Pestisida-Kesadaran masyarakat akan dampak negatif pestisida kimia terus berkembang. Sejalan dengan hal tersebut, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara arif dan bijaksana juga terus dikembangkan, hingga melahirkan falsafah Pengendalian Organisme Pengganggu Utama Terpadat (Integrated Pest Management). Untuk mengatasi dampak negatif penggunaan pestisida kimia, dapat digunakan pestisida alami atau bahan-bahan nabati (back to nature). Indonesia cukup kaya akan potensi tanaman penghasil racun untuk memberantas organisme pengganggu tanaman. Pemanfaatan potensi pestisida alami tersebut dapat diwujudkan melalui teknologi tradisional maupun teknologi modern. Tumbuhan anti hama atau penghasil racun untuk memberantas organisme pengganggu tanaman harus memenuhi kriteria sebagai berikut: merupakan tanaman tahunan; memerlukan sedikit arang, tenaga kerja, pupuk, dan air bukan merupakan tanaman inang atau sumber hama lain; memiliki kegunaan lain selain sebagai pestisida alami; dan bahan anti hama dapat diambil tanpa mematikan tanaman yang bersangkutan.
Menurut Balitro, sampai saat ini, dari sekitar 5.400 jenis tumbuhan yang telah diketahui mengandung bahan pestisida, ternyata baru sekitar 10.000 jenis senyawa metabolit yang telah dapat diidentifftasi. Di Indonesia,diperkirakan terdapat lebih dari 100 jenis tumbuhan yang mengandung bahan pestisida, antara lain tanaman srikaya (Annona grabra dan A. squamosa), tanaman bengkuang (Pachyrhizus qerosus URB), bunga pyrethrum (chrysanthemum cinerariefolium), dan tanaman atau akar ntba (Derris elliptica Benth).
Pengetahuan dan penelitian mengenai pestisida botani tersebut telah banyak dilakukan di negara-negara maju, misalnya Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa. Perlindungan (proteksi) tanaman terhadap gangguan hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida alami (nabati) telah dimulai sejak zaman dahulu. Misalnya, pada zaman Romawi sulfur sudah digunakan sebagai pestisida. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak jenis tanaman atau bagian tanaman diketahui dapat menghasilkan racun serangga hama, misalnya ekstrak daun tembakau, pyrethrin dari bunga pyrethrum (Chrysanthemum cinerariae folium) dan ekstrak akar tanaman tuba (Derris elliptica Benth).
Di Indonesia, penggunaan pestisida alami telah berlangsung sebelum tahun 1960-an, ditandai dengan munculnya Revolusi Hijau. Revolusi Hijau dilaksanakan dalam bentuk masukan-masukan bagi proses intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi produk-produk pertanian. Salah satu masukan pestisida alami tersebut adalah pestisida pemberantas Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), terutama untuk mengendalikan hama dan penyakit.pestisida alami
Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan pestisida semakin meningkat dengan pesat, baik jenis, dosis, maupun interval pemakaiannya. Di Indonesia, terdapat lebih dari 25 jenis pestisida yang digunakan oleh petani, 16 jenis di antaranya adalah insektisida yang digunakan oleh petani sayuran dataran tinggi. Petani sayuran datatan rendah, misalnya di Kabupaten Tegal dan Brebes, telah menggunakan 15 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman cabai, dan 12 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman bawang merah.
pestisida alami Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Bandung, khususnya di sentra-sentra produksi sayuran dataran tinggi, penggunaan insektisida ditingkat petani sudah sangat intensif, yakni dengan interval penyemprotan antara 1 - 2 kali per minggu dengan konsentrasi antara 0,7% - 0,45%. Pada keadaan tersebut, biaya penggunaan pestisida dalam budi daya sayuran, misalnya kubis mencapai 30%, tomat 50%, dan kentang 40% dari total produksi variabel. Sementara di Kabupaten Tegal dan Brebes, penyemprotan insektisida dilakukan setiap 2 - 3 hari, dengan volume penyemprotan antara 125 - 900liter/ha tiap aplikasi pada tanaman cabai dan 500 - 1.000 liter/ha pada tanaman bawang merah.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman telah dilakukan secara intensifdan berlebihan, oleh para petani di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain merupakan pemborosan, penggunaan pestisida secara intensif dan berlebihan juga menimbulkan berbagai masalah yang serius serta merugikan manusia dan hewan. Konsekuensi penggunaan pestisida kimia secara intensif dan berlebihan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dapat meracuni manusia dan hewan domestik.
2. Meracuni organisme yang berguna, misalnya musuh alami hama, lebah
dan serangga yang membantu penyerbukan, dan satwa liar yang mendukung
fungsi kelestarian alam.
3. Mencemari lingkungan dengan segala akibatnya, termasuk residu pestisida.
4. Menimbulkan strain hama baru yang resisten terhadap pestisida.
5. Menimbulkan terjadinya resurgensi hama atau peristiwa meningkatnya
populasi hama setelah diperlakukan dengan pestisida tertentu.
6. Menyebabkan terjadinya ledakan hama sekunder dan hama potensial'
7 . Memerlukan biaya yang mahal karena sifat ketergantungan keberhasilan
budi daya tanaman pada pestisida.
Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia dalam upaya penanggulangan hama dan penyakit tanaman, maka perlu dicari teknik pengendalian yang tepat dan aman bagi manusia dan lingkungan, serta mangkus terhadap jasad sasaran. Salah satu komponen pengendalian hama dan penyakit yang saat ini sedang dikembangkan adalah penggunaan pestisida nabati atau senyawa bioaktif alamiah yang berasal dari tumbuhan. Selain menghasilkan senyawa primer (primary metabolite), dalam proses metabolismenya tumbuhan juga menghasilkan senyawa sekunder (secondary metabolite), misalnya fenol, alkaloid, terpenoid, dan senyawa lain. Senyawa sekunder ini merupakan pertahanan tumbuhan terhadap serangan hama.
Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan pestisida semakin meningkat dengan pesat, baik jenis, dosis, maupun interval pemakaiannya. Di Indonesia, terdapat lebih dari 25 jenis pestisida yang digunakan oleh petani, 16 jenis di antaranya adalah insektisida yang digunakan oleh petani sayuran dataran tinggi. Petani sayuran datatan rendah, misalnya di Kabupaten Tegal dan Brebes, telah menggunakan 15 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman cabai, dan 12 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman bawang merah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Bandung, khususnya di sentra-sentra produksi sayuran dataran tinggi, penggunaan insektisida ditingkat petani sudah sangat intensif, yakni dengan interval penyemprotan antara 1 - 2 kali per minggu dengan konsentrasi antara 0,7% - 0,45%. Pada keadaan tersebut, biaya penggunaan pestisida dalam budi daya sayuran, misalnya kubis mencapai 30%, tomat 50%, dan kentang 40% dari total produksi variabel. Sementara di Kabupaten Tegal dan Brebes, penyemprotan insektisida dilakukan setiap 2 - 3 hari, dengan volume penyemprotan antara 125 - 900liter/ha tiap aplikasi pada tanaman cabai dan 500 - 1.000 liter/ha pada tanaman bawang merah.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman telah dilakukan secara intensifdan berlebihan, oleh para petani di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain merupakan pemborosan, penggunaan pestisida secara intensif dan berlebihan juga menimbulkan berbagai masalah yang serius serta merugikan manusia dan hewan. Konsekuensi penggunaan pestisida secara intensif dan berlebihan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dapat meracuni manusia dan hewan domestik.
2. Meracuni organisme yang berguna, misalnya musuh alami hama, lebah
dan serangga yang membantu penyerbukan, dan satwa liar yang mendukung
fungsi kelestarian alam.
3. Mencemari lingkungan dengan segala akibatnya, termasuk residu pestisida.
4. Menimbulkan strain hama baru yang resisten terhadap pestisida.
5. Menimbulkan terjadinya resurgensi hama atau peristiwa meningkatnya
populasi hama setelah diperlakukan dengan pestisida tertentu.
6. Menyebabkan terjadinya ledakan hama sekunder dan hama potensial'
7 . Memerlukan biaya yang mahal karena sifat ketergantungan keberhasilan
budi daya tanaman pada pestisida.
Dalam dunia pertanian, pestisida yang berasal dari tanaman mulai dilirik kembali. Indonesia cukup kaya akan potensi alamiah aneka sumber daya tanaman penghasil pestisida alami.
Potensi Tanaman Penghasil Pestisida
Sejak dulu hingga sekarang, pemakaian pestisida merupakan salah satu altematif untuk mengamankan produksi pertanian dunia. Sukses besar yang dicapai dalam pengendalian hama dan penyakit dengan penggunaan pestisida adalah setelah Perang Dunia II, yaitu sebagai awal era baru pemakaian insektisida organik sintetis, misalnya DDT dan BHC. Penggunaan pestisida kimia
memang dapat mengamankan produksi pertanian secara ekonomis, karena pestisida kimia memiliki keunggulan komparatif sebagai berikut:
1. Pestisida alami Sangat mangkus (efektif)
2. Pestisida alami Praktis dan luwes, dalam pengertian mudah dikerjakan kapan saja dan
oleh siapa saja, baik pada keadaan rutin ataupun darurat
3. Pestisida alami Cocok atau kompatibel dengan teknik pengendalian yang lain
Rating: 5
Reviewer: Info Petani -
ItemReviewed: PESTISIDA ALAMI MAKIN DIMINATI - 9756people
Menurut Balitro, sampai saat ini, dari sekitar 5.400 jenis tumbuhan yang telah diketahui mengandung bahan pestisida, ternyata baru sekitar 10.000 jenis senyawa metabolit yang telah dapat diidentifftasi. Di Indonesia,diperkirakan terdapat lebih dari 100 jenis tumbuhan yang mengandung bahan pestisida, antara lain tanaman srikaya (Annona grabra dan A. squamosa), tanaman bengkuang (Pachyrhizus qerosus URB), bunga pyrethrum (chrysanthemum cinerariefolium), dan tanaman atau akar ntba (Derris elliptica Benth).
Pengetahuan dan penelitian mengenai pestisida botani tersebut telah banyak dilakukan di negara-negara maju, misalnya Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa. Perlindungan (proteksi) tanaman terhadap gangguan hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida alami (nabati) telah dimulai sejak zaman dahulu. Misalnya, pada zaman Romawi sulfur sudah digunakan sebagai pestisida. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak jenis tanaman atau bagian tanaman diketahui dapat menghasilkan racun serangga hama, misalnya ekstrak daun tembakau, pyrethrin dari bunga pyrethrum (Chrysanthemum cinerariae folium) dan ekstrak akar tanaman tuba (Derris elliptica Benth).
Di Indonesia, penggunaan pestisida alami telah berlangsung sebelum tahun 1960-an, ditandai dengan munculnya Revolusi Hijau. Revolusi Hijau dilaksanakan dalam bentuk masukan-masukan bagi proses intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi produk-produk pertanian. Salah satu masukan pestisida alami tersebut adalah pestisida pemberantas Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), terutama untuk mengendalikan hama dan penyakit.pestisida alami
Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan pestisida semakin meningkat dengan pesat, baik jenis, dosis, maupun interval pemakaiannya. Di Indonesia, terdapat lebih dari 25 jenis pestisida yang digunakan oleh petani, 16 jenis di antaranya adalah insektisida yang digunakan oleh petani sayuran dataran tinggi. Petani sayuran datatan rendah, misalnya di Kabupaten Tegal dan Brebes, telah menggunakan 15 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman cabai, dan 12 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman bawang merah.
pestisida alami Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Bandung, khususnya di sentra-sentra produksi sayuran dataran tinggi, penggunaan insektisida ditingkat petani sudah sangat intensif, yakni dengan interval penyemprotan antara 1 - 2 kali per minggu dengan konsentrasi antara 0,7% - 0,45%. Pada keadaan tersebut, biaya penggunaan pestisida dalam budi daya sayuran, misalnya kubis mencapai 30%, tomat 50%, dan kentang 40% dari total produksi variabel. Sementara di Kabupaten Tegal dan Brebes, penyemprotan insektisida dilakukan setiap 2 - 3 hari, dengan volume penyemprotan antara 125 - 900liter/ha tiap aplikasi pada tanaman cabai dan 500 - 1.000 liter/ha pada tanaman bawang merah.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman telah dilakukan secara intensifdan berlebihan, oleh para petani di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain merupakan pemborosan, penggunaan pestisida secara intensif dan berlebihan juga menimbulkan berbagai masalah yang serius serta merugikan manusia dan hewan. Konsekuensi penggunaan pestisida kimia secara intensif dan berlebihan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dapat meracuni manusia dan hewan domestik.
2. Meracuni organisme yang berguna, misalnya musuh alami hama, lebah
dan serangga yang membantu penyerbukan, dan satwa liar yang mendukung
fungsi kelestarian alam.
3. Mencemari lingkungan dengan segala akibatnya, termasuk residu pestisida.
4. Menimbulkan strain hama baru yang resisten terhadap pestisida.
5. Menimbulkan terjadinya resurgensi hama atau peristiwa meningkatnya
populasi hama setelah diperlakukan dengan pestisida tertentu.
6. Menyebabkan terjadinya ledakan hama sekunder dan hama potensial'
7 . Memerlukan biaya yang mahal karena sifat ketergantungan keberhasilan
budi daya tanaman pada pestisida.
Melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia dalam upaya penanggulangan hama dan penyakit tanaman, maka perlu dicari teknik pengendalian yang tepat dan aman bagi manusia dan lingkungan, serta mangkus terhadap jasad sasaran. Salah satu komponen pengendalian hama dan penyakit yang saat ini sedang dikembangkan adalah penggunaan pestisida nabati atau senyawa bioaktif alamiah yang berasal dari tumbuhan. Selain menghasilkan senyawa primer (primary metabolite), dalam proses metabolismenya tumbuhan juga menghasilkan senyawa sekunder (secondary metabolite), misalnya fenol, alkaloid, terpenoid, dan senyawa lain. Senyawa sekunder ini merupakan pertahanan tumbuhan terhadap serangan hama.
Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan pestisida semakin meningkat dengan pesat, baik jenis, dosis, maupun interval pemakaiannya. Di Indonesia, terdapat lebih dari 25 jenis pestisida yang digunakan oleh petani, 16 jenis di antaranya adalah insektisida yang digunakan oleh petani sayuran dataran tinggi. Petani sayuran datatan rendah, misalnya di Kabupaten Tegal dan Brebes, telah menggunakan 15 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman cabai, dan 12 jenis insektisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman bawang merah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Bandung, khususnya di sentra-sentra produksi sayuran dataran tinggi, penggunaan insektisida ditingkat petani sudah sangat intensif, yakni dengan interval penyemprotan antara 1 - 2 kali per minggu dengan konsentrasi antara 0,7% - 0,45%. Pada keadaan tersebut, biaya penggunaan pestisida dalam budi daya sayuran, misalnya kubis mencapai 30%, tomat 50%, dan kentang 40% dari total produksi variabel. Sementara di Kabupaten Tegal dan Brebes, penyemprotan insektisida dilakukan setiap 2 - 3 hari, dengan volume penyemprotan antara 125 - 900liter/ha tiap aplikasi pada tanaman cabai dan 500 - 1.000 liter/ha pada tanaman bawang merah.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman telah dilakukan secara intensifdan berlebihan, oleh para petani di dataran rendah dan dataran tinggi. Selain merupakan pemborosan, penggunaan pestisida secara intensif dan berlebihan juga menimbulkan berbagai masalah yang serius serta merugikan manusia dan hewan. Konsekuensi penggunaan pestisida secara intensif dan berlebihan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dapat meracuni manusia dan hewan domestik.
2. Meracuni organisme yang berguna, misalnya musuh alami hama, lebah
dan serangga yang membantu penyerbukan, dan satwa liar yang mendukung
fungsi kelestarian alam.
3. Mencemari lingkungan dengan segala akibatnya, termasuk residu pestisida.
4. Menimbulkan strain hama baru yang resisten terhadap pestisida.
5. Menimbulkan terjadinya resurgensi hama atau peristiwa meningkatnya
populasi hama setelah diperlakukan dengan pestisida tertentu.
6. Menyebabkan terjadinya ledakan hama sekunder dan hama potensial'
7 . Memerlukan biaya yang mahal karena sifat ketergantungan keberhasilan
budi daya tanaman pada pestisida.
Dalam dunia pertanian, pestisida yang berasal dari tanaman mulai dilirik kembali. Indonesia cukup kaya akan potensi alamiah aneka sumber daya tanaman penghasil pestisida alami.
Potensi Tanaman Penghasil Pestisida
Sejak dulu hingga sekarang, pemakaian pestisida merupakan salah satu altematif untuk mengamankan produksi pertanian dunia. Sukses besar yang dicapai dalam pengendalian hama dan penyakit dengan penggunaan pestisida adalah setelah Perang Dunia II, yaitu sebagai awal era baru pemakaian insektisida organik sintetis, misalnya DDT dan BHC. Penggunaan pestisida kimia
memang dapat mengamankan produksi pertanian secara ekonomis, karena pestisida kimia memiliki keunggulan komparatif sebagai berikut:
1. Pestisida alami Sangat mangkus (efektif)
2. Pestisida alami Praktis dan luwes, dalam pengertian mudah dikerjakan kapan saja dan
oleh siapa saja, baik pada keadaan rutin ataupun darurat
3. Pestisida alami Cocok atau kompatibel dengan teknik pengendalian yang lain
Info Petani -