Info Petani -
Oleh: Asra Virgianita (Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI & Peneliti di Pusat Studi Jepang UI)
1. Pendahuluan
Tahun 2008 merupakan momen penting bagi hubungan Indonesia-Jepang, karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun hubungan kedua negara. Tak dapat dipungkiri bahwa Jepang, melalui kebijakan bantuan luar negerinya khususnya Official Development Assistance (ODA), berperan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Begitupun sebaliknya, Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi Jepang, negara penyedia minyak, gas bumi dan sumber daya alam telah menempatkannya sebagai negara yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Jepang. Selain itu, sebagai salah satu negara yang berpenduduk cukup besar dan berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mempunyai arti penting bagi Jepang dalam kerangka keamanan kawasan.
Lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang bukan merupakan waktu yang singkat dan dilewati dengan mudah. Pasang surut juga mewarnai perjalanan hubungan kedua negara. Berkaitan dengan ODA, sejak tahun 1989 jumlah bantuan Jepang melebihi jumlah bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat yang notabene adalah negara super power. Jepang merupakan satu-satunya negara di Asia yang menjadi donor terbesar hingga saat ini. Walaupun demikian, sorotan terhadap ODA Jepang terus berlangsung, baik yang menyangkut kompleksitas administrasi/birokrasi, motif pemberian, trennya maupun berbagai kontroversi terhadap implementasi ODA Jepang baik di tingkat domestik maupun internasional. Sebagai salah satu negara penerima ODA Jepang terbesar, praktek ODA Jepang di Indonesia cukup banyak mendapatkan sorotan.
Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisa implementasi kebijakan ODA Jepang ke Indonesia, dengan memfokuskan pada distribusi bantuan ODA Jepang di Indonesia berdasarkan tipe dan sektor dengan membagi analisa pada dua pokok bahasan yaitu implementasi ODA di masa pemerintahan Soeharto dan setelah jatuhnya Soeharto. Tulisan ini diharapkan akan memberikan pemahaman tentang bagaimana kebijakan ODA Jepang di Indonesia, bagaimana respon, perubahan atau penyesuaian dalam menghadapi gejolak perubahan di tingkat domestik baik di Indonesia maupun Jepang, dan kondisi global.
2. Perspektif Bantuan Luar Negeri dan ODA Jepang
The Development Assistance Committee (DAC) mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai aliran dana yang diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk membantu mengurangi keterbatasan dalam melakukan pembangunan. Keterbatasan tersebut mencakup keterbatasan keahlian (skill limitation), keterbatasan tabungan (saving limitation) dan keterbatasan dalam nilai tukar mata uang asing/keterbatasan pada cadangan devisa (foreign exchange limitation).[i] Dengan membantu mengurangi keterbatasan tersebut melalui aliran dana, negara penerima bantuan diharapkan dapat melakukan pembangunan ekonomi yang maksimal. Poin ini memberikan justifikasi bagi negara maju untuk memainkan peran dalam pembangunan negara berkembang melalui kebijakan bantuan luar negeri (foreign aid policy).
Fenomena bantuan luar negeri banyak dianalisis dari berbagai sudut pandang. Kaum idealis melihat secara positif bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu keharusan bagi negara-negara maju untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan terbelakang. Di sisi lain, kaum realis melihatnya secara sinis bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu implementasi dari national interest negara donor, atau dengan kata lain sebagai alat bagi negara donor untuk mencapai tujuan ekonomi dan politik. Sementara itu kaum strukturalis memandang bahwa bantuan luar negeri sebagai a tool of control untuk menjaga hubungan sosial dan politik yang tidak seimbang antara negara donor dan negara penerima bantuan.
Implementasi ODA Jepang juga tidak luput dari kritik. David Arase memaparkan bahwa Jepang menggunakan ODA sebagai alat buying power atau membeli kekuasaan. Arase juga menggunakan istilah asli di Jepang untuk menyebut ODA yaitu keizai kyouryoku (kerjasama ekonomi), untuk memperlihatkan bahwa Jepang tidak melihat ODA sebagai bantuan (aid/assistance), tapi merupakan kerjasama ekonomi yang sarat dengan kepentingan bisnis dan ekonomi Jepang.[ii] Sementara itu, Sudarsono Harjosoekarto menyimpulkan bahwa ODA, investasi dan perdagangan merupakan komponen penting pembentuk hubungan ekonomi yang asimetris antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dikarenakan ketergantungan Indonesia kepada Jepang lebih besar daripada ketergantungan Jepang kepada Indonesia. Hubungan asimetris tersebut dicirikan oleh status Jepang sebagai donor ODA terbesar di Indonesia, Jepang sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta Jepang sebagai sumber investasi asing dan teknologi yang penting bagi Indonesia.[iii]
Berbeda dengan Sudarsono, Thee Kian Wie melihat interaksi antara bantuan dengan investasi asing dari Jepang dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia. Selain itu program pinjaman yang dianggarkan oleh Overseas Economic Cooperation Fund (telah berganti nama menjadi Japan Bank for International Cooperationa/JBIC) dialokasikan juga untuk membantu pembiayaan bagi sektor swasta Jepang yang akan berinvestasi pada proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia.[iv] Sedangkan dalam hal kerjasama teknis dan hibah, melalui institusi yang dinamakan JICA (Japan International Cooperation Agency), selain menyediakan pinjaman berbunga rendah, JICA juga menyediakan bantuan pelaksanaan survey dan konsultasi teknis bagi sektor swasta yang akan menanamkan inverstasinya di Indonesia. Bagi Thee, program-program tersebut pada akhirnya membantu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang berusaha menarik investor-investor asing dalam rangka mengembangkan industri berorientasi ekspor.
Hampir senada dengan Thee, Ohno juga menggambarkan secara positif kebijakan ODA Jepang. Menurut Ohno, ada dua faktor historis yang membuat visi bantuan dan pembangunan Jepang berbeda dengan negara donor lainnya, yaitu, pertama, Jepang merupakan satu-satunya negara donor yang non barat dengan sejarah kesuksesan industrialisasi. Jepang berhasil mengatasi kehancuran setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dengan menguatkan manufacturing base yang berkontribusi dalam perdagangan dan investasi yang kemudian mampu mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan.
Kedua, keputusan Jepang setelah perang untuk menolak penggunaan kekuatan militer menekan ODA berperan sebagai alat diplomasi.[v] Jepang juga mempunyai keunikan dalam pembagian distribusi ODA yang besar, yaitu berupa pinjaman. Hal ini didasari argumen bahwa loan aid dapat memobilisasi sumber daya yang lebih besar seperti membiayai proyek infrastruktur yang berskala besar. Di saat bersamaan, dituntut juga kedisiplinan negara penerima dalam mengatur kemampuan hutang (debt management capacity) dan tanggung jawab donor untuk menjamin keberlanjutan proyek yang dijalankan. Lingkup waktu dari hubungan donor-resipien relatif lebih lama di bawah skema loan aid, yang menuntut pembagian tanggung jawab negara donor-resipien.[vi]
Selain itu di antara berbagai negara donor di dunia, ODA Jepang memiliki paling tidak 2 kekhasan, yaitu menganut prinsip sel help effort dan small government.[vii]
1. Self Help Effort
Prinsip ini dapat dikatakan merupakan karakter paling penting yang dimiliki oleh ODA Jepang. Kemunculan asas ini didasarkan pengalaman Jepang dalam membangun perekonomiannya dengan penerapan asas self help. Adapun yang dimaksud dengan asas self help adalah pemberian bantuan atas permintaan negara resipien (request based aid), dan tidak ada unsur politik (conditionality). Akan tetapi mengingat bahwa bantuan luar negeri juga dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan negara donor, pelaksanaan request based aid sesungguhnya perlu dipertanyakan, apakah benar-benar telah dilaksanakan berdasarkan kebutuhan negara penerima bantuan. Kasus pembangunan waduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah tahun 1985-1989[viii] dan proyek bendungan di Koto Panjang, Padang[ix] yang di danai oleh ODA Jepang dan selesai dibangun pada tahun 1997, merupakan dua contoh kasus yang dipandang lebih bernuansa bisnis yang sarat dengan praktek korupsi, ketimbang mementingkan kebutuhan negara penerima bantuan.
Terkait dengan penerapan conditionality dalam pemberian bantuan, tidak seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang sangat kental dengan political aid conditionality[x], Jepang termasuk negara yang dalam pelaksanaan ODA tidak memberlakukan prasyarat atau kondisi-kondisi tertentu (non conditionality). Hal ini seringkali menuai kritik, karena Jepang dianggap tidak serius dalam menerapkan ODA Charter tahun 1992, dengan jelas menyebutkan bahwa ODA Jepang akan mempertimbangkan pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negara penerima bantuan. Seperti pada peristiwa Dili tahun 1991, sementara negara donor lainnya seperti AS mengancam akan menghentikan bantuannya ke Indonesia, Jepang malahan meningkatkan bantuannya pada tahun berikutnya.
2. Small Government
Small government yang dimaksud disini adalah kecilnya persentase dana yang disediakan oleh pemerintah Jepang untuk pelaksanaan ODA yaitu hanya 0,35% dari pendapatan pemerintah. Hal ini berarti pendapatan pemerintah bukan merupakan sumber utama ODA Jepang. Sebagian besar dana ODA berasal dari pajak, dana pensiun dan tabungan pos. Dana-dana masyarakat ini dipinjam oleh pemerintah dengan bunga rendah, dan karena itu harus dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi tidak adanya praktek pemutihan utang dalam konsep ODA. Selain itu konsekuensi lain adalah komposisi ODA Jepang untuk proyek-proyek komersial jauh lebih besar daripada proyek-proyek sosial, hal ini dikarenakan proyek-proyek komersial dapat memberikan imbalan dengan cepat.[xi]
Dalam pendistirbusiannya, ODA terdiri dari beberapa bentuk/tipe yaitu hibah (grants) dan pinjaman (loan). Hibah merupakan bentuk bantuan yang tidak harus dikembalikan atau tidak dikenakan bunga pembayaran), terdiri dari bantuan hibah (grant aid), kerjasama teknis (technical cooperation), dan kontribusi ke institusi international. Sedangkan pinjaman adalah bentuk bantuan yang mensyaratkan pengembalian dengan bunga dalam jangka waktu tertentu.[xii]
Dalam menganalisa performa ODA, Nishigaki menyarankan pengukuran dilakukan dengan memperhatikan beberapa elemen yaitu:[xiii]
1. Performa kuantitatif, dengan menganalisa kuantitas ODA yang disalurkan dari waktu ke waktu (dinamika aliran dana ODA yang dialirkan dari negara donor ke negara penerima).
2. Performa kualitatif.; melakukan perbandingan proporsi ODA berbentuk hibah dengan ODA berbentuk pinjaman dari total dana ODA yang disalurkan. Semakin besar proporsi hibah dibandingkan pinjaman, maka makin tinggi kualitas bantuan tersebut. Pengukuran ini, seringkali terlihat sebagai suatu pengukuran yang sederhana yaitu hanya melakukan perbandingan antara jumlah pinjaman dan hibah yang diberikan, tanpa mengeksplorasi proses dan dampak proyek yang dibiayai dengan pinjaman dan hibah. Akan tetapi, pengukuran seperti ini minimal bisa memberikan gambaran tentang karakter negara donor.
3. Keterikatan bantuan; hal ini dikaitkan dengan penetapan persyaratan yang dilakukan negara donor kepada negara penerima, apakah negara donor mewajibkan penerima ODA untuk mengimpor barang dan jasa dari negara donor (tied aid) atau bisa dibeli dari negara donor maupun negara berkembang lainnya (partially untied) atau membebaskan negara penerima donor membeli barang dan jasa dari negara manapun.
4. Distribusi geografis; meninjau distribusi ODA di berbagai wilayah,
sehingga dapat terlihat kawasan-kawasan yang mendapatkan porsi ODA terbesar, sedang, kecil atau tidak sama sekali. Khusus untuk ukuran ini, penulis melihat bahwa ukuran ini agak sulit diberlakukan dalam implementasi ODA Jepang, khususnya di Indonesia mengingat ODA Jepang dapat dikatakan tidak memiliki preferensi geografis. Preferensi ODA Jepang lebih pada kepentingan ekonomi, yaitu di mana ada peluang bisnis di situlah investasi akan ditanamkan.
5. Distribusi sektoral; meninjau distribusi ODA di negara penerima dengan melihat sektor-sektor (sosial, ekonomi, produksi, dan sebagainya) yang menjadi fokus penyaluran ODA suatu negara. Semakin besar nilai dan persentase ODA di suatu sektor, maka negara donor tersebut dapat disimpulkan menfokuskan bantuannya dan memiliki interest pada sektor tersebut.
3. Implementasi ODA Jepang ke Indonesia
3.1 Masa Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
Dalam kebijakan pemerintahan Soeharto, ODA ditempatkan sebagai salah satu sumber dana yang penting dalam APBN. Kontribusi ODA mencapai seperlima dari jumlah total pendapatan negara, dan Jepang tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia dengan mengalokasikan 16% dari total ODA Jepang ke Indonesia. Sejak tahun 1987, Indonesia termasuk negara terbesar yang menyerap ODA Jepang.[xiv]. Diperlihatkan pasang surut ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1967-1998.
Distribusi ODA Jepang ke Indonesia diawali pada tahun 1967, ketika pemerintahan Soeharto menerima ODA Jepang dalam bentuk pinjaman sebesar 10,80 milyar yen. Jumlah ini kemudian terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari data pada Tabel 1, secara keseluruhan proporsi pinjaman selalu mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia pada periode tersebut. Sementara kerjasama teknis dan hibah secara bergantian menempati prioritas kedua dan ketiga dalam pendistribusian ODA Jepang. Bahkan tercatat pada tahun 1974, porsi pinjaman mencapai 97% dari total ODA Jepang yang disalurkan ke Indonesia, sementara hibah sama sekali tidak mendapatkan porsi. Hal ini kemudian direspon oleh masyarakat anti Jepang dengan melakukan protes atas kebijakan tersebut. Pemerintah Jepang merespon protes tersebut dengan mengeluarkan doktrin Fukuda, yang diluncurkan oleh PM Takeo Fukuda. Doktrin Fukuda berisi inisiatif untuk mempererat hubungan antara Jepang dan negara-negara ASEAN.[xv] Pada tahun berikutnya ODA Jepang kemudian mengalami peningkatan yang signifikan, akan tetapi peningkatan tersebut tetap didominasi pinjaman yang mendapat alokasi 91% dari total bantuan di tahun 1978.
1. Pendahuluan
Tahun 2008 merupakan momen penting bagi hubungan Indonesia-Jepang, karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun hubungan kedua negara. Tak dapat dipungkiri bahwa Jepang, melalui kebijakan bantuan luar negerinya khususnya Official Development Assistance (ODA), berperan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Begitupun sebaliknya, Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi Jepang, negara penyedia minyak, gas bumi dan sumber daya alam telah menempatkannya sebagai negara yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Jepang. Selain itu, sebagai salah satu negara yang berpenduduk cukup besar dan berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mempunyai arti penting bagi Jepang dalam kerangka keamanan kawasan.
Lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang bukan merupakan waktu yang singkat dan dilewati dengan mudah. Pasang surut juga mewarnai perjalanan hubungan kedua negara. Berkaitan dengan ODA, sejak tahun 1989 jumlah bantuan Jepang melebihi jumlah bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat yang notabene adalah negara super power. Jepang merupakan satu-satunya negara di Asia yang menjadi donor terbesar hingga saat ini. Walaupun demikian, sorotan terhadap ODA Jepang terus berlangsung, baik yang menyangkut kompleksitas administrasi/birokrasi, motif pemberian, trennya maupun berbagai kontroversi terhadap implementasi ODA Jepang baik di tingkat domestik maupun internasional. Sebagai salah satu negara penerima ODA Jepang terbesar, praktek ODA Jepang di Indonesia cukup banyak mendapatkan sorotan.
Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisa implementasi kebijakan ODA Jepang ke Indonesia, dengan memfokuskan pada distribusi bantuan ODA Jepang di Indonesia berdasarkan tipe dan sektor dengan membagi analisa pada dua pokok bahasan yaitu implementasi ODA di masa pemerintahan Soeharto dan setelah jatuhnya Soeharto. Tulisan ini diharapkan akan memberikan pemahaman tentang bagaimana kebijakan ODA Jepang di Indonesia, bagaimana respon, perubahan atau penyesuaian dalam menghadapi gejolak perubahan di tingkat domestik baik di Indonesia maupun Jepang, dan kondisi global.
2. Perspektif Bantuan Luar Negeri dan ODA Jepang
The Development Assistance Committee (DAC) mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai aliran dana yang diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk membantu mengurangi keterbatasan dalam melakukan pembangunan. Keterbatasan tersebut mencakup keterbatasan keahlian (skill limitation), keterbatasan tabungan (saving limitation) dan keterbatasan dalam nilai tukar mata uang asing/keterbatasan pada cadangan devisa (foreign exchange limitation).[i] Dengan membantu mengurangi keterbatasan tersebut melalui aliran dana, negara penerima bantuan diharapkan dapat melakukan pembangunan ekonomi yang maksimal. Poin ini memberikan justifikasi bagi negara maju untuk memainkan peran dalam pembangunan negara berkembang melalui kebijakan bantuan luar negeri (foreign aid policy).
Fenomena bantuan luar negeri banyak dianalisis dari berbagai sudut pandang. Kaum idealis melihat secara positif bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu keharusan bagi negara-negara maju untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan terbelakang. Di sisi lain, kaum realis melihatnya secara sinis bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu implementasi dari national interest negara donor, atau dengan kata lain sebagai alat bagi negara donor untuk mencapai tujuan ekonomi dan politik. Sementara itu kaum strukturalis memandang bahwa bantuan luar negeri sebagai a tool of control untuk menjaga hubungan sosial dan politik yang tidak seimbang antara negara donor dan negara penerima bantuan.
Implementasi ODA Jepang juga tidak luput dari kritik. David Arase memaparkan bahwa Jepang menggunakan ODA sebagai alat buying power atau membeli kekuasaan. Arase juga menggunakan istilah asli di Jepang untuk menyebut ODA yaitu keizai kyouryoku (kerjasama ekonomi), untuk memperlihatkan bahwa Jepang tidak melihat ODA sebagai bantuan (aid/assistance), tapi merupakan kerjasama ekonomi yang sarat dengan kepentingan bisnis dan ekonomi Jepang.[ii] Sementara itu, Sudarsono Harjosoekarto menyimpulkan bahwa ODA, investasi dan perdagangan merupakan komponen penting pembentuk hubungan ekonomi yang asimetris antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dikarenakan ketergantungan Indonesia kepada Jepang lebih besar daripada ketergantungan Jepang kepada Indonesia. Hubungan asimetris tersebut dicirikan oleh status Jepang sebagai donor ODA terbesar di Indonesia, Jepang sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta Jepang sebagai sumber investasi asing dan teknologi yang penting bagi Indonesia.[iii]
Berbeda dengan Sudarsono, Thee Kian Wie melihat interaksi antara bantuan dengan investasi asing dari Jepang dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia. Selain itu program pinjaman yang dianggarkan oleh Overseas Economic Cooperation Fund (telah berganti nama menjadi Japan Bank for International Cooperationa/JBIC) dialokasikan juga untuk membantu pembiayaan bagi sektor swasta Jepang yang akan berinvestasi pada proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia.[iv] Sedangkan dalam hal kerjasama teknis dan hibah, melalui institusi yang dinamakan JICA (Japan International Cooperation Agency), selain menyediakan pinjaman berbunga rendah, JICA juga menyediakan bantuan pelaksanaan survey dan konsultasi teknis bagi sektor swasta yang akan menanamkan inverstasinya di Indonesia. Bagi Thee, program-program tersebut pada akhirnya membantu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang berusaha menarik investor-investor asing dalam rangka mengembangkan industri berorientasi ekspor.
Hampir senada dengan Thee, Ohno juga menggambarkan secara positif kebijakan ODA Jepang. Menurut Ohno, ada dua faktor historis yang membuat visi bantuan dan pembangunan Jepang berbeda dengan negara donor lainnya, yaitu, pertama, Jepang merupakan satu-satunya negara donor yang non barat dengan sejarah kesuksesan industrialisasi. Jepang berhasil mengatasi kehancuran setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dengan menguatkan manufacturing base yang berkontribusi dalam perdagangan dan investasi yang kemudian mampu mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan.
Kedua, keputusan Jepang setelah perang untuk menolak penggunaan kekuatan militer menekan ODA berperan sebagai alat diplomasi.[v] Jepang juga mempunyai keunikan dalam pembagian distribusi ODA yang besar, yaitu berupa pinjaman. Hal ini didasari argumen bahwa loan aid dapat memobilisasi sumber daya yang lebih besar seperti membiayai proyek infrastruktur yang berskala besar. Di saat bersamaan, dituntut juga kedisiplinan negara penerima dalam mengatur kemampuan hutang (debt management capacity) dan tanggung jawab donor untuk menjamin keberlanjutan proyek yang dijalankan. Lingkup waktu dari hubungan donor-resipien relatif lebih lama di bawah skema loan aid, yang menuntut pembagian tanggung jawab negara donor-resipien.[vi]
Selain itu di antara berbagai negara donor di dunia, ODA Jepang memiliki paling tidak 2 kekhasan, yaitu menganut prinsip sel help effort dan small government.[vii]
1. Self Help Effort
Prinsip ini dapat dikatakan merupakan karakter paling penting yang dimiliki oleh ODA Jepang. Kemunculan asas ini didasarkan pengalaman Jepang dalam membangun perekonomiannya dengan penerapan asas self help. Adapun yang dimaksud dengan asas self help adalah pemberian bantuan atas permintaan negara resipien (request based aid), dan tidak ada unsur politik (conditionality). Akan tetapi mengingat bahwa bantuan luar negeri juga dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan negara donor, pelaksanaan request based aid sesungguhnya perlu dipertanyakan, apakah benar-benar telah dilaksanakan berdasarkan kebutuhan negara penerima bantuan. Kasus pembangunan waduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah tahun 1985-1989[viii] dan proyek bendungan di Koto Panjang, Padang[ix] yang di danai oleh ODA Jepang dan selesai dibangun pada tahun 1997, merupakan dua contoh kasus yang dipandang lebih bernuansa bisnis yang sarat dengan praktek korupsi, ketimbang mementingkan kebutuhan negara penerima bantuan.
Terkait dengan penerapan conditionality dalam pemberian bantuan, tidak seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang sangat kental dengan political aid conditionality[x], Jepang termasuk negara yang dalam pelaksanaan ODA tidak memberlakukan prasyarat atau kondisi-kondisi tertentu (non conditionality). Hal ini seringkali menuai kritik, karena Jepang dianggap tidak serius dalam menerapkan ODA Charter tahun 1992, dengan jelas menyebutkan bahwa ODA Jepang akan mempertimbangkan pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negara penerima bantuan. Seperti pada peristiwa Dili tahun 1991, sementara negara donor lainnya seperti AS mengancam akan menghentikan bantuannya ke Indonesia, Jepang malahan meningkatkan bantuannya pada tahun berikutnya.
2. Small Government
Small government yang dimaksud disini adalah kecilnya persentase dana yang disediakan oleh pemerintah Jepang untuk pelaksanaan ODA yaitu hanya 0,35% dari pendapatan pemerintah. Hal ini berarti pendapatan pemerintah bukan merupakan sumber utama ODA Jepang. Sebagian besar dana ODA berasal dari pajak, dana pensiun dan tabungan pos. Dana-dana masyarakat ini dipinjam oleh pemerintah dengan bunga rendah, dan karena itu harus dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi tidak adanya praktek pemutihan utang dalam konsep ODA. Selain itu konsekuensi lain adalah komposisi ODA Jepang untuk proyek-proyek komersial jauh lebih besar daripada proyek-proyek sosial, hal ini dikarenakan proyek-proyek komersial dapat memberikan imbalan dengan cepat.[xi]
Dalam pendistirbusiannya, ODA terdiri dari beberapa bentuk/tipe yaitu hibah (grants) dan pinjaman (loan). Hibah merupakan bentuk bantuan yang tidak harus dikembalikan atau tidak dikenakan bunga pembayaran), terdiri dari bantuan hibah (grant aid), kerjasama teknis (technical cooperation), dan kontribusi ke institusi international. Sedangkan pinjaman adalah bentuk bantuan yang mensyaratkan pengembalian dengan bunga dalam jangka waktu tertentu.[xii]
Dalam menganalisa performa ODA, Nishigaki menyarankan pengukuran dilakukan dengan memperhatikan beberapa elemen yaitu:[xiii]
1. Performa kuantitatif, dengan menganalisa kuantitas ODA yang disalurkan dari waktu ke waktu (dinamika aliran dana ODA yang dialirkan dari negara donor ke negara penerima).
2. Performa kualitatif.; melakukan perbandingan proporsi ODA berbentuk hibah dengan ODA berbentuk pinjaman dari total dana ODA yang disalurkan. Semakin besar proporsi hibah dibandingkan pinjaman, maka makin tinggi kualitas bantuan tersebut. Pengukuran ini, seringkali terlihat sebagai suatu pengukuran yang sederhana yaitu hanya melakukan perbandingan antara jumlah pinjaman dan hibah yang diberikan, tanpa mengeksplorasi proses dan dampak proyek yang dibiayai dengan pinjaman dan hibah. Akan tetapi, pengukuran seperti ini minimal bisa memberikan gambaran tentang karakter negara donor.
3. Keterikatan bantuan; hal ini dikaitkan dengan penetapan persyaratan yang dilakukan negara donor kepada negara penerima, apakah negara donor mewajibkan penerima ODA untuk mengimpor barang dan jasa dari negara donor (tied aid) atau bisa dibeli dari negara donor maupun negara berkembang lainnya (partially untied) atau membebaskan negara penerima donor membeli barang dan jasa dari negara manapun.
4. Distribusi geografis; meninjau distribusi ODA di berbagai wilayah,
sehingga dapat terlihat kawasan-kawasan yang mendapatkan porsi ODA terbesar, sedang, kecil atau tidak sama sekali. Khusus untuk ukuran ini, penulis melihat bahwa ukuran ini agak sulit diberlakukan dalam implementasi ODA Jepang, khususnya di Indonesia mengingat ODA Jepang dapat dikatakan tidak memiliki preferensi geografis. Preferensi ODA Jepang lebih pada kepentingan ekonomi, yaitu di mana ada peluang bisnis di situlah investasi akan ditanamkan.
5. Distribusi sektoral; meninjau distribusi ODA di negara penerima dengan melihat sektor-sektor (sosial, ekonomi, produksi, dan sebagainya) yang menjadi fokus penyaluran ODA suatu negara. Semakin besar nilai dan persentase ODA di suatu sektor, maka negara donor tersebut dapat disimpulkan menfokuskan bantuannya dan memiliki interest pada sektor tersebut.
3. Implementasi ODA Jepang ke Indonesia
3.1 Masa Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
Dalam kebijakan pemerintahan Soeharto, ODA ditempatkan sebagai salah satu sumber dana yang penting dalam APBN. Kontribusi ODA mencapai seperlima dari jumlah total pendapatan negara, dan Jepang tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia dengan mengalokasikan 16% dari total ODA Jepang ke Indonesia. Sejak tahun 1987, Indonesia termasuk negara terbesar yang menyerap ODA Jepang.[xiv]. Diperlihatkan pasang surut ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1967-1998.
Distribusi ODA Jepang ke Indonesia diawali pada tahun 1967, ketika pemerintahan Soeharto menerima ODA Jepang dalam bentuk pinjaman sebesar 10,80 milyar yen. Jumlah ini kemudian terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari data pada Tabel 1, secara keseluruhan proporsi pinjaman selalu mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia pada periode tersebut. Sementara kerjasama teknis dan hibah secara bergantian menempati prioritas kedua dan ketiga dalam pendistribusian ODA Jepang. Bahkan tercatat pada tahun 1974, porsi pinjaman mencapai 97% dari total ODA Jepang yang disalurkan ke Indonesia, sementara hibah sama sekali tidak mendapatkan porsi. Hal ini kemudian direspon oleh masyarakat anti Jepang dengan melakukan protes atas kebijakan tersebut. Pemerintah Jepang merespon protes tersebut dengan mengeluarkan doktrin Fukuda, yang diluncurkan oleh PM Takeo Fukuda. Doktrin Fukuda berisi inisiatif untuk mempererat hubungan antara Jepang dan negara-negara ASEAN.[xv] Pada tahun berikutnya ODA Jepang kemudian mengalami peningkatan yang signifikan, akan tetapi peningkatan tersebut tetap didominasi pinjaman yang mendapat alokasi 91% dari total bantuan di tahun 1978.
Di tahun 1980, pemerintah Jepang memperkenalkan konsep comperehensive security policy (sogo anzen housho), yang menekankan penggunaan bantuan ekonomi sebagai alat untuk menjamin keamanan Jepang. Konsep ini semakin memperjelas fungsi dan motif ODA bagi Jepang, dan tentu saja membawa dampak pada pelaksanaannya. Periode ini kemudian ditandai dengan semakin besarnya ODA Jepang yang diarahkan ke negara-negara Asia Timur dan Tenggara. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode perluasan kepentingan ekonomi Jepang. Tidak hanya itu, secara politik, bantuan ekonomi Jepang pada periode ini juga ditujukan untuk membangun citra Jepang sebagai negara yang bersahabat.
Di awal tahun 1990, seiring dengan berakhirnya perang dingin dengan kekalahan pada blok komunis, Amerika Serikat (AS) kemudian menjadikan isu demokrasi sebagai kunci kebijakan luar negerinya dan negara-negara sekutunya, termasuk dalam penyaluran ODA. Political conditionality menjadi prasyarat bagi negara-negara dalam menyalurkan bantuannya ke negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya adalah terlaksananya prinsip demokrasi, good governance dan hak asasi manusia. Jepang sebagai salah satu negara sekutu AS, mau tidak mau harus mengikuti kebijakan tersebut, yaitu dengan merumuskan ODA Charter tahun 1992 yang menyebutkan ”Full attention should be paid to efforts for promoting democratization and introduction of a market oriented economy and the situation regarding the scuring of basic human rights and freedom in the recipient countries.”[xvi] ODA Charter 1992 kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Jepang dengan mengumumkan The Partnership for Democratic Development (PPD) pada bulan Juni 1996. Tujuan inisiatif tersebut adalah membantu negara resipien untuk mengembangkan berbagai aspek yang mendukung demokratisasi seperti pengembangan sistem hukum dan pemilu serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Dengan PPD ini, pemerintah Jepang telah meluaskan bantuan keuangan dan teknis ke beberapa negara yaitu Kamboja, Filipina, Vietnam, Uzbekistan, Pakistan, Polandia, El Savador dan Korea Selatan. [xvii]
Akan tetapi perumusan Piagam ODA dan keterlibatan Jepang dalam PPD kelihatannya tidak memberikan dampak pada distribusi ODA Jepang di Indonesia. Ditunjukkan kegiatan-kegiatan pada sektor public works and utilities mendapatkan jumlah proyek yang lebih besar (54,12% dari total proyek) untuk bantuan dalam bentuk pinjaman pada tahun 1993-1998, daripada sektor-sektor lain, seperti kesehatan masyarakat (0% dari total proyek), pengembangan sumber daya manusia (9% dari total proyek), sektor jasa sosial (4% dari total proyek) dan 0,91% untuk program jaringan pengaman sosial.
Sementara itu untuk hibah, sektor pengembangan sumber daya manusia menempati prioritas keempat berdasarkan total hibah yang diberikan. Akan tetapi, bila dilihat dari jumlah proyek, sektor tersebut mendapatkan jumlah proyek terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sektor tersebut telah menjadi prioritas, karena dibandingkan dengan jumlah anggaran untuk sektor energy, public works and utilities, dan mining and industry, sektor-sektor tersebut tetap menjadi tujuan utama dana hibah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam implementasinya, ODA Jepang tidak mengalami perubahan signifikan dalam pengalokasian anggarannya. Sektor-sektor non komersial, seperti pengembangan sumber daya manusia, sektor sosial menduduki prioritas lebih rendah daripada sektor-sektor komersial.
Inisiatif untuk memprioritaskan bantuan pada kegiatan-kegiatan yang mendukung pembangunan sosial & politik lebih dipengaruhi oleh faktor perkembangan dunia international, daripada keinginan pemerintah Jepang sendiri. Kebijakan yang dibuat seolah-olah hanya untuk mendapatkan pengakuan internasional, tanpa menformulasikan program yang lebih jelas untuk pengimplementasiannya. Selain itu faktor domestik dalam negeri Indonesia ikut memberikan andil mengingat pemerintahan Soeharto saat itu tidak memberikan ruang bagi pembangunan politik, dan hanya menfokuskan kebijakannya pada pembangunan ekonomi yang bertumpu pada indutrialisasi.
Dalam hal distribusi geografis bantuan, Pulau Jawa menempati posisi pertama dengan 39% proyek pinjaman. Sementara itu, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Irian Jaya dan Maluku mendapatkan porsi 18,6%; 5,9%, 4,9% dan 0,1%. Bahkan Nusa Tenggara tercatat tidak mendapatkan dana pinjaman ODA Jepang.[xviii] Penyebaran georafis ODA Jepang ini didukung oleh kebijakan pembangunan Pemerintahan Soeharto yang memusatkan pembangunan di Pulau Jawa dan Sumatera. Terkait dengan status keterikatan bantuan, tercatat bahwa pada periode awal penyaluran bantuan, persentase pinjaman terikat cukup tinggi yaitu 71,35% dibandingkan dengan bentuk pinjaman mengikat sebagian dan pinjaman yang tidak mengikat sama sekali. Akan tetapi, kondisi ini terus mengalami perubahan, hingga pada periode 1982-1998 jumlah pinjaman yang tidak mengikat mencapai nilai 99,8%.[xix]
Peiode ini kemudian diakhiri dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang didahului dengan terjadinya krisis keuangan di Asia pada pertengahan tahun 1997. Indonesia, dalam mengatasi krisis keuangan, mendapatkan bantuan dari berbagai pihak terutama Jepang. Ada dua alasan yang bisa menjelaskan hal tersebut, pertama, Jepang mempunyai investasi yang cukup besar di Indonesia. Pemerintah Jepang khawatir situasi ekonomi yang tidak terkendali akan menimbulkan ketidakstabilan politik yang bisa menimbulkan chaos. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak pada berbagai kegiatan investasi/usaha ekonomi Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang sangat aktif membantu dan mempertahankan kestabilan ekonomi di Indonesia saat itu. Alasan kedua adalah, pemerintah Jepang ingin menunjukkan tanggung jawab dan partisipasi aktif sebagai komunitas internasional dalam menanggulangi masalah regional/global (international responsibility).
3.2. Periode Pasca Soeharto
Jatuhnya Soeharto, membawa perubahan cukup besar dalam sistem perpolitikan Indonesia. Tekanan agar pemerintah Indonesia segera melakukan reformasi politik dan ekonomi gencar dilakukan oleh masyarakat domestik dan internasional. Hal ini juga turut mempengaruhi kebijakan ODA Jepang setelah jatuhnya Soeharto. Secara umum tren ODA Jepang tahun 1997.
Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik maupun internasional. Misalnya tahun 1998-2000, jumlah ODA Jepang yang disalurkan cukup signifikan yaitu 0,35% dari ODA per GNP. Hal ini sebagai dampak diberikannya bantuan untuk economic recovery setelah krisis ekonomi mengguncang Asia. Kemudian tahun berikutnya sampai tahun 2004 terjadi penurunan, karena perekonomian Jepang yang tidak cukup baik perkembangannya, dan pada tahun 2005 meningkat kembali, karena perekonomian mulai membaik dan kelihatannya hal tersebut juga merupakan upaya menghadapi pengaruh pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina. Pemerintah Jepang khawatir bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, akan meningkatkan pengaruh politik Cina terutama di kawasan Asia.
Selain itu dalam periode ini juga terjadi peristiwa besar yaitu serangan di World Trade Center, Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001, yang telah memaksa Jepang untuk melakukan revisi ulang ODA Charter 1992. Poin penting yang ditambahkan dalam revisi ini adalah penekanan pada peace settlement. Serangan 11 September 2001 ini telah menjadi jalan justifikasi bagi Pemerintahan Koizumi saat itu untuk mengikuti kebijakan Amerika menangani masalah terorisme dengan mengirimkan militer Jepang ke luar negeri seperti yang terjadi di Irak dan Afgahanistan. Berkaitan dengan hal tersebut, Prof Murai menekankan agar Pemerintah Jepang berhati-hati dalam menggunakan ODA untuk “peace settlement” karena hal tersebut sangat mudah dicampuradukkan dengan tujuan militer.[xx] Khusus untuk Indonesia, peristiwa serangan tersebut semakin menempatkan Indonesia pada posisi kunci bagi Jepang mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia diharapkan dapat memainkan peran dalam membantu menangani masalah terorisme ini, yang diyakini oleh kalangan dunia barat dilakukan oleh para penganut Islam radikal.
Mengacu pada data Tabel 4, pada tahun 1999-2002 ODA Jepang di Indonesia menurun secara signifikan sebagai dampak dari memburuknya perekonomian Jepang, dan mulai difokuskannya ODA Jepang ke wilayah lain seperti Afrika dan Timur Tengah. Hal ini juga seiring dengan menurunnya jumlah investasi Jepang ke Indonesia pasca krisis ekonomi. Indonesia yang pada masa sebelum krisis ekonomi menduduki peringkat pertama negara tujuan investasi Jepang di kawasan Asia Tenggara, maka setelah krisis ekonomi & politik, Indonesia hanya berada pada posisi ketiga negara tujuan investasi Jepang, dengan mendapatkan porsi 21%.
Yang menarik pada periode ini adalah, pada tahun 1999 Jepang memberikan bantuan di bidang politik yaitu bantuan untuk melaksanakan Pemilu, baik dengan memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia maupun ikut serta mengirimkan pemantau pemilu internasional. Hal ini merupakan yang pertama dalam sejarah ODA Jepang di Indonesia. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pada saat Pemilu 1999, Jepang adalah negara yang termasuk lambat memberikan respon atas permintaan dukungan Indonesia untuk menyelenggarakan Pemilu. Alasan yang dikemukakan adalah saat itu Pemerintah Jepang sedang mencari dan merumuskan skema dana yang harus digunakan karena sebelumnya tidak ada alokasi dana untuk bantuan pelaksanaan Pemilu di Indonesia.Walau terkesan agak lambat dalam merespon tuntutan reformasi politik di Indonesia, Pemerintah Jepang mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung demokratisasi seperti melibatkan NGO sebagai partner.
Selain itu, dalam Country Assistance Strategy for Indonesia tahun 2004, pemerintah Jepang juga dengan nyata menempatkan penciptaan masyarakat yang demokratis dan adil (“creation of a democratic and equitable society”) sebagai pilar kedua dalam prioritas area bantuan.Adapun kegiatan yang didesain sebagai bagian dari pilar kedua tersebut adalah pengentasan kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja melalui pembangunan pertanian dan perikanan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, meningkatkan jasa publik di bidang pendidikan, kesehatan dan obat-obatan; reformasi pemerintah di bidang hukum (judiciary), polisi (police service), bantuan untuk desentralisasi; serta pemeliharaan lingkungan dan pencegahan bencana. Tidak adanya pergeseran yang signifikan dalam komposisi bantuan berdasarkan bentuk/tipenya. Dari data tersebut, terlihat porsi pinjaman tetap menempati prioritas utama bentuk bantuan Jepang ke Indonesia. Walaupun mengalami penurunan sebesar kurang lebih 9-10% dari periode sebelumnya, porsi pinjaman tetap mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia dengan mengarahkan 80% dari total proyek pada sektor public works and utilities, sementara sektor sosial hanya mendapatkan 10% dari total proyek. Dibandingkan dengan negara Amerika latin seperti Mexico yang memberikan porsi 39,3% proyek di sektor tersebut, Peru 35,6% dan Brazil 29,1%, maka Indonesia termasuk negara yang memberikan porsi lebih kecil (8,3%) untuk sektor sosial. Begitupun bila dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand yang memberikan porsi 20% dan 10,3% di sektor yang sama.
Sementara itu dalam hal distribusi geografis, walaupun sampai saat ini masih banyak proyek-proyek yang dipusatkan di Pulau Jawa, terlihat adanya pergeseran dalam pengalokasian proyek berdasarkan wilayah. Inisiatif untuk melaksanakan proyek di beberapa daerah Indonesia bagian timur seperti proyek dengan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam rangka mendukung terlaksananya otonomi daerah dapat dinilai sebagai langkah positif ODA Jepang dalam upaya melakukan penyebaran/pemerataan proyek pembangunan, dan dalam merespon perkembangan domestik Indonesia.
4. Kesimpulan
Sementara itu dalam hal distribusi geografis, walaupun sampai saat ini masih banyak proyek-proyek yang dipusatkan di Pulau Jawa, terlihat adanya pergeseran dalam pengalokasian proyek berdasarkan wilayah. Inisiatif untuk melaksanakan proyek di beberapa daerah Indonesia bagian timur seperti proyek dengan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam rangka mendukung terlaksananya otonomi daerah dapat dinilai sebagai langkah positif ODA Jepang dalam upaya melakukan penyebaran/pemerataan proyek pembangunan, dan dalam merespon perkembangan domestik Indonesia.
4. Kesimpulan
Secara keseluruhan performa ODA Jepang di Indonesia dapat dinilai secara positif dan negatif. Dalam hal performa kuantitiatif terjadi penyaluran dana yang berkesinambungan setiap tahun, akan tetapi komposisi pinjaman yang mencapai 80%-90% di kedua periode yang telah dibahas, menunjukkan performa kualitatif ODA Jepang di Indonesia masih rendah. Hal ini sekaligus menunjukkan besarnya pinjaman dan ketergantungan Indonesia kepada Jepang. Dalam hal distribusi sektoral, implementasi ODA Jepang di kedua periode belum menunjukkan perubahan yang berarti, dimana masih terfokusnya bantuan pada sektor infrastruktur, dan minimnya alokasi dana ODA Jepang pada sektor-sektor pengembangan sosial dan politik. Sektor-sektor komersial tetap menjadi tujuan utama ODA Jepang. Hal ini bisa dipahami mengingat dua karakter yang dimiliki oleh ODA Jepang yaitu self help effort dan small government, yang konsekuensinya menuntut Pemerintah Jepang memberikan alokasi dana yang lebih besar pada proyek-proyek komersial. Mengingat kondisi Indonesia pada sektor-sektor sosial masih lemah, misalnya tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran masih tinggi, diperlukan upaya untuk membantu pembangunan sektor tersebut. Jepang dapat berperan membantu pembangunan sektor sosial melalui peningkatan alokasi dana ODA untuk proyek pengembangan sumber daya manusia baik melalui pelatihan di dalam/luar negeri maupun upaya penciptaan lapangan kerja serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat yang harus segera diwujudkan termasuk melibatkan civil society/NGOs dalam berbagai program.
Implementasi ODA Jepang pasca Soeharto mulai menunjukkan perubahan seiring dengan terjadinya perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik. Selain itu beberapa peristiwa bencana alam yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini seperti di Aceh, Yogya dan Jawa Tengah, menempatkan Jepang sebagai negara pemberi bantuan terbesar dalam membantu menangani akibat bencana tersebut. Di bidang politik, Jepang terlihat mulai menformulasikan berbagai kegiatan/program yang mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan makmur, seperti bantuan untuk pelaksanaan pemilu, desentralisasi, reformasi pemerintahan, dan berbagai kegiatan lainnya. Akan tetapi apabila dicermati dari pembahasan di atas, Jepang terkesan sangat hati-hati dalam mengimplementasikan proyek pembangunan di bidang politik (demokratisasi).
Kepercayaan bahwa pembangunan masyarakat yang demokratis akan menuntut ketidakstabilan politik, merupakan salah satu alasan mengapa Jepang terlihat lambat merespon tuntutan demokratisasi atau reformasi politik di Indonesia. Mengingat besarnya investasi Jepang di Indonesia, ketidakstabilan politik tentu tidak dikehendaki oleh Jepang. Alasan lain adalah Jepang menjadikan aid policy sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonominya dan memberikannya tanpa memberlakukan conditionality. Mengingat conditinality dapat dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi negara donor terhadap negara penerima bantuan, kebijakan bantuan Jepang yang terfokus pada kerjasama ekonomi daripada menekankan kepentingan politik, memiliki aspek positif . Hal ini menjadikan ODA Jepang berbeda dengan bantuan dari negara donor lainnya seperti Amerika Serikat dan Perancis yang menggunakan bantuannya untuk ”mempromosikan” apa yang mereka anggap dan pahami sebagai nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang universal.
Selain itu, secara positif dapat dikatakan pula bahwa besarnya bantuan ODA Jepang di Indonesia menunjukkan kepercayaan Jepang kepada Indonesia dan sekaligus mengindikasikan nilai strategis Indonesia baik di bidang ekonomi maupun keamanan bagi Jepang. Hal ini menandakan bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia dan Jepang adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi. Akan tetapi mengingat Jepang sebagai negara pemberi donor terbesar di Indonesia, sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta sumber utama investasi asing dan pembangunan teknologi, maka hubungan antara kedua negara ini mengindikasikan hubungan interdependensi yang asimetris. Walaupun demikian, kekhawatiran bahwa suatu saat pemerintah Jepang akan dapat melakukan intervensi kebijakan ekonomi, politk, dan keamanan terhadap pemerintahan Indonesia akibat ketergantungan Indonesia kepada ODA Jepang, merupakan kehawatiran yang agak berlebihan. Jepang dalam aid policy-nya telah menekankan penggunaan prinsip non conditionality. Di satu sisi, pemerintah Indonesia harus berupaya menjaga dan menaikkan posisi tawar dengan Jepang (termasuk dengan negara donor lainnya) untuk menggeser hubungan interdependensi yang asimetris ini menjadi hubungan simetris. Salah satunya dengan pemanfaatan dana ODA Jepang (plus bantuan luar negeri lainya) seefisien mungkin, dan digunakan untuk mendukung sektor-sektor yang menjadi tujuan utama pembangunan Indonesia. Pemerintah Indonesia harus terus menerus mengupayakan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan ODA Jepang dan bantuan luar negeri lainnya, baik perbaikan pada aspek kebijakan, kelembagaan maupun sumber daya manusia. Terjaganya kredibilitas Indonesia di mata negara donor termasuk Jepang akan menaikkan posisi tawar Indonesia. Dengan demikian, hubungan saling membutuhkan dan saling mengisi yang sudah terjalin selama 50 tahun antara Indonesia dan Jepang akan menjadi landasan kuat bagi tercapainya kemitraan strategis (strategic partnership) yang nyata .
________________________________________
[i] Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan's ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 85-86, dalam Purnamasari, Mesi. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 17.
[ii] Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan's Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers., dalam Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 11.
[iii] Sudarsono Harjosoekarto, 1993. Japan's Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 410, lihat Purnamasar, Op.cit.,15.
[iv] Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33, lihat Purnamasari, Ibid.
[v] Setelah serangan 11 September 2001, kemudian terjadi penyerangan ke Afghanistan dan Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dimana Pemerintah Jepang memberikan dukungan terhadap serangan tersebut dan mengalokasikan dana ODA sebagai salah satu sumber dana operasional. ODA Jepang dikritik baik oleh masyarakat Jepang sendiri maupun internasional karena Jepang dianggap telah menggunakan ODA tidak hanya untuk kepentingan bisnis tetapi juga telah berperan di bidang militer, lihat http://www.kotopan.jp/Eng.html
[vi] Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7.
[vii] Lihat Setianingtyas, Op.Cit.,48-60.
[viii] Proyek waduk Kedung Ombo dibiayai USD 156 juta dari dana Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jeapng, dan APBN. Waduk mulai diairi pada 14 Januari1989 dengan menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali dan Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk tersebut, Koran Tempo, 10 September 2001.
[ix] Proyek Bendungan Koto Panjang didanai dengan pinjaman ODA Jepang sebesar USD 300 juta. Dampak dari pembangunan bendungan ini adalah ditenggelamkannya 12,400 hektar tanah dan 23,00 orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, lihat http://www.kotopan.jp/Eng.html
[x] Political aid conditionality adalah syarat yang diberlakukan oleh negara donor kepada negara penerima bantuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi termasuk menghargai hak asasi manusia.
[xi] Setianingtyas, Op.Cit.
[xii] Ibid, 86.
[xiii] Akira, Nishigaki & Yasutami, 199-240, lihat Purnamasari, Op.Cit.,20.
[xiv] ODA Jepang telah disalurkan sejak tahun 1958 yang dimulai dalam bentuk Repatriation War Program, yaitu program pengembalian harta pampasan perang yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang kepada negara-negara bekas jajahannya. Lihat Ministry of Foreign Affairs. 1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report.
[xv] Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5.
[xvi] Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report, 33.
[xvii] www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html
[xviii] Mengingat porsi pinjaman mencapai 89,64%, maka persebaran georarifs pinjaman diyakini dapat mewakili persebaran geograifs ODA Jepang di Indonesia, lihat Purnamasari, 93-96.
[xix] Ibid.
[xx] Prof. Murai Yoshinori, Japan’s ODA to Indonesia, dapat diakses melalui: www.nindja.org/modules/news2/print.php?storyid=1
[xxi] Interview dengan Staf Japan International Cooperation Agency (JICA) Divisi Asia Tenggara, Tokyo, 11Juni, 2003.
[xxii] Pilar pertama adalah “sustainable growth driven by the private sector” dan pilar ketiga adalah “peace and stability”, Country Assistance Strategy for Indonesia, October 2004, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Interview dengan Staf JICA Pusat, untuk wilayah Asia Tenggara, Tokyo, 29 Januari, 2007.
[xxiii] Ibid.
[xxiv] www.jbic.or.id/oeco.php
[xxv] Japan Bank International Cooperation Annual Report, 2002.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal dan Laporan
[1] Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan’s ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 199-240
[2] Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor, 22-27.
[3] Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers.
[4] Harjosoekarto, Sudarsono. 1993. Japan’s Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 40.
[5] Japan Bank International Cooperation. 2002. Annual Report.
[6] Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report).
[7] ----------------------------------.1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report.
[8] Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5.
[9] Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7.
[10] Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi. Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 48-60.
[11] Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33.
[12] Purnamasari, Mesi. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi. Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 93-96.
Website
www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html
Sumber : Inovasi Edisi Vol. 11/XX/ Juli 2008.
dan sekian itulah artikel Lima Puluh Tahun Hubungan Indonesia-Jepang: Refleksi terhadap Implementasi ODA Jepang di Indonesia terimakasih ^_^
Tweet
Follow @kackdir