Info Petani - I. PENDAHULUAN
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, maka pola konsumsi pangan yang bermutu dengan gizi yang seimbang merupakan momentum yang tepat untuk melakukan diversifikasi pangan pada menu harian. Pangan yang beragam menjadi penting mengingat tidak ada satu jenis pangan yang dapat menyediakan gizi yang lengkap bagi seseorang. Konsumsi pangan yang beragam meningkatkan kelengkapan asupan zat gizi karena kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi dari pangan lainnya (Khomsan 2006). Namun, pangan pokok masyarakat Indonesia masih bertumpu pada satu komoditas, yaitu beras. Budaya mengonsumsi nasi bagi penduduk negeri ini sangat tinggi, bahkan sebagian besar masyarakat merasa belum makan jika belum mengkonsumsi nasi.
Beras sebagai salah satu jenis pangan yang menempati posisi paling strategis diantara jenis pangan lainnya, sehingga ada tuntutan masyarakat agar kebutuhan beras dapat terpenuhi. Peningkatan permintaan beras tidak seimbang dengan ketersediaan dalam negeri, dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut selama ini dilakukan melalui impor beras. Sementara tanaman pangan sumber karbohidrat lain seperti aneka umbi dan buah (salah satunya adalah sukun) belum dimanfaatkan secara optimal. Apabila kondisi ini terus berlanjut, ketahanan pangan nasional berkelanjutan semakin sulit dipertahankan, meskipun tahun ini Indonesia berhasil swasembada beras.
Faktor lain yang perlu pertimbangan adalah kontribusi serealia terutama beras, dalam menu makan masyarakat Indonesia mencapai 62% (Dahuri 2007). Porsi ini terlampau tinggi, karena dalam Pola Pangan Harapan, porsi konsumsi serealia maksimum adalah 51%. Berdasarkan hal tersebut, maka pengolahan pangan pokok alternatif berbasis aneka umbi dan buah sumber karbohidrat menjadi penting untuk dikembangkan. Salah satu komoditas sumber karbohidrat yang berasal dari buah yang potensial untuk dikembangkan adalah sukun.
Buah sukun (Artocarpus communis) merupakan komoditas sumber karbohidrat potensial, yang mempunyai berbagai nama daerah, yaitu sakon (Aceh), suku (Nias), amu (Gorontalo), suu uek (Rote), sukun (Jawa, Sunda, Bali), sunne (Seram) kuu (Sulawesi Utara), kundo (Alor), karata (Bima), kalara (Sawu), Bakara (Sulawesi Selatan) (Dasi dan Winamo 1992 dalam Mariska, dkk 2004; Ditjend PPHP 2003). Terdapat dua jenis sukun, yaitu sukun tanpa biji dan sukun dengan biji (Rincón, et.al., 2005). Di Indonesia, jenis pertama lebih populer dengan sebutan sukun yang diolah menjadi berbagai produk makanan, sedangkan sukun dengan biji lebih dikenal dengan sebutan kluwih dan biasanya dimanfatkan sebagai sayur.
Tanaman sukun berasal dari daerah New Guinea Pasifik yang kemudian dikembangkan didaerah Malaysia sampai ke Indonesia. Buah sukun berbentuk bulat agak lonjong seperti buah melon. Warna kulit buah hijau muda sampai kuning kecoklatan. Ketebalan kulit berkisar antara 1-2 mm. Buah muda permukaan kulit buahnya kasar dan nampak dipenuhi seperti duri agak tajam, lalu menjadi halus setelah buah tua. Tekstur buah saat mentah keras, dan menjadi lunak-masir setelah matang. Daging buah berwarna putih, putih kekuningan dan kuning, tergantung jenisnya (Gambar 1). Rasa buahnya saat mentah agak manis dan manis setelah matang, dengan aroma spesifik. Ukuran berat buah dapat mencapai 4 kg. Panjang tangkai buah, berkisar antara 2,5-12,5 cm tergantung varietas.
II. PERMASALAHAN
2.1. Penanganan Pascapanen
Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan buah-buahan dan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat jauh lebih kompleks dibandingkan dengan serealia (beras). Masalah utama yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, Harga per unit volume, bila dibandingkan dengan beras lebih rendah. Hal ini menyebabkan biaya penanganan, transportasi dan penyimpanan relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan beras.
Kedua, Buah-buahan dan umbi-umbian umumnya memiliki kadar air tinggi (60-80%), sehingga mudah rusak, dan biaya pengeringannya relatif mahal
Ketiga, Produksi buah-buahan dan umbi-umbian lebih banyak tergantung musim. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga sangat tinggi.
Keempat, Institusi pemasaran dan jasa penunjang bagi produk palawija, termasuk buah-buahan tidak sebaik yang tersedia pada beras.
2.2. Diversifikasi Pangan
Berdasarkan kandungan karbohidrat dan nilai gizinya, buah sukun dapat digunakan sebagai sumber pangan lokal. Dengan beberapa cara pengolahan, buah sukun dapat digunakan untuk menunjang ketahanan pangan. Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya yang tidak mudah dan cepat dinilai keberhasilannya. Perilaku konsumsi pangan yang sudah terpola pada masyarakat Indonesia tidaklah mudah diubah begitu saja. Usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan untuk menganekaragamkan makanan, khususnya dalam rangka mengurangi ketergantungan akan beras masih belum cukup. Sosialisasi dan pengenalan berbagai jenis pangan olahan perlu dilakukan secara terus menerus. Untuk menjaga kesinambungan penganekaragaman pangan non beras, perlu dikenalkan aneka olahan dari tepung-tepungan.
III. PRODUKSI DAN KONSUMSI SUKUN
3.1. Produksi
Produksi sukun di Indonesia terus meningkat dari 35.435 ton (tahun 2000) menjadi 92.014 ton (tahun 2007) dengan luas panen 13.359 ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Jambi (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007). Pengembangan tanaman sukun oleh Direktorat Jenderal Hortikultura seluas 380 ha (tahun 2003), saat ini sudah mulai panen. Untuk mengantisipasi melimpahnya sukun saat panen raya dan memperpanjang umur simpannya, maka perlu dilakukan upaya perbaikan mutu tepung sukun. Tepung sukun mengandung sekitar 80% karbohidrat dan energi 302 kalori/100 gram.
Produksi buah sukun dapat mencapai 50-150 buah/tanaman. Produktivitas tanaman tergantung daerah dan iklimnya. Paling sedikit setiap tanaman dapat menghasilkan 25 buah dengan rata-rata 200-300 buah per musim. Untuk setiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sukun sebanyak 16-32 ton. Budidaya tanaman sukun secara monokultur jarang dilakukan. Umumnya pohon sukun ditanam sebagai tanaman pinggiran, untuk penghalang angin, atau kadang – kadang sebagai pelindung tanaman kopi. Musim panen sukun biasanya dua kali setahun, yaitu bulan Januari – Pebruari dan Juli – September.
Pohon sukun tersebar luas diseluruh Indonesia, namun karena pemanfaatannya masih terbatas, catatan produksi belum mendapat perhatian. Biro Pusat Statistik belum melakukan pendataan sehingga untuk mendapatkan data riil ketersediaan di seluruh Indonesia tidak mudah.
3.2. Konsumsi
Buah sukun telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Di daerah Fiji, Tahiti, Hawai, Samoa dan kepulauan Sangir Talaut, sukun dimanfaatkan sebagai makanan tradisional dan makanan ringan. Cara memanfaatkannya dengan direbus, digoreng maupun dibakar, atau dimasak seperti kentang. Pemanfaatan sukun sebagai bahan pangan semakin penting, sejak pemerintah mulai melancarkan program diversifikasi pangan. Meski Indonesia pada tahun 1984 telah diakui badan pangan dunia mampu berswasembada beras, namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Dengan menurunnya produksi beras dan meningkatnya konsumsi beras per kapita (136 kg/kapita/tahun), sejak tahun 1990 an Indonesia tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan beras. Diharapkan swasembada beras yang dapat diraih lagi pada tahun ini dapat terus dipertahankan. Namun perlu diingat bahwa kita seyogyanya menurunkan porsi karbohidrat asal serealia (beras) hingga mencapai pola pangan harapan seperti diuraikan diatas.
Bobot buah sukun rata-rata 1.500 gram/buah, dengan bobot daging buah yang dapat dimakan sekitar 1.350 g. Konsumsi beras rata-rata perkapita untuk sekali makan sebanyak 150 g (= 117g karbohidrat, kadar karbohidrat beras sekitar 78%). Kandungan karbohidrat buah sukun 27% (Anonim 1992), berarti satu buah sukun dengan bobot daging 1.350g mengandung karbohidrat sebesar 365g. Jadi satu buah sukun dapat dikonsumsikan sebagai penggati beras untuk 3-4 orang. Pada tahun 2000 produksi buah sukun di Jawa Barat 1.446.100 kg atau kurang lebih sebanyak 964.067 buah. Bila setiap keluarga dalam sehari satu kali mengonsumsikan buah sukun sebagai pengganti beras, maka produksi sukun dalam setahun dapat dikonsumsikan oleh 3.792 jiwa. Ini setara dengan konsumsi beras 5.688 ton.
IV. KOMPOSISI KIMIA SUKUN
Buah sukun mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin cukup tinggi (Tabel 1). Setiap 100g buah sukun mengandung karbohidrat 27,12 g, kalsium 17 mg, vitamin C 29 mg, kalium 490 mg dan nilai energi 108 kalori (Tabel 2). Dibandingkan dengan beras, buah sukun mengandung mineral dan vitamin lebih lengkap tetapi nilai kalorinya rendah, sehingga dapat digunakan untuk makanan diet rendah kalori.
Tabel 1. Komposisi kimia buah sukun per 100 g bahan.
Nutrisi | Mineral | Vitamin | Lemak | Asam Amino |
Air 70,65 g Energi 103 cal Total lemak 1,07 g Karbohidrat 27,12 g Serat 4,9 g Ampas 0,93 g | Kalisium (Ca) 17 mg Besi (Fe) 0,54 mg Magnesium (Mg) 25 mg Potasium (K) 490 mg Seng (Zn) 0,12 mg Tembaga (Cu) 0,084 mg Mangan (Mn) 0,06 mg Selenium 0,6 mg | Vit C 29 mg Thiamin 0,11 mg Riboflamin 0,03 mg Niacin 0,9 mg As. Pantothenic 0,457mg Vit. B6 0,1 mg Folate 14 mcg Vit B12 0 mcg Vit a 40 Iu Vit A RE 4 mcg RE Vit E 1.12 mg ATE | Asam lemak jenuh Unsaturated 0,048 g Asam lemak tak jenuh Monounsaturated 0,034 g Asam lemak tak jenuh polyunsaturated 0,066 g | Theonine 0,052 g Isoleucine 0,064 g Lysine 0,037 g Methionine 0,01 g Cystine 0,009 g Phenylalanine 0,026 g Tyrosine 0,019 g Valine 0,047 g |
Tabel 2. Kandungan vitamin dan mineral sukun, beras, jagung, singkong, ubijalar
Komposisi Per 100 g | Sukun Muda | Sukun Tua | Tepung Sukun | Jagung kuning | Sing-kong | Beras giling | Terigu | Ubi merah | Kentang Hitam |
Energi (kal) Air (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) | 46 87,1 2,0 0,7 9,2 2,2 1,0 59 46 - 0,12 0,06 21 | 108 69,3 1,3 0,3 28,2 - 0,9 21 59 0,4 0,12 0,06 17 | 302 15 3,6 0,8 78,9 - 2 58,8 165,2 1,1 0,34 0,17 47,6 | 317 24.0 7,9 3,4 63,6 - - 9 148 2,1 264 0,33 0 | 158 60 0,8 0,3 37,9 - - 33 40 0,7 230 0,06 0 | 349 13,0 6.8 0,7 78.9 - - 10 140 0,8 0,12 0 0 | 357 12 8,9 1,3 77,3 - - 16 106 1,2 0 0,12 0 | 125 68,5 1,8 0,7 27,9 - - 49 0,7 0,7 2310 0,09 20 | 142 64,0 0,9 0,4 33,7 - - 34,0 75,0 0,2 0 0,02 38 |
V. POTENSI SUKUN SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL
Sekitar 2500 tahun yang lalu, Hipocrates mengungkapkan makanlah makanan karena dia obat dan obat itu terkandung dalam makanan (Hasler 1998). Pada tahun 1980 an istilah pangan fungsional diperkenalkan di Jepang. Pangan fungsional ialah suatu bahan pangan yang apabila dikonsumsi akan menyehatkan badan karena mengandung zat gizi atau komponen bioaktif, baik adanya secara alami maupun ditambahkan. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya banyak sekali potensi pangan alami kita yang perlu digali pemanfaatan dan fungsinya secara lebih mendalam.
Buah-buahan dan sayuran merupakan bahan pangan yang mempunyai indeks glikemik (IG) rendah, yaitu 23-70 (Marsono, dkk 2002). Bahan pangan yang mempunyai IG rendah berperan membantu mengendalikan kadar gula darah pada tingkat aman. Buah-buahan diketahui mengandung komponen bioaktif yang dapat digunakan untuk berbagai pencegahan dan pengobatan penyakit kronis, termasuk diabetes mellitus (DM). Komponen bioaktif buah-buahan yang diduga mempunyai aktivitas hipoglikemik antara lain: alkaloid, glikosida, galaktomanan, polisakarida, peptidoglikan, glikopeptida, terpenoid, asam-asam amino, dan ion an-organik (Jachak 2002; Grover, dkk 2002).
Dalam falsafah penyembuhan tradisional, salah satu sumber yang dianut dalam mencari bahan obat-obatan antara lain, mencari lawannya. DM berkaitan dengan keberadaan gula, atau rasa manis, maka bahan alam yang dicoba untuk diekstrak yang mempunyai kecenderungan pahit. Salah satu yang secara empiris digunakan di masyarakat ialah buah pare. Selain itu, beberapa jenis buah yang diduga mempunyai IG rendah juga perlu dipelajari lebih lanjut. Berdasarkan asumsi tersebut maka jenis buah-buahan yang diduga potensial menurunkan gula darah yaitu: Pare (Momordica charanthia), Mangga (Mangifera indica), Arbei (Fragaria vesca), Bengkuang (Pachyrrhi-userosus), Labu kuning (Cucurbita moschata), Salak (Zalacca edulis), Sukun (Artocarpus communis), Pala (Myristica fragrana), Jambu biji (Psidium guajava), Belimbing (Averrhoa balimbi), Mengkudu (Morinda citrifolia), Jambu mete (Anacardium occidentale) dan Sawo (Achras zapota).
Sukun mengandung senyawa aktif alkaloid dan saponin. Alkaloid dan saponin merupakan senyawa kimia aktif yang banyak digunakan dalam pengobatan. Sukun secara empiris digunakan sebagai obat menekan asam urat. Pemberian ekstrak buah sukun dosis sedang yaitu 1,08 g/200 g bobot badan tikus dapat menurunkan kadar asam urat darah sampai 0,925 mg/dl, selanjutnya diikuti oleh dosis rendah 0,54 g/200 g bobot badan tikus menurunkan asam urat sampai 0,66 mg/dl dan dosis tinggi yaitu 2,16 g/200 g bobot badan (bb) tikus dapat menurunkan asam urat sampai 0,3 mg/dl. Bila dibandingkan dengan pembanding (kontrol positif) yaitu allopurinol dengan dosis 5,4 mg/200 bb tikus dapat menurunkan asam urat sampai 2 mg/dl, berarti kemampuan ekstrak buah sukun untuk menanggulangi masalah asam urat lebih kecil dibanding dengan obat sintetis yang mengandung bahan aktif allopurinol. Hal ini berarti bahwa ekstrak buah sukun berkasiat untuk menurunkan asam urat darah walaupun daya kerjanya tidak sekuat allopurinol.
VI. PENGOLAHAN PRODUK SETENGAH JADI
Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air tinggi, seperti aneka buah dan umbi. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi ini yaitu, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, awet serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi ini mencakup teknik pembuatan sawut/ chip/granula/grits, teknik pembuatan tepung, teknik separasi atau ekstraksi dll. Pada tulisan ini hanya akan diuraikan tentang teknologi pembuatan tepung, khususnya tepung sukun.
6.1. Teknologi Produksi Tepung
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama bahan pangan yang mudah menjadi coklat apabila dikupas dan kedua bahan pangan yang tidak mudah menjadi coklat.
Pada umumnya buah-buahan dan umbi-umbian mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (browning enzymatic). Pencoklatan karena enzim merupakan reaksi antara oksigen dan suatu senyawa phenol yang dikatalisis oleh polyphenol oksidase.
Untuk menghindari terbentuknya warna coklat pada bahan pangan yang akan dibuat tepung dapat dilakukan dengan mencegah sesedikit mungkin kontak antara bahan yang telah dikupas dan udara dengan cara merendam dalam air (atau larutan garam 1% dan/atau menginaktifkan enzim dalam proses blansir) (Widowati dan Damardjati 2001). Proses pembuatan tepung sukun dapat dilihat pada Gambar 2.
6.2. Karakteristik Tepung Sukun
Berdasarkan kadar karbohidrat yang cukup tinggi (27,12%), buah sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung. Pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan olahan dapat mensubtitusi penggunaan terigu sampai 50 hingga 100% tergantung jenis produknya.
Kendala dalam pembuatan tepung sukun ialah terjadinya warna coklat saat diproses menjadi tepung. Untuk menghindari terbentuknya warna coklat pada tepung yang dihasilkan, usahakan sesedikit mungkin terjadinya kontak antara bahan dengan udara. Caranya yaitu dengan merendam buah yang telah dikupas dalam air bersih, dan menonaktifkan enzim dengan cara diblansir yaitu dikukus. Lama pengkukusan tergantung jumlah bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan. Semakin tua buah semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum, (Widowati, dkk 2001).
Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung sukun
Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 g/buah, rendemen daging buah 81,21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan menghasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 – 20% dan menghasilkan rendemen tepung sebesar 10 – 18%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun. Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering sederhana berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60oC. Bila pengeringan dengan sinar matahari lama pengeringan tergantung cuaca. Pada udara yang cerah, lama pengeringan sekitar 1 – 2 hari.
Tabel 3. Rendemen produk tepung sukun
Komponen yang diamati | Rendemen |
Berat sukun kotor Daging buah Kulit buah Hati buah Chip/sawut kering Tepung | 1200-2000 g 81,21% 18,79% 9,09% 11,01% 10,70% |
Gambar 3.Tepung sukun
Jenis sukun yang tumbuh di Indonesia beranekaragam, dan jenis sukun berpengaruh terhadap sifat tepung yang dihasilkan. Kadar amilosa tepung sukun antara 11-17% menunjukkan tekstur produk olahannya sangat pulen seperti sukun Bone, sukun Cilacap, sukun Kediri, sukun Sukabumi dan sukun Pulau Seribu, sedangkan yang berkadar amilosa 17 – 20% menghasilkan produk olahan pulen seperti sukun Kulon Progo dan sukun Purworejo. Kadar gula total pada sukun antara 0,21 – 0,32%. Kandungan pektin sukun Cilacap, Sukabumi dan Kediri cukup tinggi yaitu sekitar 20%, sedangkan sukun Kulonprogo, Pulau Seribu, Bone dan Purworejo kandungan pektinnya rendah (10%). Sukun Bone mengandung vitamin A (64 IU) dan vitamin C (9 mg/100 mg) tertinggi dibanding sukun lainnya (Suismono dan Suyanti 2008).
Viskositas puncak pada tepung sukun lebih dari 1000 BU berarti mem-punyai daya mengembang lebih mekar dibanding terigu. Semakin tua tingkat kematangan akan meningkatkan viskositas puncak karena kadar patinya meningkat.
Tabel 4. Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan.
Komoditas | Kadar (%) | ||||
Air | Abu | Protein | Lemak | Karbohidrat | |
Pisang Sukun Labu kuning Haddise Ubikayu Ubijalar | 10,11 9,09 11,14 9,32 7,80 7,80 | 2,66 2,83 5,89 6,62 2,22 2,16 | 3,05 3,64 5,04 2,67 1,60 2,16 | 0,28 0,41 0,08 0,08 0,51 0,83 | 84,01 84,03 77,65 81,32 87,87 86,95 |
VII. PENUTUP
berdasarkan kandungan nutrisinya, buah sukun mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai salah satu makanan pokok pendamping beras. Kandungan vitamin dan mineral buah sukun lebih lengkap dibandingkan dengan beras, namun kalorinya lebih rendah. Hal ini mempunyai keuntungan tersendiri, yaitu dapat digunakan sebagai makanan diet. Untuk golongan masyarakat tertentu yang menginginkan diet makanan kalori rendah dapat memilih buah sukun dalam menu sehari-hari.
Untuk mengatasi kelemahan sifat umum buah-buahan segar, serta mengantisipasi ketersediaan yang lumintu, maka bentuk tepung sangat dianjurkan. Dalam bentuk tepung, sukun akan menjadi lebih awet, menghemat beaya transportasi dan penyimpanan, nilai ekonominya lebih tinggi dan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan aneka produk pangan.
Pengembangan agroindustri aneka tepung di pedesaan (sentra bahan baku) diharapkan dapat meningkatkan bargaining position petani, mengubah pola petik-jual menjadi petik-olah-jual, meningkatkan peluang kerja dan pendapatan masyarakat, mengurangi laju urbanisasi karena tersedia lapangan kerja di desa, bahkan dimungkinkan terjadi aliran dana berbalik dari kota ke desa. Dalam bentuk tepung, sukun dapat diolah menjadi aneka produk makananyang tidak kalah dengan produk olahan berbasis tepung beras ataupun terigu (Gambar 4). dan sekian itulah artikel PROSPEK SUKUN (ARTOCARPUS COMMUNIS) sebagai pangan sumber karbohidrat terimakasih ^_^
Tweet
Follow @kackdir