Maka, makin banyak alasan untuk menghormati, iika tak mau disebut
merayakan, senjata-senjatanya kaum yang lemah dan selalu kalah itu.
Maka semakin banyak alasan untak melihat dalam kegigihan untuk
menyelamatkan diri, dalam ejekan dan kegarangan, dalam ironi, dalam
perbuatan tidak mau menyesuaikan diri secara kecil-kecilan, dalam
keras kepalanya, dalam kelambatannya, dalam kepura-puraannya,
dalam perlawanan bolak-balik, dalam ketidakpercayaan akan khotbah-khotbah
elite, dalam upaya-upaya sukar yang tetap bersemangat- suatu
spirit dan praksis yang mencegah hal terburuk dan menjanjikan sesuatu
yang lebih baik.
James C. Scott, The Weapon of The Weakness
Gambaran kita tentang aksi masyarakat desa hutan seringkali
diwarnai suatu stereotip tertentu, biasanya merupakan campuran
antara gerakan yang dramatis dan romantis. Bentuknya macam-macam,
bisa demonstrasi atau aksi-alsi kekerasan yang ditujukan langsung
pada sumber daya hutan, seperti pendudukan lahan (reclaiming),
pembakaran dan penjarahan kayu. Situasinya kira-kira mirip dengan apa
yang sering terjadi alftir-akhir ini: sejumlah orang berkumpul (biasanya
petani hutan), mereka bersama-sama berangkat ke kantor kehutanan,
membawa sejumlah poster dan meneriakkan tuntutan tertentu. Jika tidak
demikian, mereka biasanya langsung menuju ke hutan, menjarah pohon
(umumnya jatl), disertai dengan pendudukan lahan, hujatan-hujatan,
sumpah-serapah dan segala rnacam pelampiasan kemarahan.
Gambaran yang mengacu pada aksi kolektif dan terbuka semacam itu wajar,
tapi seringkali -bahkan sudatr bisa dipastikan- tidak mengantarkan kita pada
pemahaman obyektif tentang transkip asli politik perlawanan petani dan
orang-orang miskin, mereka-mereka yang tergolong ke dalam kelas rendahan.
Para pesanggem dan orang-orang miskin di Wonomukti yang hidup
sepenuhnya dari hutan, hanya sesekali saja melakukan aksi-aksi dramatis
demikian, itupun jar:angymrg atas inisiatif sendiri. Dalam kurun waktu 20
tahun terakhir kia bisa menghitungnya cukup dengan lima jari, dan dijamin
tidak akan habis. Kendatipun demikian, kita tidak bisa berkesimpulan cepat,
bahwa mereka tenggelam ke dalam kesadaran semu, terhegemoni, dan
rremberikan persetujuan muflak pada keadaan yang menimpanya.
Aksi-aksi yang mereka lakukan memang tidak sedramatis yang kita
bayangkan, tidak terbuka, tidak kolektif; tanpa poster, sporadis, sering
tanpa suata, tanpa nama, samar, kecil-kecilan, dan secara keseluruhan
menyerupai sebuah perlawanan gerilya yang memusingkan. Aksi-aksi
semacam ini sangat tidak menarik, terutama kalau kita membayangkan
sebuah pertunjukan yang menyajikan perkelahian langsung antara dua
pihak. Di sini kita tidak akan menemukan para petarung, atau apapun
yang terkait dengan kontak senjata langsung, kecuali sekedar tindakan-tindakan
keras kepala yang terperhitungkan dengan cermat dan terkadang
disertai dengan catatan-catatan kecil y ang menyangkut neraca rugi-laba.
Saya rasa jenis aksi yang akan kita diskusikan pada bagian ini merupakan
suatu bentuk khas, jauh dari pengertian aksi seperti yang selama ini kita
pahami.
Apa yanl akan kita diskusikan nanti, bukanlah sesuatu yang sama sekali
baru, juga bukan merupakan tipikal aksi masyarakat setempat. Aksi-aksi
semacam ini terjadi di mana-mana, hampir selalu menyertai setiap
hubungan kelas yung melibatkan tradisi kecil dan tradisi besar, mereka
yang dikuasai dan menguasai, orang miskin dan orang kaya, buruh dan
majikan, penyewa dan tuan tanah, sebagaimana ditemukan Scott di
Sedaka, ketika menggambarkan perubahan-perubahan yang terj adi akibat
kebijakan panen 2 kali (revolusi hijau).
Bentuk-bentuk aksi yang tidak populer ini agaknya telah menjadi senjata
para pesanggem dan orang-orang miskin di Wonomukti, untuk menolak
ataupun mengajukan klaim-klaim tertentu, baik yang terkait dengan moral
maupun material, kepada penyelenggaraan kehutanan setempat. Di mata
mereka, setiap hubungan produksi yang terkait dengan pihak kehutanan
minimal harus mencerminkan sebuah mekanisme moral ekonomi. Arus
barang dan jasa dalam setiap neraca pertukaran harus terjadi sedemikian
rupa sehingga mampu menjamin kebutuhan sosial dasar -biasanya berupa
kebutuhan subsistensi.-, yang sekaligus merupakan syarat minimum bagi
konsepsi keadilan dan pemerataan. Ketimpangan-ketimpangan yang
menyebabkan terancamnya syarat minimum itu, cenderung berakibat
pada menurunnya legitimasi dan kepercayaan, dan sudah pasti selalu
diikuti dengan aksi-aksi.
Inilah tema pokok yang akan dibahas pada bab ini, semacam
pertanggungjawaban yang dituntut oleh orang-orang miskin Wonomukti
terhadap penyelenggaraan kehutanan setempat. Subyeknya tentu saja
tidak hanya para pesanggem dan pihak kehutanan, akan tetapi termasuk
juga para pencuri kayu. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pencurian kayu
memiliki tipikal tersendiri, melibatkan parapihak yang tidak berhubungan
dengan sejarah nasib masyarakat setempat, akan tetapi kitapun tidak bisa
berpaling bahwa aksi yang satu ini mendapat solidaritas penuh daripara
pesanggem dan orang-orang miskin. Pada bab ini kita hanya akan
menyinggung sekilas tentang pencurian kayu, selanjutrya akan dibahas
tersendiri pada bab berikutnya.
dari buku:
"Perlawanan di Simpang Jalan"
Oleh: Hery Santoso
Rating: 5
Reviewer: Info Petani -
ItemReviewed: AKSI KECIL-KECILAN - 9756people
merayakan, senjata-senjatanya kaum yang lemah dan selalu kalah itu.
Maka semakin banyak alasan untak melihat dalam kegigihan untuk
menyelamatkan diri, dalam ejekan dan kegarangan, dalam ironi, dalam
perbuatan tidak mau menyesuaikan diri secara kecil-kecilan, dalam
keras kepalanya, dalam kelambatannya, dalam kepura-puraannya,
dalam perlawanan bolak-balik, dalam ketidakpercayaan akan khotbah-khotbah
elite, dalam upaya-upaya sukar yang tetap bersemangat- suatu
spirit dan praksis yang mencegah hal terburuk dan menjanjikan sesuatu
yang lebih baik.
James C. Scott, The Weapon of The Weakness
Gambaran kita tentang aksi masyarakat desa hutan seringkali
diwarnai suatu stereotip tertentu, biasanya merupakan campuran
antara gerakan yang dramatis dan romantis. Bentuknya macam-macam,
bisa demonstrasi atau aksi-alsi kekerasan yang ditujukan langsung
pada sumber daya hutan, seperti pendudukan lahan (reclaiming),
pembakaran dan penjarahan kayu. Situasinya kira-kira mirip dengan apa
yang sering terjadi alftir-akhir ini: sejumlah orang berkumpul (biasanya
petani hutan), mereka bersama-sama berangkat ke kantor kehutanan,
membawa sejumlah poster dan meneriakkan tuntutan tertentu. Jika tidak
demikian, mereka biasanya langsung menuju ke hutan, menjarah pohon
(umumnya jatl), disertai dengan pendudukan lahan, hujatan-hujatan,
sumpah-serapah dan segala rnacam pelampiasan kemarahan.
Gambaran yang mengacu pada aksi kolektif dan terbuka semacam itu wajar,
tapi seringkali -bahkan sudatr bisa dipastikan- tidak mengantarkan kita pada
pemahaman obyektif tentang transkip asli politik perlawanan petani dan
orang-orang miskin, mereka-mereka yang tergolong ke dalam kelas rendahan.
Para pesanggem dan orang-orang miskin di Wonomukti yang hidup
sepenuhnya dari hutan, hanya sesekali saja melakukan aksi-aksi dramatis
demikian, itupun jar:angymrg atas inisiatif sendiri. Dalam kurun waktu 20
tahun terakhir kia bisa menghitungnya cukup dengan lima jari, dan dijamin
tidak akan habis. Kendatipun demikian, kita tidak bisa berkesimpulan cepat,
bahwa mereka tenggelam ke dalam kesadaran semu, terhegemoni, dan
rremberikan persetujuan muflak pada keadaan yang menimpanya.
Aksi-aksi yang mereka lakukan memang tidak sedramatis yang kita
bayangkan, tidak terbuka, tidak kolektif; tanpa poster, sporadis, sering
tanpa suata, tanpa nama, samar, kecil-kecilan, dan secara keseluruhan
menyerupai sebuah perlawanan gerilya yang memusingkan. Aksi-aksi
semacam ini sangat tidak menarik, terutama kalau kita membayangkan
sebuah pertunjukan yang menyajikan perkelahian langsung antara dua
pihak. Di sini kita tidak akan menemukan para petarung, atau apapun
yang terkait dengan kontak senjata langsung, kecuali sekedar tindakan-tindakan
keras kepala yang terperhitungkan dengan cermat dan terkadang
disertai dengan catatan-catatan kecil y ang menyangkut neraca rugi-laba.
Saya rasa jenis aksi yang akan kita diskusikan pada bagian ini merupakan
suatu bentuk khas, jauh dari pengertian aksi seperti yang selama ini kita
pahami.
Apa yanl akan kita diskusikan nanti, bukanlah sesuatu yang sama sekali
baru, juga bukan merupakan tipikal aksi masyarakat setempat. Aksi-aksi
semacam ini terjadi di mana-mana, hampir selalu menyertai setiap
hubungan kelas yung melibatkan tradisi kecil dan tradisi besar, mereka
yang dikuasai dan menguasai, orang miskin dan orang kaya, buruh dan
majikan, penyewa dan tuan tanah, sebagaimana ditemukan Scott di
Sedaka, ketika menggambarkan perubahan-perubahan yang terj adi akibat
kebijakan panen 2 kali (revolusi hijau).
Bentuk-bentuk aksi yang tidak populer ini agaknya telah menjadi senjata
para pesanggem dan orang-orang miskin di Wonomukti, untuk menolak
ataupun mengajukan klaim-klaim tertentu, baik yang terkait dengan moral
maupun material, kepada penyelenggaraan kehutanan setempat. Di mata
mereka, setiap hubungan produksi yang terkait dengan pihak kehutanan
minimal harus mencerminkan sebuah mekanisme moral ekonomi. Arus
barang dan jasa dalam setiap neraca pertukaran harus terjadi sedemikian
rupa sehingga mampu menjamin kebutuhan sosial dasar -biasanya berupa
kebutuhan subsistensi.-, yang sekaligus merupakan syarat minimum bagi
konsepsi keadilan dan pemerataan. Ketimpangan-ketimpangan yang
menyebabkan terancamnya syarat minimum itu, cenderung berakibat
pada menurunnya legitimasi dan kepercayaan, dan sudah pasti selalu
diikuti dengan aksi-aksi.
Inilah tema pokok yang akan dibahas pada bab ini, semacam
pertanggungjawaban yang dituntut oleh orang-orang miskin Wonomukti
terhadap penyelenggaraan kehutanan setempat. Subyeknya tentu saja
tidak hanya para pesanggem dan pihak kehutanan, akan tetapi termasuk
juga para pencuri kayu. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pencurian kayu
memiliki tipikal tersendiri, melibatkan parapihak yang tidak berhubungan
dengan sejarah nasib masyarakat setempat, akan tetapi kitapun tidak bisa
berpaling bahwa aksi yang satu ini mendapat solidaritas penuh daripara
pesanggem dan orang-orang miskin. Pada bab ini kita hanya akan
menyinggung sekilas tentang pencurian kayu, selanjutrya akan dibahas
tersendiri pada bab berikutnya.
dari buku:
"Perlawanan di Simpang Jalan"
Oleh: Hery Santoso
Info Petani -