Pada saat ini (Pebruari 2009) terdapat perusahaan Jepang yang menginginkan impor telur ikan terbang dari Indonesia, sehingga pada kesempatan ini ditampilkan artikel dari Trubus untuk pembaca yang berminat meningkatkan ekspor telur ikan terbang dari Indonesia ke Jepang. Bolehkah menggunakan alat tangkap yang lebih canggih?
Ekspor Telur Ikan Terbang
oleh Trubusid
Butiran telur-telur kekuningan yang masih terikat benang mirip serabut itu dibilas berulang-ulang. Setelah bersih dijemur dengan cara diangin-anginkan di atas kayu. Telur yang sudah kering itu lalu digosokkan berkali-kali di atas papan stainless steel berukuran 20 cm x 45 cm untuk dibuang serabutnya. Telur dibilas dan diangin-anginkan kembali. Prosesi pengolahan telur ikan terbang sebelum diekspor itu dapat disaksikan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Telur ikan terbang Hirundichthys oxycephalus itu berasal dari nelayan-nelayan di Galesong. Nelayan Bugis dari daerah pesisir berjarak 22 km di selatan Makassar itu pemburu jempolan telur ikan terbang. Dari tangan mereka, Gassing Rafi, eksportir, membelinya seharga Rp75.000-Rp90.000/kg.
Telur ikan terbang memang lezat. Penikmat yang berdatangan dari manca-negara seperti Korea Selatan, Jepang, hingga Lithuania, suka sekali menyantap karena rasanya gurih. Selain itu menyantap telur ikan terbang sangat bergengsi. Maklum, citra kelezatannya hampir setara dengan telur ikan sturgeon dari Laut Kaspia, kaviar.
Menurut Gassing permintaan telur ikan terbang sangat tinggi. Ia menggambarkan pada 2005 omzet perusahaannya mencapai Rp6-miliar. Pada 2006 dan 2007, nilai itu meroket sampai Rp10-miliar dan Rp20-miliar. ‘Pada 2007 volume pengiriman mencapai 60 ton. Kebutuhan pasar mencapai 2 kali lipat,’ kata Gassing yang berkali-kali terpaksa menampik pesanan itu.
Pakkaja
Ikan yang hidup di perairan Sulawesi, Papua, hingga Flores itu tidak setiap saat menghasilkan telur, meski musim berbiaknya sepanjang tahun. Masa puncak melimpahnya telur berlangsung pada Juni-Agustus. Ketika itu musim angin timur mulai habis, yang ditandai dengan kerap terjadi upwelling-arus vertikal-yang membawa plankton berlimpah. Saat itulah ikan tuing-tuing-bahasa setempat-saling mencari pasangan dan diakhiri dengan bertelur.
Saat itu pula nelayan dengan berbekal alat tangkap siap berburu. Alat tangkap berbentuk tabung berbahan rotan bergaris tengah 50 cm. Biasanya nelayan memakai jerami untuk menghubungkan 2 tabung. Jerami itulah yang menjadi media ikan
betina meletakkan telur. ‘Pakkaja menga-pung sehingga mudah diamati,’ kata Gassing.
Waktu telur melimpah, dalam 1 unit pakkaja bisa diperoleh 10-15 kg telur selama 3 minggu melaut. Namun, sejak awal dekade 1990 pakkaja diganti alat yang lebih sederhana bernama bale-bale. Meski lebih sederhana, alat yang sepintas mirip rakit itu lebih ampuh menjaring telur. Nelayan bisa mendapatkan 30-40 kg telur dalam waktu sama. Itu lantaran celah bale-bale yang rapat dan banyak, disukai ikan terbang untuk menyembunyikan telurnya.
Telur hasil tangkapan langsung dibersih-kan nelayan dengan air laut. Telur yang masih penuh serat itu lantas dijemur di atap perahu selama 1-2 hari sebelum diolah kembali oleh eksportir atau pengepul. ‘Perlu dibersihkan lagi berkali-kali agar kadar seratnya kurang dari 20%,’ ujar Gassing yang mengekspor dalam bentuk beku setelah diawetkan dengan garam.
Langka
Beberapa tahun terakhir telur ikan terbang makin sulit didapatkan, sehingga nelayan perlu waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkannya. Hal itu tak lepas dari menyusutnya populasi ikan terbang akibat perburuan telur berlebihan yang mengganggu regenerasi. Akibatnya nelayan Galesong harus berlayar sampai Fakfak, Provinsi Papua Barat untuk mendapat telur. Pada musim bertelur, tercatat hingga 4.400 nelayan dan 900 perahu pengepul datang di Fakfak.
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan pada 2006 memperlihatkan produksi telur ikan terbang pada 2005 hanya 3.300 ton. Itu hanya 50% dari jumlah produksi pada 1977. Nasib ikan terbang tampaknya mulai meniti ujung tanduk. Seperti saudaranya ikan sturgeon-penghasil kaviar yang penangkapan telurnya sudah dilarang-pembatasan kuota volume tangkapan ikan terbang juga perlu dipertimbangkan. Itu semata-mata demi regenerasi ikan terbang terjaga sehingga tidak punah. (Augy Syahailatua, PhD, kepala Bidang Sumberdaya Laut - Pusat Penelitian Oseanografi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Sumber : Trubus, Juli 2008
Info Petani -