referensi, pengetahuan dasar proteksi termasuk dalam pembuatan dan pemeliharaan koleksi tersebut sangat diperlukan.
Pengetahuan bioekologi OPT, termasuk distribusi geografisnya dan teknologi pengelolaannya, disamping diperlukan untuk pengelolaan di lapangan, juga sangat diperlukan misalnya dalam penyusunan Pest Risk Analysis (PRA). Bioekologi, nilai ekonomi yang diakibatkan (kerusakan yang timbul, konsekuensi biaya pengelolaan dan lain-lain), upaya-upaya pengelolaan, mitigasi dan lain-lain harus dianalisis secara akurat.
Standar-standar perdagangan internasional yang terkait dengan perlindungan tanaman hortikultura merupakan persyaratan perdagangan yang perlu dipahami secara cermat dan baik. Pemahaman terhadap standar-standar tersebut, digabungkan dengan pemahaman pengetahuan dasar maupun pemahaman penerapan perlindungan tanaman secara umum, dijadikan suatu bahan dalam merumuskan langkah-langkah operasional pemenuhan persyaratan-persyaratan tersebut. Dalam operasionalisasi, pemenuhan persyaratan perdagangan internasional, terutama yang di tingkat lapang, perlu ditambah pemahaman yang baik kondisi pengelolaan tanaman, sosial ekonomi-budaya masyarakat, pengelolaan pestisida secara aman dan benar, organisasi pemerintahan dan masyarakat/petani, penyuluhan dan lain-lain. Karena pada dasarnya, operasionalisasi di tingkat lapang menghadapi masalah yang sangat kompleks.
V. Penutup
Perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam ikut mendukung kelancaran perdagangan internasional produk-produk hortikultura. Berbagai persyaratan produk-produk hortikultura, untuk dapat diperdagangkan secara global sangat terkait dengan perlindungan tanaman. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain mutu fisik, mutu akibat cemaran biologi, mutu oleh adanya residu pestisida, mutu yang merupakan hasil proses produksi yang baik (GAP), maupun persyaratan yang sifatnya teknis administratif. Persyaratan teknis administratif tersebut antara lain persyaratan-persyaratan standar-standar fitosanitari yang telah ditetapkan oleh konvensi internasional pelindungan tanaman (IPPC). Sedangkan persyaratan yang terkait dengan mutu oleh adanya residu pestisida telah ditetapkan angka-angka batas minimum residu (BMR) pestisida oleh Codex Alimentarius Commission (CAC).
Melihat pentingnya dan strategisnya posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura tersebut, dituntut keberadaan dan kesiapan SDM perlindungan tanaman, baik di lapangan, laboratorium maupun pada tataran kebijakan/administrasi. Pengetahuan-pengetahuan dasar proteksi, persyaratan-persyaratan perdagangan internasional, perumusan kegiatan dan operasionalisasi upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang cukup kompleks tersebut perlu dipahami oleh para pelaku perlindungan tanaman dengan baik.
Jakarta, 10 Mei 2007
________________________________________
[1] Disampaikan pada seminar dalam rangka:”Plant Protection Show” Ikatan Mahasiswa Hama Penyakit Tumbuhan (IMHPT), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta pada tanggal 13 Mei 2007. (Penyesuaian judul terhadap permintaan panitia: Peran Pelaku Perlindungan Tanaman terhadap Pertanian Indonesia di Pasar Internasional)
[2] Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian.
Jl. AUP, Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Bacaan
Anonim (?) Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. 56 hal.
______ (?) The WTO Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement. SPS Cap. Build. Program. AUSAID. 18 pgs.
______ (2002) Pedoman Teknis Perjanjian Sanitasi dan Fitosanitasi Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures WTO). Barantan, Deptan. Jakarta. 55 hal.
______ (2006) Agricultural Statistics. Statistical Pocketbook of Indonesia. 2006. MOA. Cent. of . Agric. Data and Info. Jakarta. 246 pgs.
______ (2006) International Standards for Phytosanitary Measures 1 to 24 (2005 edition). FAO-UN. Roma. 291 pgs.
______ (2006) Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009. Biro Perencanaan Departemen Pertanian RI. Jakarta. 88 hal.
______ (2007) Pedoman Khusus Pelaksanaan Kegiatan Utama Pengembangan Hortikultura Tahun 2007. Ditjen Hortikultura, Jakarta.
Lampiran
International Standards For Phytosanitary Measures (ISPMs), (Anonim, 2006)
ISPM No. 1. (1993) Principles of plant quarantine as related to international trade
ISPM No. 2. (1995) Guidelines for pest risk analysis
ISPM No. 3. (2005) Guidelines for export, shipment, import and release of biological control agents and other benefecial organisms
ISPM No. 4. (1995) Requirements for the establishment of pest free areas
ISPM No. 5. (2005) Glossary of phytosanitary terms
ISPM No. 6. (1997) Guidelines for surveillance
ISPM No. 7. (1997) Export certification system
ISPM No. 8. (1998) Determination of pest status in an area
ISPM No. 9. (1998) Guidelines for pest eradication programmes
ISPM No. 10. (1999) Requirements for the establishment of pest free places of production and free pest production sites
ISPM No. 11. (2004) Pest risk analysis for quarantine pests, including analysis of environmental risks and living modified organisms
ISPM No. 12. (2001) Guidelines for phytosanitary certificates
ISPM No. 13. (2001) Guidelines for the notification of non-compliance and emergency action
ISPM No. 14. (2002) The use of integrated measures in a system approach for pest risk management
ISPM No. 15. (2002) Guidelines for regulating wood packing material in international trade
ISPM No. 16. (2002) Regulated non-quarantine pests: concept and application
ISPM No. 17. (2002) Pest reporting
ISPM No. 18. (2003) Guidelines for the use of irradiation as a phytosanitary measure
ISPM No. 19. (2003) Guidelines on lists of regulated pests
ISPM No. 20. (2004) Guidelines for a phytosanitary import regulatory system
ISPM No. 21. (2004) Pest risk analysis for regulated non-quarantine pests
ISPM No. 22. (2005) Requirements for the establishment of areas of low pest prevalence
ISPM No. 23. (2005) Guidelines for inspection
ISPM No. 24. (2005) Guidelines for the determination and recognition of equivalence of phytosanitary measures
ISPM No. 25. (2006) Consignment in transit
ISPM No. 26. (2006) Establishment of pest free areas for fruitflies (Tephritidae)
Rating: 5
Reviewer: Info Petani -
ItemReviewed: Peran Pelaku Perlindungan Tanaman - 9756people
Oleh: Soekirno [2]
I. Pendahuluan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden RI pada tahun 2005 yang lalu mengamanatkan bahwa sektor pertanian secara luas dijadikan andalan dalam pembangunan nasional. Selain memberikan sumbangan yang besar dalam perekonomian nasional, sektor pertanian juga berperan secara signifikan dalam penyerapan tenaga kerja, khususnya di pedesaan.
Secara nasional, fokus pengembangan produk dan bisnis PPK mencakup lingkup kategori produk yang berfungsi dalam hal (Anonim, (?)):
a. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.
b. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional.
c. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik.
d. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan pasar global.
Dari empat fokus pengembangan tersebut, fokus ketiga dan keempat secara jelas mengangkat produk/komoditas hortikultura sebagai salah satu unggulan. Fokus pengembangan kesempatan usaha dan pertumbuhan baru antara lain dimulai pada produk-produk hortikultura, disamping produk-produk lain. Sementara fokus pengembangan produk baru, salah satu produk yang digarap adalah biomedicine (biofarmaka). Biofarmaka merupakan salah satu kelompok komoditas hortikultura.
Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP).
Untuk Mewujudkan RPPK, telah ditetapkan visi Pembangunan Pertanian tahun 2005 – 2009 (Anonim, 2006) yaitu: Terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani. Dalam mencapai visi yang telah ditetapkan tersebut, misi yang diemban adalah 1) Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, 2) Mendorong pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, 3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan penganekaragaman konsumsi, 4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, 5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan pelayanan, 6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian dalam sistem perdagangan domestik dan global.
Dalam merumuskan visi dan misi pembangunan pertanian tersebut, Departemen Pertanian melandaskan diri pada ruh yang merupakan nilai dan jiwa (spirit) pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian. Ruh yang melandasi penyelenggaraan pembangunan pertanian adalah bersih dan peduli. Bersih dimaksudkan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, amanah, transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitas, pelayanan, perlindungan, pembelaan, pemberdayaan dan keberpihakan terhadap kepentingan umum (masyarakat pertanian) diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta aspiratif.
Salah satu kebijakan pembangunan yang dilakukan langsung Departemen Pertanian adalah meningkatkan promosi dan proteksi pertanian, yang diarahkan antara lain peningkatan ekspor dan pengendalian impor. Kebijakan ini sudah barang tentu termasuk komoditas hortikultura.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengembangan hortikultura di Indonesia, arti penting atau posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura, dan tuntutan bagi sumberdaya manusia (SDM) perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura tersebut. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Sesuai dengan sifat hortikultura yang unik, pasar atau perdagangan hortikultura menjadi area kegiatan yang perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Sementara dalam perdagangan inilah, perlindungan tanaman mempunyai peran yang unik pula.
II. Pengembangan Hortikultura di Indonesia
Hortikultura merupakan salah satu komoditas yang mempunyai peran yang penting dalam sektor pertanian, baik dari sisi sumbangan ekonomi nasional, pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja maupun berbagai segi kehidupan masyarakat. Selama ini dikenal beberapa manfaat komoditas hortikultura dalam kehidupan masyarakat (Anomin, 2007), antara lain 1) Manfaat sebagai bahan pangan, 2) Manfaat di bidang ekonomi, 3) Manfaat di bidang kesehatan, dan 4) Manfaat di bidang budaya.
Kemanfaatan komoditas hortikultura sebagai bahan pangan, ditunjukkan oleh kandungan nutrisi yang berguna sebagai sumber-sumber energi, vitamin, mineral dan serat alami. Kemanfaatan di bidang ekonomi dapat dilihat secara nasional, regional maupun tingkat rumah tangga petani. Di tingkat nasional komoditas hortikultura menyumbang produk domestik bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja cukup signifikan. Nilai PDB ini sama dengan sekitar 21,17% dari PDB sektor pertanian, menduduki urutan kedua setelah subsektor tanaman pangan yang sebesar 40,75% (Sumber Ditjen Hortikultura). Selain sumbangan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, komoditas hortikultura berperan penting dalam perdagangan lokal, regional maupun nasional. Sementara di tingkat rumah tangga petani, hortikultura merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang penting pula. Bahkan banyak diantara petani-petani hotikultura yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup baik di pedesaan.
Kemanfaatan dalam bidang kesehatan dapat digambarkan peranannya dalam menjaga kesehatan, terutama terhadap penyakit-penyakit degeneratif. Pencegahan penyakit-penyakit diabetes, hipertensi, gangguan jantung dan penyakit-penyakit yang terkait dengan umur lanjut manusia, sangat dipengaruhi oleh konsumsi hortikultura. Berkembangnya semboyan kembali ke alam, semakin menegaskan manfaat hortikultura yaitu buah-buahan, sayuran dan biofarmaka dalam kesehatan. Selain itu, komoditas hortikultura juga mempunyai manfaat yang cukup penting dalam pengembangan kosmetik.
Di bidang budaya, komoditas hortikutura sangat erat berkaitan dengan keindahan rumah, perkantoran dan sarana umum (taman-taman, dan lain-lain), pesta-pesta dan upacara-upacara adat/keagamaan serta pariwisata.
Pada dasarnya, komoditas hortikultura dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hotikultura terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis, dan tanaman hias 117 jenis. Mengingat banyaknya jenis komoditas yang harus ditangani dan berbagai pertimbangan strategis lain, selama ini pengembangan hortikultura diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang ada.
Di tingkat nasional, komoditas unggulan tersebut adalah mangga, manggis, pisang, durian, jeruk, bawang merah, cabai merah, kentang, anggrek dan rimpang. Namun demikian, di tingkat daerah diberikan kesempatan untuk mengembangkan komoditas unggulan masing-masing sesuai keunggulan yang ada.
Sesuai dengan perkembangan situasi dan untuk lebih meningkatkan upaya pengembangan agribisnis hortikultura, ke depan akan dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Dalam pengembangan kawasan ini, komoditas unggulan menjadi tidak terbatas pada 10 unggulan nasional, tetapi komoditas-komoditas unggulan yang ada di masing-masing kawasan tersebut. Kawasan tidak dibatasi oleh batas administrasi, tetapi merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan hortikultura yang mempunyai kondisi ekosistem yang serupa, dengan jaringan infrastruktur yang menyatukan. Dengan pengembangan kawasan sebagai satu kesatuan pengembangan agribisnis hortikultura, diharapkan penyediaan bahan ekspor menjadi lebih terjamin.
Terdapat fokus-fokus kegiatan pengembangan hortikultura, yaitu peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk melalui penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP), penerapan manajemen rantai pasokan (Supplay Chaim Management = SCM), fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), dan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura.
GAP merupakan panduan umum dalam melaksanakan budidaya secara baik. Dalam pelaksanaannya, GAP dilengkapi dengan Procedure Operational Standart (POS), yang spesifik komoditas dan lokasi secara lebih rinci. Dalam GAP/POS, berbagai praktek budidaya sejak dari perencanaan, pengelolaan lahan, budidaya sampai dengan panen dan pengelolaan secara keseluruhan distandarisasikan dengan baik. Penerapan GAP/POS harus dicatat secara baik sehingga dapat ditelusuri balik (prinsip traceability).
GAP/POS pada prinsipnya merupakan panduan budidaya agar mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bermutu baik, aman dikonsumsi, efisien dalam berproduksi dan memanfaatkan sumberdaya, kelestarian lingkungan terjamin sehingga mampu mempertahankan sistem produksi secara berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan kepada petani. Penerapan GAP/POS diharapkan mampu meningkatkan daya saing dalam perdagangan. GAP/POS menjadi salah satu sistem jaminan mutu produk-produk pertanian, khususnya hortikultura. Terhadap komoditas buah-buahan, telah diterbitkan Permentan nomor 61/Permentan/OT.160/11/2006 tanggal 28 November 2006, untuk menjadi landasan pelaksanaannya di lapang.
Secara teknis operasional di lapang, penerapan GAP/POS sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) maupun sistem pengelolaan pestisida secara baik. Titik-titik kendali penilaian pelaksanaan GAP/POS, sangat terkait erat dengan teknik-teknik pelaksanaan PHT dan sistem pengelolaan pestisida yang baik. Bahkan hampir 30% titik kendali penilaian tersebut terkait dengan masalah pestisida. Penerapan PHT merupakan bagian yang penting dan vital dalam penerapan GAP/POS.
Penerapan manajemen rantai pasokan (SCM) dimaksudkan untuk mengelola jejaring organisasi yang saling tergantung dalam suatu rantai pasokan produk hortikultura, sehingga memberikan keuntungan yang seimbang di antara berbagai anggota rantai dan meningkatkan daya saing. Dalam SCM ini tercakup pengelolaan sejak dari hulu sampai hilir, sejak dari sistem produksi sampai dengan konsumen.
Untuk lebih mendorong pengembangan agribisnis hortikultura, dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Kawasan pengembangan ini secara geografis merupakan satu kesatuan kawasan agribisnis hortikultura yang mencakup berbagai komoditas unggulan hortikultura setempat, tanpa dibatasi sekat-sekat batas administrasi daerah. Dengan demikian, kawasan akan merupakan suatu “kebun produksi” yang mempunyai skala ekonomi yang besar. Berbagai jaringan pendukung agribisnis hortikultura berada dalam satu kesatuan wilayah kawasan tersebut, membentuk suatu wilayah agribisnis hortikultura yang menguntungkan semua pihak, berdaya saing dan berkelanjutan.
Dalam upaya pengembangan agribisnis hortikultura diperlukan dukungan dari berbagai sektor, termasuk swasta dan berbagai pelayanan. Oleh karena itu dikembangkan fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), yang merupakan jejaring kerja berbagai institusi pemerintah, swasta, permodalan dan lain-lain di suatu wilayah agribisnis hortikultura. FATIH diarahkan untuk mendorong dan memfasilitasi investasi dalam pengembangan hortikultura.
Selain itu, dalam pengembangan hortikultura juga dilakukan peningkatan SDM, kelembagaan, maupun penerapan teknologi yang lebih baik dan tepat guna.
III. Perlindungan Tanaman Hortikultura dan Pasar Produk-produk Hortikultura
1. Kebijakan Perlindungan Tanaman Hortikultura
Perlindungan tanaman pada prinsipnya mempunyai peran dalam menjamin agar kuantitas produksi mencapai sasaran yang telah ditetapkan, kualitas produk yang baik dan keberlanjutan produksi serta berperan dalam mendukung perdagangan produk hortikultura. Pada komoditas hortikultura, peran tersebut sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan sistem perdagangan global. Hal ini sangat terlihat pada berbagai persyaratan teknis produk hortikultura yang diperdagangkan, yang tidak dapat dipisahkan dengan persoalan perlindungan tanaman.
Pencapaian produksi hortikultura tidak terlepas dari gangguan-gangguan sistem produksi yang dialami di lapang. Berbagai serangan OPT dan gangguan akibat anomali iklim/bencana alam sering mengakibatkan kerugian hasil yang cukup besar, apalagi dilihat ditingkat petani secara individual. Dengan pengelolaan perlindungan tanaman yang baik, diharapkan gangguan-gangguan tersebut dapat dihilangkan atau diminimalisasikan, sehingga pencapaian target produksi tidak terganggu.
Serangan OPT atau cemaran biologi dan kimia yang digunakan dalam perlindungan tanaman sangat berpengaruh terhadap mutu produk hortikultura. Produk hortikultura dituntut mempunyai mutu yang tinggi, apabila akan diperdagangkan. Akibat serangan OPT yang menyebabkan produk rusak, berlubang, busuk, ukuran tidak optimal, maupun tampilan yang kurang optimal akan sangat berpengaruh terhadap standar mutu yang ditetapkan/diinginkan. Produk-produk hortikultura yang tetap membawa sisa-sisa OPT, apakah itu serangga, cendawan jelaga, patogen lain, juga berpengaruh terhadap pencapaian standar mutu yang diinginkan. Sementara itu, sisa-sisa/residu pestisida yang digunakan untuk pengendalian OPT, selain berbahaya juga berpengaruh terhadap standar mutu keamanan pangan. Standar mutu tersebut yang sangat dituntut oleh pasar (konsumen).
Banyak permasalahan dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan tanaman hortikultura, antara lain banyaknya komoditas hortikultura yang masing-masing disertai jenis OPT yang beragam pula. Sementara teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan OPT tersebut sangat terbatas. Bahkan teknologi budidaya komoditasnya dan identifikasi jenis OPT di masing-masing komoditas juga sangat terbatas. Selain permasalahan banyaknya jenis komoditas dan jenis OPT, jumlah dan kemampuan SDM yang menangani perlindungan tanaman juga sangat terbatas, dukungan saran prasarana yang belum optimal, pemahaman petani dan masyarakat terhadap upaya perlindungan tanaman secara benar belum memadai. Masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa perlindungan tanaman adalah persoalan yang rumit (karena menyangkut perikehidupan serangga dan organisme mikro), dan pengendalian OPT dipahami dengan cara yang sederhana yaitu dengan pestisida. Pada berbagai hal yang spesifik, sarana pengelolaan OPT juga belum tersedia/tidak tersedia.
Kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan perlindungan tanaman sudah cukup jelas dan mempunyai dasar hukum yang kuat. UU nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah ditetapkan bahwa dalam pelaksanaan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan sistem pengendalian hama terpadu, dan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab petani (masyarakat) bersama pemerintah.
PHT menitikberatkan pemanfaatan berbagai teknik pengendalian yang dikombinasikan dalam satu kesatuan program, sehingga dicapai keuntungan ekonomi yang maksimal, dan memberikan dampak yang aman bagi pekerja, konsumen dan lingkungan hidup. Secara prinsip, berbagai cara pengendalian diterapkan harus secara teknis efektif dan dapat diterapkan, secara ekonomi menguntungkan, secara ekologi aman dan secara sosial budaya dapat diterima.
Dalam pelaksanaannya, PHT mendorong untuk memanfaatkan dan memanipulasi unsur-unsur lingkungan alamiah demi terkendalinya populasi OPT berada pada kondisi yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi. Berbagai faktor lingkungan fisik dan biologi, seperti iklim, pengairan, suhu, musuh alami, agens antagonis dan lain-lain dieksplorasi dan dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam pengelolaan OPT. Pestisida yang berasal dari tumbuhan dieksplorasi untuk dimanfaatkan dalam menekan populasi OPT secara cepat.
Penggunaan pestisida, terutama pestisida kimia sintetik masih dibenarkan dalam prinsip PHT, seyogyanya penggunaannya proporsional dan bijaksana. Apabila berbagai cara pengendalian yang diterapkan tidak mampu mengatasi populasi OPT, pestisida dapat dimanfaatkan. Pada kasus-kasus tertentu, penggunaan seed treatment juga masih dilakukan. Namun penggunaan pestisida harus tetap mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, keamanan terhadap konsumen, keamanan terhadap jasad bukan sasaran, polusi/pencemaran, dan lain-lain. Prinsip 6 tepat dalam penggunaan pestisida perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian prinsip pemanfaatan pestisida dengan residu minimum menjadi pertimbangan penting.
Selain pemanfaatan di lapang/ disistem budidaya, pestisida juga perlu mendapat perhatian yang besar dalam pengelolaannya. Prinsip pengelolaan pestisida secara aman, baik dalam pemilihan untuk penggunaannya, persiapan penggunaan, pasca penggunaan, pengelolaan sisa dan wadah pestisida, penyimpanan, dan lain-lain harus memenuhi kaidah-kaidah keamanan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan.
Beberapa hal terkait dengan prinsip-prinsip penerapan PHT dan pengelolaan pestisida kimia sistetik tersebut sangat terkait erat dengan tuntutan pasar, terutama pasar global saat ini. Dalam GAP/POS, hal ini mendapatkan porsi yang sangat signifikan.
Perlindungan tanaman hortikultura terus berupaya mendukung ekspor dengan upaya-upaya pemenuhan standar mutu produk dan standar teknis lain yang terkait dengan perlindungan tanaman.
2. Tuntutan Pasar Produk Hortikultura
Tuntutan pasar terhadap produk hortikultura sangat ketat. Apalagi untuk produk-produk yang dikonsumsi dalam kondisi segar (bukan hasil olahan). Sebagian dari tuntutan pasar tersebut sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan perlindungan tanaman, baik secara langsung di lapang, dalam sistem pengelolaannya dan sistem perdagangan antar negara.
Pasar produk hortikultura segar secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi pasar tradisional, pasar modern dan pasar ekspor. Pasar tradisional termasuk pasar-pasar di pinggir jalan tidak/belum menuntut standar produk yang terlalu tinggi. Namun demikian, harga yang diberikan juga belum optimal. Pasar modern, yang dicirikan dengan bentuk pasar swalayan di kota-kota besar, menuntut standar mutu yang lebih tinggi, dan memberi harga yang secara relatif tinggi pula. Namun demikian, tuntutan standar mutu yang ada, sejauh ini masih terfokus pada mutu fisik produk. Produk dengan tampilan yang baik dan menarik masih menjadi pilihan utama konsumen. Standar mutu yang terkait dengan cemaran biologi dan cemaran kimia (residu pestisida) belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kedepan, konsumen pasti akan semakin memberi perhatian yang lebih besar terhadap residu pestisida, seiring dengan kesadaran terhadap kesehatan.
Tuntutan pasar global merupakan tuntutan yang paling ketat dan sampai dengan saat ini paling sulit dipenuhi. Standar mutu produk yang diminta negara pengimpor (konsumen) semakin tinggi dan beragam. Buah dengan tampilan fisik yang baik saja belum tentu mampu memenuhi keinginan konsumen. Selain itu, selera konsumen terhadap cita rasa produk, sangat berbeda dari konsumen negara yang satu dengan yang lainnya. Keseragaman bentuk ukuran produk juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Disamping itu, kesinambungan pasokan merupakan salah satu tuntutan untuk menjamin kesuksesan pemasaran di luar negeri. Persoalannya banyak produk-produk hortikultura Indonesia yang bersifat musiman.
Produk-produk hortikultura yang menunjukkan tampilan yang kurang menarik banyak yang terkait dengan OPT. Akibat serangan OPT dan atau bekas-bekas dari keberadaan populasi OPT seringkali mengakibatkan produk tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Padahal banyak diantaranya yang mungkin secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian usahatani.
Banyak negara-negara pengimpor produk hortikultura juga mensyaratkan batas residu yang ada dalam produk. Produk-produk yang mengandung residu pestisida melebihi batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan, akan ditolak masuk negara tersebut. Saat ini semakin banyak angka BMR yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi berbagai negara importir. Tidak mustahil, angka BMR tersebut akan terus bertambah dan semakin kecil pula nilainya, seiring dengan tuntutan kesehatan yang diinginkan konsumen.
Selain tuntutan yang terkait dengan standar mutu produk yang secara langsung melibatkan praktek-praktek perlindungan tanaman, terdapat pula tuntutan persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh sistem perlindungan tanaman, khususnya dalam perdagangan internasional. Tidak/belum semua negara menerapkan persyaratan ini, tetapi dengan semakin gencarnya tuntutan penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan bebas, nampaknya persyaratan teknis karantina ini menjadi semakin populer dan penting.
Dengan demikian, beberapa hal yang sangat terkait perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura antara lain standar mutu fisik, cemaran biologis, sistem jaminan mutu GAP/POS dan standar yang terkait dengan sanitari dan fitosanitari (SPS) termasuk residu pestisida.
3. Sanitari dan Fitosanitari (SPS)
Perjanjian sanitari dan fitosanitari (Sanitary and Phytosanitary = SPS) merupakan perjanjian dalam kerangka perdagangan internasional, komoditi pertanian yang mengatur tentang keamanan pangan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Perjanjian SPS merupakan salah satu bagian dari perjanjian dalam putaran Uruguay – GATT (belakangan menjadi WTO), khususnya untuk perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Perjanjian SPS diadminstrasikan oleh Committee on SPS Measures, yang merupakan forum konsultasi dimana anggota-anggota WTO secara reguler bertemu mendiskusikan tentang SPS Measures, dampaknya bagi perdagangan, penerapannya dan melakukan upaya-upaya menghindari terjadinya perselisihan.
Pada dasarnya terdapat tiga lembaga internasional yang menetapkan standar-standar yang terkait dengan Perjanjian SPS, yang sering disebut sebagai “Three Sisters” (Anonim, (?)) yaitu International Plant Protection Convention (IPPC), World Orgatization for Animal Health (OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC).
IPPC diberi kewenangan oleh FAO, tetapi dalam pelaksanaannya melalui kerjasama antara pemerintah anggota dan Regional Plant Protection Organisation (di Asia Pasific, ada APPPC). Lembaga ini mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan untuk mencegah menyebar dan masuknya OPT pada tumbuhan dan produk tumbuhan, mempromosikan ketentuan-ketentuan pengendalian, dengan seminimal mungkin mengganggu perdagangan (trade). IPPC mengembangkan Internasional Standard for Phytosanitary Measures (ISPMs), yang merupakan standar-standar yang harus dipenuhi apabila memperdagangkan produk-produk hortikultura. Sampai dengan edisi terbitan tahun 2005, telah terbit 24 ISPM (secara lengkap tercantum pada lampiran).
Salah satu contoh ISPM tersebut adalah ISPM nomor 6 tahun 1997 tentang Pedoman Surveilans. Dalam pedoman ini, pelaksanaan surveilans harus dilakukan sesuai standar tertentu, OPT yang ditemukan diidentifikasi sampai dengan spesies oleh ahli yang dapat dipercaya, dan hasil surveilans disimpan dalam koleksi secara benar dilengkapi keterangan antara lain nama spesies, lokasi ditemukan, waktu dan lain-lain. Koleksi ini dijadikan bahan rujukan apabila terjadi keragu-raguan dan kesalahpahaman tentang keberadaan spesies OPT di suatu wilayah. Saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara pengimpor produk hortikultura menginginkan pest list hasil surveilans untuk menentukan diterima tidaknya produk tersebut dan atau langkah-langkah pengelolaan dan tindakan karantina yang harus dilakukan.
WOAH (OIE) dibentuk untuk menetapkan standar-standar yang terkait dengan bidang kesehatan hewan.
CAC, merupakan lembaga kerjasama antara FAO dan WHO, yang mengembangkan dan mendorong penerapan standar-standar, code of practice pedoman dan rekomendasi yang mencakup semua aspek keamanan pangan. Dalam hal ini termasuk handling dan distribusi. Mandat CAC/Codex adalah melindungi kesehatan konsumen dan memastikan perdagangan pangan yang dilakukan secara fair. Dalam kaitannya dengan perlindungan tanaman, standar yang dibuat Codex adalah Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida.
4. Langkah-Langkah Yang Telah Dan Sedang Dilakukan
Beberapa langkah telah dan sedang dilakukan dalam upaya untuk memenuhi standar-standar yang terkait dengan perlindungan tanaman untuk mendukung ekspor produk-produk hortikultura. Upaya sosialisasi, pelatihan-pelatihan teknis, penerbitan bahan cetak/informasi, bimbingan teknis, penguatan kelembagaan perlindungan tanaman dilakukan dalam upaya menekan penggunaan pestisida yang tidak proporsional, sehingga residu pestisida minimum. Pengembangan penerapan PHT melalui SLPHT dan penerapan PHT skala luas, eksplorasi dan pengembangan penerapan agensia hayati, pengembangan penggunaan pupuk kompos + agensia hayati, pengembangan kelompok tani pengguna agens hayati, penguatan laboratorium agensia hayati di berbagai daerah turut mendukung pemenuhan standar-standar mutu produk. Penyelenggaraan SLPHT dan pengembangan penerapan agens hayati akan semakin ditingkatkan pada masa-masa yang akan datang.
GAP/POS merupakan salah satu andalan program pengembangan hortikultura. Dalam penerapannya, GAP/POS dan PHT dalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan salah satu persyaratan teknis petani/peserta GAP/POS adalah yang menerima pelatihan teknis dan atau SLPHT. Kedepan, semakin diprioritaskan bahwa penerapan GAP/POS adalah kelompok tani alumni SLPHT. Peran petugas perlindungan tanaman di lapang sangat penting dalam pendampingan petani dalam pelaksanaan GAP/POS.
Penyusunan pest list pada komoditas unggulan ekspor mendapatkan prioritas pelaksanaannya. Saat ini telah diselesaikan draft pest list untuk mangga di daerah-daerah sentra produksi dan spesies-spesies lalat buah di wilayah Kalimantan dan Jawa. Kedua kegiatan tersebut mendapatkan bantuan kerjasama teknis (mangga) dan teknis dengan pembiayaan (lalat buah) dari ACIAR (Australia).
Pelaksanaan surveilans, identifikasi dan pembuatan koleksi referensi juga dilakukan bekerjasama antara petugas Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, BPTPH, UGM, IPB, Barantan, BB Biogen (Litbang Deptan), BBPOPT dan ACIAR. Pada tahun 2007, diharapkan dapat diselesaikan pest list untuk manggis, durian, paprika, anggrek. Komoditas lain yang diharapkan juga dapat diselesaikan antara lain salak, pepaya, rambutan. Tahun 2008 direncanakan dapat diselesaikan untuk antara lain nenas, jahe, belimbing dan lain-lain.
Penyusunan Pest Risk Analysis = PRA (ISPM nomor 2 tahun 1995) telah dilakukan untuk mengendalikan masuknya nematoda sista kuning (Globodera rastochiensis = NSK) yang kemungkinan terbawa impor benih kentang dari Belanda dan OPT lain dari negara-negara lain.
Melalui Permentan nomor 37/2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan atau Sayuran Buah Segar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Permentan ini mengatur pemasukan buah dan sayuran buah segar, untuk mencegah masuk dan tersebarnya 31 spesies lalat buah yang belum ada di Indonesia. Pemasukan buah dan sayuran buah impor hanya diperbolehkan melalui 7 pintu pemasukan, yang mempunyai SDM dan infrastruktur karantina yang memadai, atau daerah lain yang menurut pertimbangan strategis dapat diterima.
Untuk memperkuat kemampuan Indonesia dalam memenuhi persyaratan-persyaratan SPS tersebut, terus digalang kerjasama dengan negara/lembaga donor dan Perguruan Tinggi Nasional dan Lembaga Penelitian Departemen Pertanian. Pelatihan-pelatihan teknis identifikasi spesies-spesies lalat buah, thrips, kutu putih, kutu kebul, cendawan cercosporoid, latihan-latihan pemantapan data base, latihan pemahaman tentang SPS diikuti staf Perlindungan Tanaman Hortikultura (dan Perguruan Tinggi, Barantan, BBPOPT) ke Malaysia, Thailand, Vietnam, Australia, China, selama periode 2005 – 2007. Khusus untuk pelatihan identifikasi lalat buah, telah lebih dari 30 staf yang mendapatkan pelatihan di Australia dan di dalam negeri.
Dalam upaya mengatasi lalat buah pada mangga sehingga mampu menembus pasar ekspor, tahun 2007 dimulai kerjasama dengan Jepang dalam kerangka program IJ-EPA untuk pelatihan-pelatihan dan bantuan peralatan Vapour Heat Treatment (VHT). Dengan pemanfaatan VHT, produk mangga segar dapat lolos dari persyaratan SPS yang terkait dengan keberadaan lalat buah.
IV. Tuntutan bagi SDM Perlindungan Tanaman
Dari paparan singkat dari bab-bab terdahulu, terlihat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura mempunyai beberapa dimensi yang harus ditangani antara lain tanaman, OPT, iklim, lingkungan, sosial budaya, kesehatan maupun politik/administrasi perdagangan. Dimensi tanaman dan OPT sangat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura menangani berbagai persoalan hubungan/interaksi antara tanaman dan OPT. Sementara dimensi iklim, terkait dengan hubungan langsung dan tidak langsung dengan situasi pertumbuhan tanaman dan populasi OPT. Dalam hal tugas fungsi kedinasan Direktorat, iklim terkait dengan dampak anomali yang terjadi, yang mengakibatkan bencana alam.
Dampak negatif terhadap lingkungan telah diketahui secara luas dalam penerapan perlindungan tanaman, terutama dampak negatif penggunaan pestisida. Selain dampak negatif kepada resistensi OPT, resurjensi, matinya organisme bukan sasaran, juga pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sisa-sisa penggunaan pestisida. Dimensi kesehatan manusia juga masih terkait dengan penggunaan pestisida, yaitu keberadaan residu pestisida pada produk-produk pertanian.
Dimensi sosial budaya masyarakat sangat terkait dengan pelaksanaan cara-cara pengendalian OPT yang dilakukan, apa dapat diterima apa tidak oleh masyarakat. Dimensi politik/administrasi perdagangan, sampai dengan saat ini terutama terfokus pada persyaratan-persyaratan perdagangan internasional produk-produk pertanian (hortikultura). Namun pada masa yang akan datang, kemungkinan besar persyaratan-persyaratan yang terkait dengan perlindungan kesehatan manusia menjadi fokus yang penting pada perdagangan hortikultura di dalam negeri, khususnya terkait dengan residu pestisida.
Dari berbagai dimensi perlindungan tanaman hortikultura tersebut, dimensi politik/administrasi perdagangan (internasional) merupakan salah satu dimensi yang cukup pelik. Sebagai salah satu instrumen pendukung perdagangan internasional, khususnya produk-produk hortikultura, perlindungan tanaman memerlukan SDM yang memahami berbagai hal, tidak saja ilmu-ilmu dasar entomologi dan fitopatologi, tetapi juga berbagai pengetahuan implementasi konsep-konsep perlindungan tanaman di tataran administrasi maupun lapangan.
Pengetahuan dan keterampilan dasar entomologi dan fitopatologi sangat diperlukan untuk kegiatan surveilans, identifikasi secara benar jenis OPT, misalnya dalam penyusuanan pest list, identifikasi OPT dalam pelabuhan-pelabuhan masuk produk impor, maupun penentuan cara-cara pengelolaan yang tepat. Khususnya dalam hal koleksi referensi, pengetahuan dasar proteksi termasuk dalam pembuatan dan pemeliharaan koleksi tersebut sangat diperlukan.
Pengetahuan bioekologi OPT, termasuk distribusi geografisnya dan teknologi pengelolaannya, disamping diperlukan untuk pengelolaan di lapangan, juga sangat diperlukan misalnya dalam penyusunan Pest Risk Analysis (PRA). Bioekologi, nilai ekonomi yang diakibatkan (kerusakan yang timbul, konsekuensi biaya pengelolaan dan lain-lain), upaya-upaya pengelolaan, mitigasi dan lain-lain harus dianalisis secara akurat.
Standar-standar perdagangan internasional yang terkait dengan perlindungan tanaman hortikultura merupakan persyaratan perdagangan yang perlu dipahami secara cermat dan baik. Pemahaman terhadap standar-standar tersebut, digabungkan dengan pemahaman pengetahuan dasar maupun pemahaman penerapan perlindungan tanaman secara umum, dijadikan suatu bahan dalam merumuskan langkah-langkah operasional pemenuhan persyaratan-persyaratan tersebut. Dalam operasionalisasi, pemenuhan persyaratan perdagangan internasional, terutama yang di tingkat lapang, perlu ditambah pemahaman yang baik kondisi pengelolaan tanaman, sosial ekonomi-budaya masyarakat, pengelolaan pestisida secara aman dan benar, organisasi pemerintahan dan masyarakat/petani, penyuluhan dan lain-lain. Karena pada dasarnya, operasionalisasi di tingkat lapang menghadapi masalah yang sangat kompleks.
V. Penutup
Perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam ikut mendukung kelancaran perdagangan internasional produk-produk hortikultura. Berbagai persyaratan produk-produk hortikultura, untuk dapat diperdagangkan secara global sangat terkait dengan perlindungan tanaman. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain mutu fisik, mutu akibat cemaran biologi, mutu oleh adanya residu pestisida, mutu yang merupakan hasil proses produksi yang baik (GAP), maupun persyaratan yang sifatnya teknis administratif. Persyaratan teknis administratif tersebut antara lain persyaratan-persyaratan standar-standar fitosanitari yang telah ditetapkan oleh konvensi internasional pelindungan tanaman (IPPC). Sedangkan persyaratan yang terkait dengan mutu oleh adanya residu pestisida telah ditetapkan angka-angka batas minimum residu (BMR) pestisida oleh Codex Alimentarius Commission (CAC).
Melihat pentingnya dan strategisnya posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura tersebut, dituntut keberadaan dan kesiapan SDM perlindungan tanaman, baik di lapangan, laboratorium maupun pada tataran kebijakan/administrasi. Pengetahuan-pengetahuan dasar proteksi, persyaratan-persyaratan perdagangan internasional, perumusan kegiatan dan operasionalisasi upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang cukup kompleks tersebut perlu dipahami oleh para pelaku perlindungan tanaman dengan baik.
Jakarta, 10 Mei 2007
________________________________________
[1] Disampaikan pada seminar dalam rangka:”Plant Protection Show” Ikatan Mahasiswa Hama Penyakit Tumbuhan (IMHPT), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta pada tanggal 13 Mei 2007. (Penyesuaian judul terhadap permintaan panitia: Peran Pelaku Perlindungan Tanaman terhadap Pertanian Indonesia di Pasar Internasional)
[2] Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian.
Jl. AUP, Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Bacaan
Anonim (?) Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. 56 hal.
______ (?) The WTO Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement. SPS Cap. Build. Program. AUSAID. 18 pgs.
______ (2002) Pedoman Teknis Perjanjian Sanitasi dan Fitosanitasi Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures WTO). Barantan, Deptan. Jakarta. 55 hal.
______ (2006) Agricultural Statistics. Statistical Pocketbook of Indonesia. 2006. MOA. Cent. of . Agric. Data and Info. Jakarta. 246 pgs.
______ (2006) International Standards for Phytosanitary Measures 1 to 24 (2005 edition). FAO-UN. Roma. 291 pgs.
______ (2006) Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009. Biro Perencanaan Departemen Pertanian RI. Jakarta. 88 hal.
______ (2007) Pedoman Khusus Pelaksanaan Kegiatan Utama Pengembangan Hortikultura Tahun 2007. Ditjen Hortikultura, Jakarta.
Lampiran
International Standards For Phytosanitary Measures (ISPMs), (Anonim, 2006)
ISPM No. 1. (1993) Principles of plant quarantine as related to international trade
ISPM No. 2. (1995) Guidelines for pest risk analysis
ISPM No. 3. (2005) Guidelines for export, shipment, import and release of biological control agents and other benefecial organisms
ISPM No. 4. (1995) Requirements for the establishment of pest free areas
ISPM No. 5. (2005) Glossary of phytosanitary terms
ISPM No. 6. (1997) Guidelines for surveillance
ISPM No. 7. (1997) Export certification system
ISPM No. 8. (1998) Determination of pest status in an area
ISPM No. 9. (1998) Guidelines for pest eradication programmes
ISPM No. 10. (1999) Requirements for the establishment of pest free places of production and free pest production sites
ISPM No. 11. (2004) Pest risk analysis for quarantine pests, including analysis of environmental risks and living modified organisms
ISPM No. 12. (2001) Guidelines for phytosanitary certificates
ISPM No. 13. (2001) Guidelines for the notification of non-compliance and emergency action
ISPM No. 14. (2002) The use of integrated measures in a system approach for pest risk management
ISPM No. 15. (2002) Guidelines for regulating wood packing material in international trade
ISPM No. 16. (2002) Regulated non-quarantine pests: concept and application
ISPM No. 17. (2002) Pest reporting
ISPM No. 18. (2003) Guidelines for the use of irradiation as a phytosanitary measure
ISPM No. 19. (2003) Guidelines on lists of regulated pests
ISPM No. 20. (2004) Guidelines for a phytosanitary import regulatory system
ISPM No. 21. (2004) Pest risk analysis for regulated non-quarantine pests
ISPM No. 22. (2005) Requirements for the establishment of areas of low pest prevalence
ISPM No. 23. (2005) Guidelines for inspection
ISPM No. 24. (2005) Guidelines for the determination and recognition of equivalence of phytosanitary measures
ISPM No. 25. (2006) Consignment in transit
ISPM No. 26. (2006) Establishment of pest free areas for fruitflies (Tephritidae)
Info Petani -