Permintaan hasil hutan berupa kayu yang semakin meningkat di dunia merupakan peluang yang baik bagi pemerintah Indonesia untuk menambah devisa. Salah satu upaya pembangunan hutan di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1980 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri. Hutan Tanaman Industri ini bertujuan untuk meningkatkan produksi industri kehutanan dan berkaitan juga dengan usaha pemerintah untuk merehabilitasi lahan yang rusak, sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Pulp dan paper merupakan salah satu produk hasil hutan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Peluang tersebut kemudian diambil oleh beberapa pihak swasta dengan dibantu oleh pemerintah Indonesia untuk membangun kebun hutan tanamannya. Dalam perjalanannya usaha pembangunan hutan tanaman ini mengalami beberapa masalah, diantaranya adalah kebutuhan bibit yang tidak sesuai dengan jumlah lahan yang harus ditanam.
Tanaman hutan yang paling banyak ditanam oleh beberapa perusahaan HTI adalah Acacia crassicarpa. Tanaman kehutanan ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu fast growing dan mampu hidup pada lahan marginal. Berdasarkan data potensi yang dimiliki PT Arara Abadi tahun 2008 pada distrik Berbari, Acacia crasicarpa yang ditanam pada peat soil memiliki potensi sampai 150 m3/ha pada umur 4 tahun.
Potensi yang begitu tinggi tersebut harus didukung dengan pembangunan persemaian yang kuat. Persemaian Acacia crassicarpa dilakukan dengan 2 cara, yaitu menggunakan bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif (vegetatif) dan bibit yang berasal dari biji. Masing –masing jenis bibit tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif, jika berasal dari tanaman induk yang memiliki potensi genetik yang unggul maka akan menghasilkan produksi yang optimal, akan tetapi kelemahannya adalah jika terserang hama dan penyakit tanaman maka seluruh bibit tersebut akan mudah terserang karena rendahnya variasi genetik. Sedangkan benih yang berasal dari biji meskipun variasi genetiknya besar, akan tetapi memiliki tingkat ketahanan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif. Kelebihan lain yang dimiliki oleh bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif adalah lebih efisien dalam segi biaya dibandingkan dengan bibit yang berasal dari biji.
I. Pendahuluan
Permintaan hasil hutan berupa kayu yang semakin meningkat di dunia merupakan peluang yang baik bagi pemerintah Indonesia untuk menambah devisa. Salah satu upaya pembangunan hutan di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1980 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri. Hutan Tanaman Industri ini bertujuan untuk meningkatkan produksi industri kehutanan dan berkaitan juga dengan usaha pemerintah untuk merehabilitasi lahan yang rusak, sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Pulp dan paper merupakan salah satu produk hasil hutan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Peluang tersebut kemudian diambil oleh beberapa pihak swasta dengan dibantu oleh pemerintah Indonesia untuk membangun kebun hutan tanamannya. Dalam perjalanannya usaha pembangunan hutan tanaman ini mengalami beberapa masalah, diantaranya adalah kebutuhan bibit yang tidak sesuai dengan jumlah lahan yang harus ditanam.
Tanaman hutan yang paling banyak ditanam oleh beberapa perusahaan HTI adalah Acacia crassicarpa. Tanaman kehutanan ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu fast growing dan mampu hidup pada lahan marginal. Berdasarkan data potensi yang dimiliki PT Arara Abadi tahun 2008 pada distrik Berbari, Acacia crasicarpa yang ditanam pada peat soil memiliki potensi sampai 150 m3/ha pada umur 4 tahun.
Potensi yang begitu tinggi tersebut harus didukung dengan pembangunan persemaian yang kuat. Persemaian Acacia crassicarpa dilakukan dengan 2 cara, yaitu menggunakan bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif (vegetatif) dan bibit yang berasal dari biji. Masing –masing jenis bibit tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif, jika berasal dari tanaman induk yang memiliki potensi genetik yang unggul maka akan menghasilkan produksi yang optimal, akan tetapi kelemahannya adalah jika terserang hama dan penyakit tanaman maka seluruh bibit tersebut akan mudah terserang karena rendahnya variasi genetik. Sedangkan benih yang berasal dari biji meskipun variasi genetiknya besar, akan tetapi memiliki tingkat ketahanan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif. Kelebihan lain yang dimiliki oleh bibit yang berasal dari kebun perbanyakan vegetatif adalah lebih efisien dalam segi biaya dibandingkan dengan bibit yang berasal dari biji.
Serangan hama yang menyerang kebun perbanyakan vegetatif Acacia crassicarpa terutama ulat grayak (Spodoptera sp.) jika melebihi dari ambang batas dapat menyebabkan gejala gundul pada daun. Kerusakan yang ditimbulkan ini dapat menghambat pertumbuhan tanaman perbanyakan vegetatif yang kemudian akan menurunkan produktivitas perbanyakan vegetatifan. Penanganan secara kimia dapat dilakukan jika hanya terjadi outbreaks saja dan tidak dapat dilakukan secara continue karena tidak ekonomis. Oleh sebab itu diperlukan suatu usaha pengendalian hama yang menyerang kebun perbanyakan vegetatif secara continue dan low cost.
Penanganan serangan hama yang berkelanjutan pada kebun perbanyakan vegetatif tidak dapat dilakukan secara parsial dan terpisah. Ada beberapa komponen yang harus mendukung satu sama lain dalam usaha penanganan serangan hama, diantaranya adalah pengendalian secara kimia, biologi, dan mekanis, sanitasi lingkungan persemaian, dan perilaku hygenes.
Salah satu komponen dalam penanganan serangan hama adalah pengendalian secara biologi dengan menggunakan organisme parasitoid. Organisme parasitoid adalah serangga yang sebelum tahap dewasa berkembang pada atau di dalam tubuh inang (biasanya serangga juga). Parasitoid mempunyai karakteristik pemangsa karena membunuh inangnya dan seperti parasit karena hanya membutuhkan satu inang untuk tumbuh, berkembang, dan bermetamorfosis (Sofa, 2008).
Organisme parasitoid ini memerlukan suatu tanaman sebagai habitatnya. Hal ini disebabkan karena pada fase dewasa, organisme parasitoid memerlukan nektar sebagai makanannya berbeda sewaktu dia masih dalam tahap larva. Salah satunya adalah bunga Pukul Delapan (Turnera sp.). Tanaman ini memliki potensi yang cukup besar sebagai habitat bagi organisme parasitoid karena memiliki sumber makanan yang cukup bagi mereka. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk mengetahui peran serangga parasitoid dan bunga Pukul Delapan dalam penanganan serangan hama pada kebun perbanyakan vegetatif Acacia crassicarpa.
II. Biologi dan Peranan Bunga Pukul Delapan (Tunera sp.) sebagai Habitat Parasitoid
Bunga pukul delapan memiliki beberapa nama daerah, yaitu lidah kucing (Jawa). Sedangkan orang Amerika sering menyebutnya sebagai Indian holly, sage rose, holly rose.
Bunga Pukul Delapan (Turnera sp.) memiliki potensi sebagai habitat bagi organisme parasitoid dewasa karena memiliki nektar sebagai sumber makanan mereka. Ketika mereka akan bertelur, mereka akan mulai mencari tubuh serangga untuk meletakkan telur. Telur tersebut ketika menetas akan berubah menjadi larva yang kemudian akan memakan tubuh serangga dari dalam. Setelah menjadi pupa dan kemudian berubah menjadi dewasa, organisme parasitoid tersebut akan kembali ke bunga Pukul Delapan untuk mencari nektar. Selain berfungsi sebagai habitat organisme parasitoid, tanaman ini juga mampu mengundang organisme parasitoid yang berasal dari luar habitatnya untuk datang dan menjadikan tanaman tersebut sebagai habitatnya.
Berikut adalah klasifikasi bunga pukul delapan (Dalimartha, 200delapan):
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Violales
Famili : Turneraceae
Genus : Turnera
Spesies : Turnera sp. J.E.Smith
Tanaman bunga Pukul Delapan ini akan mendapat keuntungan dengan keberadaan serangga-serangga parasitoid ini, diantaranya adalah membantu penyebaran tanaman ini dengan penyerbukan dan menjadikan tanaman ini dijauhi oleh serangga hama karena keberadaan serangga parasitoid yang ada pada tanaman tersebut.
Gambar 1.1 Turnera sp. (bunga putih)
Gambar 1.2 Turnera sp. (bunga kuning)
III. Serangga yang Berpotensi menjadi Parasitoid
Kebanyakan parasitoid merupakan anggota dari ordo hymenoptera dan diptera. Sampai saat ini terdapat sekitar 50.000 spesies dari ordo hymenoptera dan 15.000 spesies dari ordo diptera yang telah diidentifikasi sebagai serangga parasitoid sedangkan diluar kedua ordo tersebut terdapat sekitar 3.000 spesies. Dari seluruh spesies serangga di dunia, sekitar delapan, 5% diantaranya adalah serangga parasitoid. Berbeda dengan jenis serangga pada umumnya, serangga parasitoid memiliki tubuh yang tidak terlalu besar dan biasanya hanya berukuran beberapa millimeter. Serangga-serangga parasitoid memiliki struktur khusus pada daerah abdomennya yang disebut ovipositor. Ovipositor merupakan suatu alat untuk meletakkan telur dari serangga parasitoid ke dalam tubuh inangnya (BBC, 2008).
Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh serangga parasitoid adalah:
a. Parasitoid tersebut memiliki struktur yang khusus terhadap inangnya
b. Parasitoid memiliki ukuran yang lebih kecil disbanding inangnya
c. Hanya parasitoid betina yang berusaha menyerang dan mencari inang
d. Telur atau larva sering kali diletakkan pada inang atau dekat inangnya
e. Pada fase immature, serangga parasitoid mampu membunuh inangnya
f. Pada fase immature (larva), serangga parasitoid hanya berada di dalam inang dan pada fase dewasa serangga parasitoid bersifat free living dan mobile (Weeden, et al., 2009)
Sofa (2008) menyatakan bahwa pada ordo diptera hanya suku Tachinidae yang paling penting di dalam pengendalian alami dan hayati hama-hama kehutanan. Kelompok terbesar parasitoid, yaitu bangsa Hymenoptera merupakan kelompok yang sangat penting. Superfamily Ichneumonoidea yang terdiri dari Braconidae dan Ichneumonidae sangat penting dalam pengendalian alami dan hayati. Sedangkan dari superfamily Chalcidoidea yang dianggap sebagai kelompok parasitoid paling penting dalam pengendalian alami dan hayati adalah Mymaridae, Trichogrammatidae, Eulophidae, Pteromalidae, Encyrtidae, dan Aphelinidae.
Ada beberapa tipe serangga parasitoid yang menyerang serangga hama, yaitu:
a. Serangga parasitoid yang menyerang telur
Jenis ini akan menyerang serangga hama pada fase telur dengan cara meng-oviposisi-kan telurnya pada telur serangga hama. Kemudian setelah menetas, larva parasitoid ini akan memakan telur dari dalam. Telur yang terinfeksi larva parasitoid ini tidak dapat berkembang dan kemudian berwarna hitam lalu mati. Salah satu contoh dari serangga jenis ini adalah dari ordo hymenoptera family trichogrammatidae genus uscana (FAO, 2009).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga parasitoid telur memberikan tingkat mortalitas yang tinggi dalam usaha pengendalian serangga hama (kumbang) coleoptera. Penelitian terhadap serangga ini menunjukkan bahwa dengan me-rearing organisme ini dapat digunakan sebagai agen biokontrol.
b. Serangga parasitoid yang menyerang larva dan pupa
Jenis ini menyerang serangga hama pada fase larva dan pupa dengan cara mengoviposisikan telurnya pada tubuh ulat. Setelah menetas, larva parasitoid akan memakan tubuh ulat dan pupa dari dalam dan kemudian akan mengalami kematian.
Serangga yang bertipe seperti ini berasal dari ordo hymenoptera genus Bruchobius. Kelemahannya adalah serangga parasitoid ini hanya memberikan pengaruh kecil terhadap usaha pengendalian serangan hama pada tanaman Acacia. Secara rata-rata setiap 2 serangga parasitoid harus mampu menginfeksi 20 larva kumbang (coleoptera) (FAO, 2000).
Berikut adalah beberapa contoh serangga parasitoid menurut IPM (2008):
1. Apanteles sp.
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga dewasa memiliki tubuh berwarna hitam dengan beberapa warna kuning pada bagian abdomen dan kakinya.
• Memilki panjang tubuh sekitar 2,0 s.d 2,5 mm.
• Serangga betina memiliki tubuh lebih pendek dan ovipositor yang berguna untuk menginjeksi telur ke tubuh ulat hama.
• Telur berbentuk elongate dan transparan, berukuran panjang 0,3 mm.
• Telur akan menetas setelah 3 hari setelah oviposisi.
Gambar 1.3 Apanteles sp. (IPM, 2009)
2. Brachmeria sp.
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga ini memiliki kisaran inang yang luas.
• Serangga ini berwarna hitam kecoklatan dengan tanda warna kuning, merah atau putih.
• Bagian kepala dan thorax tersklerotisasi.
• Bagian antena memiliki 13 segmen dengan 1 atau 2 ring segmen.
• Serangga ini mengoviposisikan telur-telurnya secara horizontal.
Gambar 1.4 Brachmeria sp (IPM, 2009)
3. Bracon spp.
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga ini berukuran kecil (0,5 inchi) dan berwarna hitam dengan 2 pasang sayap transparan.
• Memiliki kisaran inang yang luas.
Gambar 1.5 Bracon spp (IPM, 2009)
4. Campoletis chloridae
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga dewasa berwarna hitam dan berbentuk silinder.
• Serangga ini memiliki panjang 0,25 inchi.
• Fase pupa ini berwarna putih dan panjang 0,25 inchi.
• Antena berukuran panjang dengan 16 segmen.
• Serangga ini merupakan parasitoid dari kelompok hama holometabolous.
Gambar 1.6 Campoletis chloridae (IPM, 2009)
5. Diaretiella rapae
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga ini berukuran kecil dan sukar dilihat dengan mata telanjang.
• Serangga ini merupakan parasitoid dari kelompok kutu (aphid).
.
Gambar 1.7 Diaretiella rapae (IPM, 2009)
6. Eretmocerus mundus
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga ini berwarna kuning lemon.
• Serangga ini meng-oviposisi-kan telurnya pada larva kutu putih dan setelah 3 hari akan berubah warna menjadi kecoklatan.
• Larva serangga ini tidak akan berkembang sebelum larva inangnya instar 2.
• Life cycle membutuhkan waktu 17 sampai 20 hari.
Gambar 1.8 Eretmocerus mundus (IPM, 2009)
7. Trichogramma sp.
Ciri-ciri serangga ini adalah:
• Serangga ini memiliki ukuran yang relatif kecil.
• Serangga betina meletakkan telurnya pada telur yang baru saja oviposisikan inangnya.
• Setiap serangga betina mampu memparasit 100 telur inangnya
• Serangga ini memiliki daur hidup yang relatif singkat (8-10 hari).
• Serangga ini sudah mulai banyak dikomersialkan.
Gambar 1.9 Trichogramma sp. (ESF, 2009)
IV. Rearing Serangga Parasitoid
Rearing serangga parasitoid merupakan suatu hal yang penting dilakukan untuk menjamin ketersediaannya di alam dan memudahkan penyebaran dan perkembangannya. Setelah dilakukan rearing, serangga parasitoid dapat dilepas pada tanaman yang menjadi habitatnya (contohnya adalah bunga Pukul Delapan). Setelah dilepas, serangga parasiotoid tersebut dapat dibiarkan berkembang sendiri di lapangan.
Secara umum tehnik rearing serangga parasitoid adalah:
1. Perbanyakan dilakukan di dalam tabung kecil
2. Bilamana sudah ada parasitoid yang menetas dari pupa yang terparasitisasi masukkan ke dalam tabung kecil tersebut
3. Pada tabung kecil yang sudah berisi parasitoid, masukan beberapa ekor pupa sehat berumur 1–2 hari.
4. Tutup tabung reaksi dengan kasa yang berpori kecil (bisa juga kain atau kapas)
5. Serangga parasitoid akan menginfeksi pupa selama 2 hari (4delapan jam), sesudah itu pupa yang telah diparasitisasi dikeluarkan dan dipindahkan ke dalam tabung kecil lain
6. Selanjutnya, ke dalam tabung kecil yang berisi parasitoid dimasukkan kembali pupa berumur 1–2 hari
7. Parasitoid dewasa diberi pakan berupa madu yang diencerkan (50% v/v)
8. Setelah persediaan pupa yang terparasitisasi cukup banyak, maka dapat dilakukan pelepasan ke lapangan (hendaknya dilakukan pada pagi dan sore hari).
9. Melakukan monitoring dan evaluasi tingkat keberhasilan pelepasan serangga parasitoid tersebut (Oanh, et al., 2004).
V. Pengembangan Serangga Parasitoid di Kebun Perbanyakan vegetatif Acacia crassicarpa
Kebun perbanyakan vegetatif Acacia crassicarpa yang memiliki potensi genetik yang tinggi tersebut harus didukung dengan penanganan silvikultur yang tepat salah satunya adalah penanganan pest and diseases. Penanganan pest and diseases yang efisien, efektif, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan merupakan suatu kebutuhan yang harus dilakukan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan jasa serangga parasitoid.
Dalam pengembangannya, serangga parasitoid membutuhkan lingkungan yang sesuai. Kebutuhan pakan dan habitat merupakan faktor utama keberhasilan dalam mengembangkan serangga ini. Jenis pakan dari serangga parasitoid dewasa ini adalah nektar. Nektar banyak terdapat pada tanaman bunga-bungaan, salah satunya adalah bunga Pukul delapan.
Pengembangan serangga parasitoid dapat dimulai dengan usaha penanaman bunga pukul delapan di sekitar kebun perbanyakan vegetatif Acacia crassicarpa. Percepatan usaha penanaman bunga pukul delapan dilakukan dengan menggunakan stek batang. Pola penanamannya adalah dengan mengelilingi kebun perbanyakan vegetatif yang telah diberi roof pada bagian atas (gambar 1.10 dan 1.11). Setelah kelihatan rimbun (tinggi ± 50 cm dan mulai berbunga), tanaman tersebut akan mulai mengundang banyak serangga (terutama serangga parasitoid). Bersamaan dengan itu dapat dilakukan pelepasan serangga parasitoid hasil rearing di laboratorium.
Gambar 1.10 Kebun perbanyakan vegetatif A. crassicarpa di PT RAPP.
Gambar 1.11 Penanaman bunga pukul delapan di sekeliling kebun perbanyakan vegetatif A. crassicarpa di PT RAPP.
VI. Penutup
Hal yang perlu diingat dalam penanganan serangan hama adalah tidak bisa hanya bergantung pada satu usaha saja, akan tetapi dibutuhkan beberapa usaha penanganan yang sifatnya komprehensif (misalnya sanitasi lingkungan dan usaha penyemprotan bahan kimia yang dilakukan hanya ketika terjadi outbreaks). Salah satu usaha penanganan serangan hama pada kebun perbanyakan vegetatif Acacia crassicarpa adalah dengan memanfaatkan jasa serangga parasitoid. Pengembangan jasa serangga parasitoid dapat dilakukan dengan usaha penanaman bunga Pukul delapan di sekeliling kebun perbanyakan vegetatif yang berfungsi sebagai sumber pakannya.
Daftar Referensi
Agriculture and Consumer Protection . ______. Parasitoid. Food and Agriculture Organization (FAO). http://www.fao.org/ diakses 29 Mei 2009
BBC. 2008. Parasitoid Insects. www.bbc.co.uk. Diakses 1 Juni 2009
Dalimartha, Setiawan. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia jilid 5. Pustaka Bunda, Jakarta
European Science Foundation (ESF). 2009. Behavioural Ecology of Insect Parasitoids (BEPAR). www.esf.org. diakses 1 Juni 2009
IPM. 2009. Natural Enemy Information: Parasitoid. www. jnkvv. nic. In / IPM%20Project / natural_ enemy1 . htm . diakses 5 Juni 2009
Oanh, N. T. T., Truc, N. H., dan Luong, L. C. 2004. Manual for mass-rearing of Asecodes hispanarum, a parasitoid of hispine beetle, Brontispa longissima. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/docrep/007/ad522e/ad522e04.htm. diakses 29 Mei 2009
Sofa, Pakde. 2008. Menggunakan Serangga Pemangsa dan parasitoid sebagai Pengendalian Hama http://massofa.wordpress.com/200delapan/01/31/ menggunakan-serangga-pemangsa-dan-parasitoid-sebagai-pengendalian-hama/. diakses Mei 2009
Weeden, C.R., A. M. Shelton, and M. P. Hoffman.________. Biological Control: A Guide to Natural Enemies in North America. http: //www.nysaes.cornell. Edu/ent/biocontrol/. Diakses 1 Juni 2009
Rating:
5
Reviewer:
Info Petani -
ItemReviewed:
PENANGANAN SERANGAN HAMA DI KEBUN PERBANYAKAN VEGETATIF Acacia crassicarpa DENGAN MEMANFAATKAN JASA SERANGGA PARASITOID - 9756people
Info Petani -