Indonesia telah memiliki sistem jaminan mutu obat hewan yang telah diakreditasi secara nasional dan Asean.
Semua obat hewan yang diedarkan di dalam wilayah Republik Indonesia harus mendapatkan nomor pendaftaran. “Untuk mendapatkan nomor pendaftaran semua obat hewan yang akan diedarkan harus memenuhi persyaratan minimal pengujian mutu obat hewan melalui Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan atau BBPMSOH,” kata Drh. Pudjiatmoko, PhD Kepala BBPMSOH kepada Sinar Tani.
BBPMSOH selain melakukan pengujian mutu obat hewan, juga menerbitkan sertifikat hasil pengujian mutu obat hewan yang telah memenuhi persyaratan mutu baik obat hewan yang diedarkan di dalam negeri maupun untuk dijual keluar negeri. Sertifikat hasil pengujian ini sangat dibutuhkan dalam rangka penjaminan mutu obat hewan Indonesia yang akan ekspor ke manca negara.
BBPMSOH adalah satu-satunya institusi pemerintah Indonesia yang mempunyai wewenang melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan yang beredar di Indonesia. BBPMSOH merupakan salah satu unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
BBPMSOH telah ditunjuk sebagai focal point untuk vaksin hewan di tingkat ASEAN sejak tahun 1993. Sebagai lembaga pengujian mutu obat hewan, BBPMSOH telah diakreditasi di tingkat nasional sejak Juni 1998 dan tingkat ASEAN sejak Agustus 2002. Maka dari itu, pada saat ini peran BBPMSOH semakin penting dalam percaturan jaminan mutu obat hewan di kawasan Asia Tenggara.
Pada program pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia, BBPMSOH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang digunakan baik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit hewan maupun untuk peningkatan produktifitas ternak secara umum termasuk sapi.
Pada era perdagangan bebas dan seiring pesatnya perkembangan teknologi obat hewan, BBPMSOH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang akan diekspor ke luar negeri. BBPMSOH juga berperan dalam pembinaan teknis kepada produsen obat hewan untuk meningkatkan jaminan mutu obat hewan produksi dalam negeri. Jaminan mutu obat hewan tersebut sangat diperlukan dalam rangka peningkatan ekspor obat hewan Indonesia ke manca negara.
Sumber: Sinar Tani - Membangun Kemandirian Agribisnis, Senin, 01/11/2010
Rating: 5
Reviewer: Info Petani -
ItemReviewed: Jaminan Mutu Obat Hewan Produk Indonesia - 9756people Info Petani -
Hayati M., Maharis R., Pramastuti I., Hakim A., Syaefurrosad, Maizir A. dan Pudjiatmoko
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Gunungsindur, Bogor
ABSTRAK
Pengkajian seroprevalensi terhadap Chlamydophila abortus telah dilakukan di 12 Kabupaten dari 6 Propinsi di Indonesia. Setiap Kabupaten diambillO sampel serum dari sapi betina. Pengambilan sampel berlangsung dari bulan Juni-Agustus 2010. Sebanyak 120 sampel serum diuji menggunakan metode ELISA. Dari hasil pengujian ELISA tersebut diperoleh hasil 25 % sampel seropositif, 15 % suspected dan 60 % seronegatif. Seropositif Chlamydophila abortus pada sapi betina ini merupakan laporan pertama kali di Indonesia.
Kata Kunci: Chlamydophila abortus, sapi, seroprevalensi
ABSTRACT
A study of the seroprevalence of Chlamydophila abortus has been carried out at 12 Regency from 6 Province, in Indonesia. Ten samples of sera from cows in each region were collected. The sampling took place from June-August 2010. The samples totally 120 sera were tested using ELISA method. The result of ELISA test showed that 25 % seropositive, 15 % suspected and 60% seronegative samples. This Seropositive against Chlamydophila abortus in cows is the first report in Indonesia.
Beberapa negara di dunia telah melaporkan berbagai kasus abortus yang disebabkan infeksi Chlamydophila abortus. Salah satu laporan menyatakan pada tahun 2007 di Jerman dari 100 sampel sapi betina yang diambil, sebanyak 61 % terinfeksi Chlamydophila sp. (13). Sedangkan kasus infeksi C. abortus di Inggris, Swedia, Italia dan Turki pemah dilaporkan pada sapi, kambing dan domba (9,11,14,18).
Bakteri Chlamydophila abortus yang dapat menyebabkan Epizootic Bovine Abortion masuk kedalam famili Chlamydiaceae. Bakteri ini merupakan bakteri intraseluler obligat, gram negatif, non motil dan biasa menyerang sapi, kambing dan domba (8,17). Gejala klinis yang tampak dari penyakit ini antara lain, vaginitis, endometritis, repeat breeding, abortus pada kebuntingan 4-9 bulan, stillbirth (lahir kemudian mati), dan jika fetus lahir maka dalam kondisi lemah serta diikuti dengan retensi plasenta (7, 9). Gejala lain seperti pneumonia, enteritis, poliarthritis dan encephalitis juga pernah dilaporkan (9).
Chlamydophila abortus merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyebabkan abortus pada wanita yang berkontak langsung dengan domba dan sapi (1). Pada suatu penelitian ditemukan bahwa kasus mastitis pada sapi juga dapat disebabkan oleh infeksi C.abortus (4). Hal ini mengakibatkan resiko terinfeksi bakteri bagi pemerah susu dan manusia yang meminumnya sangat tinggi.
Pertumbuhan C.abortus dapat dihambat oleh antibiotik seperti tetrasiklin dan erithromisin. Sampai sekarang informasi tentang resistensi C. abortus terhadap antibiotik belum banyak diamati (15).
Diagnosa C.abortus dapat dilakukan secara serologis, identifikasi dan isolasi. Metode yang biasa digunakan adalah microimmunofluorescence, ELISA, PCR dan isolasi agen pada biakan ku1tur se1 (1, 6, 16). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metode ELISA lebih mudah, sensitif dan spesifik jika dibandingkan dengan uji serologis lain (10). Salah satu penelitian yang membandingkan antara metode CFT dan ELISA untuk pengujian serologis C.abortus. Pada penelitian tersebut diperoleh bahwa metode ELISA lebih sensitif dan spesifik dari pada metode CFT (12).
Kejadian infeksi C.abortus pada sapi te1ah banyak dilaporkan di luar negeri, tetapi di Indonesia kasus ini belum banyak diungkapkan atau dilaporkan secara resmi. Sedangkan kasus aborsi dan gangguan reproduksi sering terjadi di Indonesia. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui seroprevalensi C. abortus pada sapi potong/perah di beberapa wilayah Indonesia. Seropositif C.abortus pada sapi di Indonesia dalam studi ini merupakan laporan pertama kali.
MATERI DAN METODE
Sampel Serum
Pengambilan Serum diambil dari sapi perah atau sapi potong betina dari petemakan rakyat di 12 Kabupaten dari 6 Propinsi, yaitu: Sleman, Bantul (DIY), Lebak, Tangerang (Banten), Mojokerto, Sumenep (Jawa Timur), Tanggamus, Way Kanan (Lampung), Semarang, Boyolali (Jawa Tengah), Tasikmalaya dan Bandung (Jawa Barat). Dari masing-masing lokasi diperoleh sebanyak 10 sampel sehingga terkumpul sebanyak 120 sampel. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2010.
Uji Serologis
Pengujian ELISA dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunung Sindur. Seratus dua puluh sampel serum sapi yang telah terkumpul diuji serologis dengan menggunakan ELISA kit komersial dari Idexx, Laboratories Inc, USA.
Metode yang digunakan adalah indirect ELISA
Berikut adalah prosedur yang dilakukan sesuai dengan petunjuk pada kit ELISA. Sampel dan kontrol diencerkan dengan wash solution dengan perbandingan 1:400. Kemudian 100 µl sampel dan kontrol yang telah diencerkan diteteskan pada setiap well yang terdapat pada plate. Plate diinkubasi selama 60 menit (± 5 menit) pada suhu 37°C. Setelah diinkubasi, plate dibilas dengan wash solution 300µl sebanyak 3 kali. Chekit-Chlamydia-Anti ruminant IgG-PO conjugate diteteskan sebanyak 100 µl setiap well dan inkubasikan selama 60 menit (± 5 menit) pada suhu 37°C. Lalu plate dibilas dengan wash solution 300 µl sebanyak 3 kali. Chekit TMB-Substrate diteteskan sebanyak 100 µl pada setiap well dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 15 menit. Reaksi warna dihentikan dengan cara penambahan 100 µl Chekit stop solution pada setiap well. Hasil pembacaan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm dianalisis dengan rumus sebagai berikut:
S/P (Sampel positif ratio) (%) = (OD sampel - OD negatif) : (OD Positif - OD negatif) x 100%
HASIL DAN DISKUSI
Interpretasi hasil pembacaan ELISA dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel dinyatakan positif jika S/P ratio (dalam persen) sama dengan atau lebih besar 40%, jika S/P ratio sebesar 30 - 40% dinyatakan suspect dan sampel dinyatakan negatif apabila S/P ratio <>
Hasil pengujian titer antibodi menggunakan ELISA dengan interpretasi tersebut dapat dilihat pada Tabel di bawah. Dari 120 sampe1 serum yang diuji, terdapat 30 sampel (25 %) seropositif antibodi terhadap C. abortus,sedangkan sebanyak 18 sampel (15 %) merupakan suspected C. abortus. Seropositif terbanyak terjadi di Kabupaten Sleman sebanyak 5 dari 10 (50%) sampel yang diambil, lalu diikuti Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Sumenep dengan 4 dari 10 (40%) sampel. Sedangkan Kabupaten Way Kanan sebanyak 3 dari 10 (30%) sampel seropositif. Kabupaten Bandung, Bantul, Lebak, Boyolali, Mojokerto dan Tanggamus dengan seropositif masingmasing sebanyak 2 dari 10 (20%) sampel. Dan seropositif yang paling sedikit terdapat di Tasikmalaya dan Semarang yaitu sebanyak 1 dari 10 (10%) sampel. Sampel yang diuji menunjukkan adanya positif antibodi terhadap C. abortus di semua lokasi pengambilan. Di daerah pengambilan sampel tidak dilakukan vaksinasi C. abortus dan dapat disimpulkan seropositif ini menunjukkan terdapat infeksi C. abortus di daerah tersebut.
Tabel: Hasil pengujian Cabonus dengan menggunakan metode ELISA
Propinsi
Kabupaten
Jumlah
Sampel
Jumlah Positif (%)
Jumlah Suspect (%)
Jumlah Negatif (%)
D.I.Y.
Sleman
10
5 (50)
1 (10)
4 (40)
Bantul
10
2 (20)
3 (30)
5 (50)
Banten
Tangerang
10
4 (40)
1 (10)
5 (50)
Lebak
10
2 (20)
2 (20)
6 (60)
Jawa Timur
Sumenep
10
4 (40)
3 (30)
3 (30)
Mojokerto
10
2 (20)
2 (20)
6 (60)
Lampung
Way Kanan
10
3 (30)
0(0)
7 (70)
Tanggamus
10
2 (20)
1 (10)
7 (70)
Jawa Tengah Boyolali
10
2 (20)
2 (20)
6 (60)
Semarang
10
1 (10)
1 (10)
8 (80)
Jawa Barat
Bandung
10
2 (20)
0(0)
8 (80)
Tasikmalaya
10
1 (10)
2 (20)
7 (70)
Total sampel
120
30 (25)
18 (15)
72 (60)
Kasus gangguan reproduksi akibat infeksi dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus dan parasit seperti Brucella abortus, Leptospira sp., Bovine Viral Diarrhoea, Infectious Bovine Rhinotrhacaeitis, Trikomoniasis dan C.abortus (7). Selain Brucella, Toxoplasma dan Neospora, C. abortus juga ditemukan sebagai salah satupenyebab abortus pada ruminansia di Belgia (19). Hal tersebut juga terjadi di Turki, bahwa selain akibat infeksi Brucellosis, C. abortus juga mengakibatkan abortus (18). Chlamydophila abortus menjadi penyebab utama kasus abortus di Swiss dan diikuti oleh infeksi Toxoplasma gondii dan Coxiella burnetti. Selain kasus infeksi, kasus abortus juga dapat disebabkan malformasi alat reproduksi dan defisiensi vitamin dan mineral (5).
Kasus C. abortus pada ruminansia di Indonesia jarang atau bahkan tidak pemah dilaporkan. Selama ini Brucellosis masih dianggap sebagai penyebab terbesar kasus abortus di Indonesia. Dari beberapa laporan diatas dan banyaknya seropositifyang diperoleh pada studi ini, infeksi C. abortus dapat digunakan sebagai diagnosa banding pada kasus abortus dan gangguan reproduksi lainnya yang terjadi di Indonesia.
Beberapa Seropositif menunjukkan gejala klinis seperti abortus, mastitis, repeat breeding atau anestrus. Sapi yang tidak menunjukkan gejala klinis dapat saja menjadi reaktor C. abortus dan menularkannya kepada individu yang lain. Chlamydophila abortus dapat menular melalui rute faecal-oral atau venereal (3). Adanya infeksi C. abortus pernah dideteksi pada vagina sapi betina (6). Sedangkan pada sapi jantan ditemukan bakteri C. abortus pada semen sehingga transmisi venereal dapat terjadi (2).
Adanya arus keluar masuk hewan dari dalam dan luar peternakan, penggunaan pejantan yang terinfeksi, pemisahan individu dalam satu kelompok kandang yang tidak sempurna, kondisi sapi dan kandang yang kotor, diidentifikasi meningkatkan resiko penularan C. abortus (13). Kondisi tersebut ditemukan pada kandang-kandang sapi di setiap lokasi pengambilan sampel. Tingkat sanitasi kandang yang rendah menyebabkan dalam satu kelompok kandang dapat terjadi beberapa kasus C. abortus.
Sebagai salah satu penyebab penyakit zoonosis, C. abortus perlu diamati perkembangannya untuk dapat dilakukan penatalaksanaan kesehatan masyarakat veteriner yang lebih baik. Kontak langsung manusia dengan hewan yang terinfeksi sangat sering terjadi terutama bagi pemerah susu sapi dan peternak. Fakta bahwa bakteri ini dapat diekskresikan melalui susu yang diproduksi meningkatkan resiko terinfeksi terhadap manusia yang meminumnya (4).
KESlMPULAN
Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa kasus Chlamydophila abortus ditemukan di 12 kabupaten dari 6 Propinsi, Indonesia. Persentase seroprevalensi infeksi Chlamydophila abortus pada sapi di Indonesia cukup tinggi berkisar antara 10 % sampai 50 %. Selanjutnya perlu dilakukan kajian tentang deteksi dan isolasi Chlamydophila abortus di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada petugas Dinas Pertanian dan Peternakan yang membidangi fungsi kesehatan hewan atas bantuan teknis terlaksananya pengambilan sampel serum sapi dari Kabupaten Sleman, Bantul, Tangerang, Lebak, Sumenep, Mojokerto, Way Kanan, Tanggamus, Boyolali, Semarang, Bandung dan Tasikmalaya.
DAFTAR PUSAKA
1. Aitken I. D., Longbottom D. 2004. Enzootic Abortion of Ewes (Ovine Chlamydiosis). pp. 635-641. In:
OIE (ed). Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals.
2. Amin A.S. (2003). Comparison of Polymerase Chain Reaction and Cell Culture for The Detection of Chlamydophila Species in The Semen of Bulls, Buffalo-bulls and Rams. Veterinary Journal, 166(1): 86-92.
3. Anonimous. 2009. Import Risk Analysis: Cattle Germplasm from All Countries. MAP Biosecurity New Zealand.
4. Biesenkamp-Uhe, C.Li, Y. Hehnen, HR. Sachse, K., Kaltenboeck, B. 2007. Therapeutic Chlamydophila abortus and C.pecorum Vaccination Transiently Reduces Bovine Mastitis Associated with Chlamydophila Infection. Infection Immunity 75 (2): 870-877.
5. Chanton-Greutmann H., Thoma R, Corboz L, Borel N, Pospichii A. 2002. Abortion in Small Ruminants in Switzerland: Investigation During Lambing Seasons (1996-1998) with Special Regard to Chlamydial Abortions. Scweiz Arch Tierheiikd 144(9): 483-92.
6. DeGraves F.J., Gao D., Hehnen H., Schlapp T., dan Kaltenboeck B. 2003. Quantitative Detection of Chlamydia psitacii and C. pecorum by HighSensitivity Real-Time PCR Reveals High Prevalence of Vaginal Infection in Cattle. Journal of Clinical Microbiology 41(4): 1726-1729.
7. Dian R., Wulan C.P., Lukman A. 2007. Petunjuk teknis: Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. hal. 16-22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
8. Everett K.D.E., Bush R.M. dan Andersen A.A. 1999. Emended Description of The Order Chlamydiales, Proposal of Parachlamydiaceae fam. Nov. and Simkaniaceae fam. Nov., Each Containing One Monotypic Genus, Revised Taxonomy of The Family Chlamydiaceae, Including a New Genus and Five New Species and Standards for The Identification of Organisms. International Journal of Systemic Bacteriology 49:415-440.
9. Godin A., Bjorkman C., Englund S., Niskanen K.R., Alenius S. 2008. Investigation of Chlamydophila spp. In Dairy Cows with Reproductive Disorders. Acta Vet Scand, 50(1): 39.
10. Griffiths P.C., Plater J.M., Horigan M.W., Rose M.P., Venables C., Dawson M. 1996. Seological Diagnosis of Ovine Enzootic Abortion by Comparative Inclusion Immunofluorescence Assay, Recombinant Lipopo1ysaccaride EnzymeLinked Immunosorbent Assay and Complement Fixation Test. Clinical Microbiology 34 (6): 15128.
11. Griffiths P.c., Plater J.M., Martin T.C., Hughes S.L., Hughes K.J., Hewinson R.G, Dawson M. 1995. Epizootic Bovine Abortion in Dairy Herd: Characterization of Chlamydia psittaci Isolate and Antibody Response. British Veterinary Journal, 151 (6):683-693.
12. Kaltenboeek B., Heard D., DeGraves F.J., and Sehmeer N. 1997. Use of Synthetic Antigens Improves Detection by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay of Antibodies against Abortigenic Chlamydia psittaci in Ruminants. Journal of Clinical Microbiology 35 (9): 2293 2298.
13. Kemmerling K., Muller D., Mielenz M., dan Sauerwein. 2003. Chlamydophila species in dairy farms: Polymerase Chain Reaction Prevalence, Disease Association and Risk Factors Identified in a Cross-sectional Study in Western Germany. Journal of Dairy Science, 92(9): 4347-4354.
14. Masala G, Poreu R., Sanna G, Tanda A., dan Tola S. 2005. Role of Chlamydophila abortus in Ovine and Caprine Abortion in Sardinia, Italy. Vet. Res. Commun. 29(1): 117-123.
15. MeOrist S. 2000. Obligate Intracellular Bacteria and Antibiotic Resistance. Trends in Microbiology 8:483.
16. Perez-Martinez, J. A. dan J. Storz. 1985. Antigenic Diversity of Chlamydia psitacii of Mammalian Origin Determined by Microimmunofluorescence. Infection and Immunity 50(3): 905-910.
17. Rodolakis A., Bernard F. dan Lantier F. 1989.
Mouse Models for Evaluation of Virulence of Chlamydia psittaci Isolated from Ruminants. Res. Veterinary Science 46: 34-39.
18. Otlu S., Sahin M., Dnver A., dan Celebi 0.2007.
Detection of Brucella melitensis and Chlamydophila abortus Antibodies in Aborting Sheep in the Kars Province of Turkey. Bull Veterinary Inst Pulawy 51: 493-495.
19. Vercammen F., DE Deken R., dan Brandt J. 2004.
Seropreva1ence of Abortive Infectious Agents in Ruminants of The Royal Zoological Society of Antwerp (1992-2002). European Association of Zoo and Wildlife Veterinarians (EAZWW) 5th Scientific Meeting, Ebeltoft. Denmark.
Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 15 Tahun 2010 hal. 4 - 7.
Rating: 5
Reviewer: Info Petani -
ItemReviewed: Seroprevalensi Chalmydophila abortus pada Sapi Betina di 6 Propinsi, Indonesia - 9756people Info Petani -