728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
 
PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005


TENTANG

PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER
UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERTANIAN,


Menimbang :
a. bahwa untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka mewujudkan kesehatan dan ketenteraman batin masyarakat, setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi pangan asal hewan;
b. bahwa bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi perlu diberi sertifikat kontrol veteriner;
c. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan untuk melaksanakan ketentuan keamanan, mutu, dan gizi pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, dipandang perlu menetapkan Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Pada Unit Usaha Pangan Asal Hewan dalam Peraturan Menteri Pertanian;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan lembaran Negara Nomor 3982);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);
8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
9. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia;
10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara Republik Indonesia;
11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/ TN.240/9/1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Ijin Usaha Pemotongan Hewan;
12. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 557/Kpts/ TN.520/9/1987 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Ijin Usaha Pemotongan Unggas;
13. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/ TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya;
14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/ TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya;
15. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 745/Kpts/ TN.240/12/1992 tentang Persyaratan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri;
16. Keputusan Menteri Pertanian No.306/Kpts/TN.330/ 4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya;
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/ Kp.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian.

Memperhatikan :
Terrestrial Animal Health Code 2004 Office Internationale des Epizooties (OIE) yang mengatur pelaksanaan ekspor-impor pangan asal hewan antar negara.


MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan.
2. Higiene adalah segala upaya yang berhubungan dengan masalah kesehatan, serta berbagai usaha untuk mempertahankan atau untuk memperbaiki kesehatan.
3. Sanitasi pangan asal hewan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan asal hewan dan membahayakan kesehatan manusia.
4. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap unit usaha pangan asal hewan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
5. Kesehatan Masyarakat Veteriner selanjutnya disingkat Kesmavet adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
6. Pangan Asal Hewan adalah pangan yang berasal dari hewan berupa daging, susu dan telur.
7. Unit Usaha Pangan Asal Hewan adalah unit usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat untuk tujuan komersial yang meliputi Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan/pengeluaran, distributor, ritel, dan atau pengolahan pangan asal hewan.
8. Rumah Pemotongan Hewan yang selanjutnya disingkat RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat.
9. Rumah Pemotongan Unggas yang selanjutnya disingkat RPU adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat.
10. Usaha Pemasukan (importir) Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang kegiatannya melakukan pemasukan pangan asal hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
11. Usaha Pengeluaran (eksportir) Pangan Asal Hewan adalah usaha yang kegiatannya melakukan pengeluaran pangan asal hewan ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
12. Usaha Distribusi Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang kegiatannya mengumpulkan pangan asal hewan untuk selanjutnya dijual kepada usaha ritel dan atau usaha pengolahan pangan asal hewan.
13. Usaha Ritel (pengecer) Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang kegiatannya menjual pangan asal hewan kepada konsumen umum.
14. Usaha Pengolahan Pangan Asal Hewan adalah suatu usaha yang kegiatannya melakukan pengolahan pangan asal hewan dengan cara pemanasan (perebusan, pengasapan, penggorengan, pasteurisasi), fermentasi, dengan atau tanpa penambahan bahan pengawet.
15. Dinas Propinsi adalah unit kerja propinsi yang membidangi fungsi Kesmavet.
16. Dinas Kabupaten/Kota adalah unit kerja kabupaten/kota yang membidangi fungsi Kesmavet.
17. Pengawas Kesmavet adalah dokter hewan atau tenaga paramedik pemerintah yang telah mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat pengawas kesmavet serta ditunjuk oleh Kepala Dinas Propinsi atas nama Gubernur atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota untuk melaksanakan pengawasan Kesmavet.
18. Dokter Hewan Penanggung Jawab Kesmavet adalah dokter hewan yang diserahi tugas sebagai penanggung jawab keamanan dan mutu di unit usaha pangan asal hewan termasuk pemeriksaan antemortem dan postmortem di RPH/RPU.
19. Auditor NKV adalah petugas pemerintah dengan latar belakang pendidikan dokter hewan, sarjana peternakan, sarjana lain di bidang pangan dan gizi atau paramedik veteriner yang telah mengikuti pelatihan auditor NKV dan memiliki sertifikat auditor NKV.
20. Surveilans adalah kegiatan audit berkala oleh Tim Auditor Dinas Propinsi yang dilakukan berdasarkan hasil keterangan audit dan atau audit sewaktu-waktu oleh Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan.
21. Verifikasi adalah evaluasi metode, sistem, prosedur, pengujian dan penilaian penerapan higiene-sanitasi yang dilaksanakan oleh Dinas Propinsi pada unit usaha pangan asal hewan.


Pasal 2


(1) Peraturan ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman:
a. bagi Pengawas Kesmavet untuk menyelenggarakan pengawasan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar sistem jaminan keamanan dan mutu pangan;
b. bagi pelaku usaha di bidang pangan asal hewan dalam menerapkan higiene- sanitasi sebagai persyaratan kelayakan dasar sistem jaminan keamanan dan mutu pangan.

(2) Peraturan ini bertujuan untuk:
a. mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal;
b. mewujudkan jaminan pangan asal hewan yang aman, sehat, dan utuh untuk pangan asal babi.


Pasal 3


Ruang lingkup Peraturan ini meliputi pelaku usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV, persyaratan untuk memperoleh NKV, tata cara memperoleh NKV, kewajiban pencantuman NKV, masa berlaku, perubahan dan pencabutan NKV, pembinaan, serta pengawasan.

BAB II
PELAKU USAHA PANGAN ASAL HEWAN YANG WAJIB MEMILIKI NKV

Pasal 4


(1) Pelaku usaha pangan asal hewan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang berusaha di bidang:
a. Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan Babi;
b. Usaha budidaya unggas petelur;
c. Usaha pemasukan, usaha pengeluaran;
d. Usaha distribusi;
e. Usaha ritel; dan atau
f. Usaha pengolahan pangan asal hewan.

(2) Pelaku usaha distribusi dan atau usaha ritel pangan asal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d meliputi:
a. pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin (cold storage), dan toko/kios daging (meat shop);
b. pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu (milk cooling centre), dan gudang pendingin susu;
c. pelaku usaha yang mengemas dan melabel telur.

Pasal 5

(1) Setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memiliki NKV.
(2) Untuk mendapatkan NKV, unit usaha pangan asal hewan harus memenuhi persyaratan higiene-sanitasi.
(3) NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap manajemen usaha secara keseluruhan, meliputi prasarana dan sarana, personil, serta cara produksi dan penanganan.
(4) Terhadap penambahan sarana usaha baru untuk kegiatan usaha sejenis yang berada dalam lokasi yang sama diberikan NKV perubahan terhadap NKV yang sudah dimiliki.
(5) Terhadap penambahan sarana usaha baru untuk kegiatan usaha sejenis di lokasi yang berbeda diwajibkan untuk memiliki NKV baru.


BAB III
PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH NKV


Pasal 6

(1) Untuk memperoleh NKV, setiap pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memiliki Kartu Tanda Penduduk/Akte Pendirian;
b. memiliki Surat Keterangan Domisili;
c. memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
e. memiliki Surat Izin HO (Hinder Ordonnantie)
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya Pengendalian Lingkungan (UPL) yang khusus dipersyaratkan bagi unit usaha RPH, RPU, dan Unit Pengolahan Pangan Asal Hewan;
b. memiliki bangunan, prasarana dan sarana usaha yang memenuhi persyaratan teknis higiene-sanitasi;
c. memiliki tenaga kerja teknis dan atau penanggung jawab teknis yang mempunyai keahlian/keterampilan di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner;
d. menerapkan proses penanganan dan atau pengolahan yang higienis (Good Hygienic Practices);
e. menerapkan cara budidaya unggas petelur yang baik (Good Farming Practices).

Pasal 7

Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, untuk usaha Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, dan Rumah Pemotongan Babi yang akan melakukan kegiatan usaha pengeluaran daging dan atau produk olahannya wajib memenuhi persyaratan teknis sesuai ketentuan SNI RPH (SNI 01-6159-1999) dan SNI RPU (SNI 01-6160-1999).


BAB IV
TATA CARA MEMPEROLEH NKV


Pasal 8

Setiap pelaku usaha yang wajib memiliki NKV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan melampirkan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.


Pasal 9

(1) Kepala Dinas Propinsi setelah menerima permohonan NKV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 secara lengkap, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut telah selesai melakukan pemeriksaan persyaratan.
(2) Apabila permohonan belum memenuhi persyaratan, kepada pemohon diminta untuk melengkapi kekurangan persyaratan yang dimaksud.
(3) Apabila permohonan sudah memenuhi persyaratan, Kepala Dinas Propinsi memberitahukan kepada pemohon bahwa akan dilakukan penilaian di unit usaha dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak terpenuhinya persyaratan dimaksud.


Pasal 10


(1) Penilaian pemenuhan persyaratan unit usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (3) dilakukan oleh Tim Auditor NKV yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Propinsi atas nama Gubernur.

(2) Tim Auditor NKV terdiri dari 1 (satu) orang Ketua yang berpendidikan dokter hewan dan 2 (dua) orang Anggota.
(3) Tim Auditor mempunyai tugas:
a. menilai pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi suatu unit usaha pangan asal hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dan menggunakan daftar penilaian (audit chek list) sebagaimana tercantum pada Lampiran-I Peraturan ini.
b. melaporkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam pada huruf a berikut rekomendasi hasil penilaian kepada Kepala Dinas Propinsi paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal penugasan.
(4) Berdasarkan rekomendasi Tim Auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b), Kepala Dinas Propinsi dapat menyetujui atau menunda penerbitan NKV sampai dipenuhinya tindakan koreksi dimaksud oleh pemohon, atau menolak penerbitan NKV.
(5) Dalam hal telah disetujui atau telah dipenuhinya tindakan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Dinas Propinsi paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja menerbitkan NKV dalam bentuk sertifikat seperti contoh dalam Lampiran-II dan keterangan hasil penilaian seperti contoh dalam Lampiran III kepada pelaku usaha.
(6) Dalam hal penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Dinas Propinsi paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja menolak penerbitan NKV dengan disertai alasan penolakan.
(7) Kepala Dinas Propinsi menyampaikan foto copy sertifikat dan keterangan hasil penilaian kepada Direktur Jenderal Peternakan, paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah penerbitan NKV.

BAB V
KEWAJIBAN PENCANTUMAN NKV

Pasal 11

(1) Setiap pelaku usaha yang telah memperoleh NKV wajib mencantumkan nomor yang tercantum pada NKV tersebut:
a. untuk daging diberikan stempel pada daging dan atau label pada kemasannya;
b. untuk telur diberikan stempel pada kerabang dan atau label pada kemasannya;
c. untuk susu diberikan label pada kemasannya.

(2) Penulisan NKV terdiri dari rangkaian angka yang menunjukkan jenis, lokasi dan nomor urut registrasi unit usaha bersangkutan.

(3) Tata cara penulisan NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti tercantum pada Lampiran-IV Peraturan ini.


BAB VI
MASA BERLAKU, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NKV


Pasal 12


NKV berlaku untuk jangka waktu selama unit usaha melakukan kegiatan proses produksi, penanganan dan atau pengolahan sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.


Pasal 13


(1) Perubahan NKV dilakukan apabila terjadi perubahan pengelola usaha dan nama unit usaha.
(2) Perubahan lokasi tempat usaha sepanjang masih berada dalam wilayah propinsi yang sama wajib memperoleh NKV baru.
(3) Perubahan NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembaruan NKV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan permohonan pengelola unit usaha kepada Kepala Dinas Propinsi dan selanjutnya diproses sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 14

NKV dapat dicabut oleh Kepala Dinas Propinsi dalam hal:
a. permintaan pemohon;
b. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
c. ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan proses produksi, penanganan dan atau pengolahan;
d. unit usaha tidak lagi melakukan kegiatan usahanya selama 6 (enam) bulan berturut-turut;
e. unit usaha dinyatakan pailit;
f. berpindahnya lokasi unit usaha ke wilayah propinsi yang berbeda;
g. adanya rekomendasi dari Direktur Jenderal Peternakan berdasarkan hasil verifikasi dan surveilans Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan.


Pasal 15

(1) Pencabutan NKV dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 14 huruf b, huruf c, dan huruf d dilakukan setelah diberi peringatan tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut selang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada laporan tertulis yang dibuat oleh Tim Auditor yang melakukan surveilans.
(3) Pencabutan NKV dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah peringatan tertulis terakhir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pencabutan NKV dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf g dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diberi peringatan tertulis .
(5) Unit usaha yang dicabut NKV nya diumumkan dalam media massa.

Pasal 16


Pengelola unit usaha pangan asal hewan yang akan memindahkan kegiatan usahanya ke wilayah propinsi yang berbeda wajib menyerahkan NKVnya kepada Kepala Dinas Propinsi setempat dan wajib memperoleh NKV baru dari Kepala Dinas Propinsi di tempat yang baru.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 17


(1) Terhadap pelaku usaha yang belum dapat diberikan NKV dilakukan pembinaan paling lama 5 (lima) tahun oleh Dinas Kabupaten/Kota sampai terpenuhinya persyaratan higiene-sanitasi, selanjutnya wajib memiliki NKV.
(2) Dinas Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan mengikuti ketentuan dalam Pedoman Pembinaan seperti tercantum pada Lampiran - IV Peraturan ini.


BAB VIII
PENGAWASAN

Pasal 18


Pengawasan terhadap penerapan NKV dilakukan melalui sistem pelaporan, surveilans dan verifikasi.

Pasal 19

(1) Dalam rangka surveilans, Tim Auditor Propinsi melakukan pemeriksaan penerapan NKV dan melaporkan hasil surveilans beserta saran kepada Kepala Dinas Propinsi.
(2) Berdasarkan laporan hasil surveilans, Kepala Dinas Propinsi :
a. dalam hal terjadi penyimpangan terhadap penerapan NKV, memberikan peringatan dan atau pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
b. dalam hal terjadi pemindahan lokasi unit usaha di wilayah propinsi yang sama, melakukan perubahan NKV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2);
c. dalam hal terjadi pemindahan lokasi unit usaha ke wilayah propinsi yang berbeda, melakukan pencabutan NKV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Pasal 20

(1) Dalam rangka menjamin penerapan sertifikasi NKV yang baik, Dinas Propinsi melakukan surveilans dan evaluasi.
(2) Dalam rangka menjamin penerapan sistem NKV yang baik, Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan melakukan verifikasi terhadap penerapan sertifikasi NKV oleh Dinas Propinsi, dan melaporkan hasil verifikasi kepada Direktur Jenderal Peternakan.
(3) Berdasarkan laporan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Peternakan meminta Kepala Dinas Propinsi untuk melakukan tindakan koreksi terhadap ketidaksesuaian penerapan pelaksanaan sertifikasi NKV.
(4) Pelaksanaan verifikasi oleh Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan dapat dilakukan pada unit usaha pangan asal hewan bersama dengan Tim Auditor Propinsi.
(5) Apabila hasil surveilans dan verifikasi pada unit usaha pangan asal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang menyebabkan produk menjadi sangat berisiko terhadap keamanan pangan, maka Direktur Jenderal Peternakan merekomendasikan kepada Kepala Dinas Propinsi untuk mencabut NKV unit usaha dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g.
(6) Apabila ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disebabkan oleh adanya kelalaian dari Tim Auditor Propinsi, maka Direktur Jenderal Peternakan merekomendasikan kepada Kepala Dinas Propinsi untuk memberikan sanksi kepada Tim Auditor Propinsi bersangkutan.


Pasal 21


Apabila unit usaha pangan asal hewan bermaksud melakukan usaha pengeluaran, Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan dapat melakukan verifikasi dalam rangka harmonisasi standar jaminan keamanan pangan asal hewan di tingkat regional maupun internasional.



BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22

NKV yang telah diberikan oleh Direktur Jenderal Peternakan wajib diperbarui mengikuti ketentuan Peraturan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan.


Pasal 23

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 19 Oktober 2005

MENTERI PERTANIAN,

ttd.

ANTON APRIYANTONO

Salinan Peraturan ini disampaikan Kepada Yth.:
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Kesehatan;
4. Menteri Perindustrian;
5. Menteri Perdagangan;
6. Kepala Badan POM;
7. Gubernur Propinsi Seluruh Indonesia;
8. Bupati/Walikota Seluruh Indonesia.




DAFTAR LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005
TANGGAL : 19 Oktober 2005
TENTANG : PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

DAFTAR LAMPIRAN
NO. NAMA DOKUMEN KETERANGAN
I


II


III


IV


V

Pedoman Penilaian Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan

Format Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan

Format Keterangan Hasil Penilaian


Tata Cara Penulisan Nomor Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan

Pedoman Pembinaan Teknis Higiene-Sanitasi Unit Usaha Pangan Asal Hewan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 19 Oktober 2005

MENTERI PERTANIAN,
ttd.
ANTON APRIYANTONO
Rating: 5 Reviewer: Info Petani - ItemReviewed: PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER - 9756people
Info Petani -
ASEAN SEOM 3/37 di Yangon
The Third Meeting of the ASEAN Senior Economic Officials of the Thirty-Seventh ASEAN Economic Ministers Meeting (SEOM 3/37)
Yangon、19-21 Juni 2006


UMUM

1. The Third Meeting of the ASEAN Senior Economic Officials of the Thirty-Seventh ASEAN Economic Ministers Meeting (SEOM 3/37) diselenggarakan di Yangon, Myanmar. Sidang ini dipimpin oleh Mr. Bounsom Phommavihane, SEOM Leader of Lao PDR, serta dihadiri oleh delegasi dari seluruh negara anggota ASEAN dan Sekretariat ASEAN.

2. Delegasi Indonesia diketuai oleh Herry Soetanto, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan, dengan anggota terdiri unsur-unsur dari Departemen Perdagangan, Kantor MENKO Bidang Perekonomian, Badan Standardisasi Nasional (BSN), BKPM, Departemen Pertanian, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan dan Departemen Perindustrian dan KBRI di Yangon.

3. Berbagai isu penting telah dibahas pada sidang tersebut yaitu (i) pembahasan “Follow-up to the ASEAN Economic Ministers’ Retreat, 15 May 2006, Makaty City, Philippines”, terkait dengan akselerasi ASEAN Economic Community (AEC) dari tahun 2020 menjadi tahun 2015; review atas berbagai komite di bawah SEOM; masukan AEM kepada Eminent Persons Group (EPG) mengenai AEC; persiapan pertemuan ‘Informal East Asia Economic Ministers’ pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur; serta pembahasan isu terkait dengan negosiasi di bidang jasa dan investasi dengan mitra dialog; (ii) pembahasan “Follow-up to the Decisions of SEOM 2/37, 20-22 March 2006, Kuala Lumpur, Malaysia, antara lain terkait dengan hasil COPS II dan tindak lanjutnya; (iii) pembahasan berbagai isu penting dalam pelaksanaan CEPT AFTA; (iv) pembahasan berbagai isu penting terkait dengan Mitra Dialogue; dan (v) persiapan ‘the 38th ASEAN Economic Ministers’ Meeting’ bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, dan persiapan ‘the 12th ASEAN Summit’ bulan Desember 2006 di Cebu, Filipina.


POKOK-POKOK HASIL SIDANG

4. Memperhatikan pembicaraan akselerasi AEC dari 2020 menjadi 2015 dalam pertemuan AEM Retreat bulan Mei di Manila yang lalu, khususnya terhadap tingkat kemajuan yang dicapai dalam upaya integrasi di bidang perdagangan barang, jasa dan investasi, SEOM sepakat untuk mengadakan ‘brainstorming’ pada saat pertemuan Special SEOM di Jakarta, tanggal 3-7 Juli 2006 yang akan datang. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata dan langkah-langkah yang bersifat ‘coherent’ dalam upaya pencapaian percepatan integrasi ekonomi, termasuk percepatan integrasi di sektor-sektor prioritas ASEAN.

5. Dalam upaya perampingan dan efektitas kegiatan dari berbagai Komite/ Kelompok Kerja ASEAN di bawah naungan SEOM, telah disepakati bahwa proliferasi Kelompok Kerja di bidang standard hanya bersifat ‘Ad Hoc’ dan efektitas kerjasama dibidang industri hendaknya bisa ditingkatkan dengan cakupan kegiatan yang lebih luas selain kerjasama AICO yang selama ini dilakukan. Sedangkan tentang usulan pengalihan kegiatan perdagangan jasa di bidang ‘Maritim’ kepada STOM (Senior Transport Official Meeting), SEOM sepakat bahwa hendaknya hal ini tetap ditangani oleh CCS (Coordinating Committee on Services) sejalan dengan program liberalisasi ASEAN di bidang perdagangan jasa termasuk ‘jasa maritim’ ketimbang apabila hal ini ditangani STOM yang banyak berorientasi kepada pengaturan/ regulasi.
SEOM menugaskan Sekretariat ASEAN untuk mengkaji ulang dan menyempurnakan TOR dari SEOM dan komite-komite dibawahnya (CCCA, CCS dan CCI) karena beban yang semakin bertambah dalam penanganan FTA/CEP dengan mitra dialog. Usulan ASEAN untuk pembentukan Komisi FTA secara aklamasi tidak bias diterima. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar dari semakin banyaknya hal yang harus ditangani, maka diusulkan untuk memperkuat peran dari komite-komite tersebut.

6. SEOM telah membicarakan kemungkinan inputs AEM kepada EPG tentang AEC dengan memperhatikan aspek ‘competitiveness’ dan peran sentral ASEAN dalam pelaksanaan inisiatif-inisiatif ASEAN di bidang ekonomi, serta kemungkinan integrasi ekonomi ASEAN setelah 2020. Inputs ini juga termasuk pandangan-pandangan AEM dalam pertemuan Retreat yang lalu, seperti kemungkinan terbentuknya ‘Common Market’. Disepakati pula bahwa pembicaraan tentang hal ini akan dilakukan pada saat ‘brainstorming’ di Jakarta pada saat Special SEOM tanggal 3-7 Juli 2006 yang akan datang, sehingga hasil pembicaraan ini bisa disampaikan dalam AEM-38 di Kuala Lumpur bulan Agustus 2006. Disamping itu, SEOM mencatat keinginan EPG untuk bertemu dengan AEM pada saat pertemuan AEM-38.

7. Untuk mempersiapkan pembicaraan dalam pertemuan informal ‘East Asia Economic Ministers’ bulan Agustus 2006, SEOM berpandangan bahwa upaya integrasi ekonomi di kawasan ‘East Asia’ hendaknya didahului dengan ‘kerjasama ekonomi’ sebelum pembicaraan menuju FTA, antara lain dengan titik berat kepada upaya ‘building confidence’ di ASEAN dan sekaligus menjadikan pentingnya peran sentral ASEAN di kawasan ‘East Asia’.

8. SEOM telah membicarakan ‘guiding principles’ untuk perundingan FTA di bidang perdagangan jasa dan investasi dengan sejumlah Mitra Dialogue, yang antara lain mencakup aspek-aspek ‘comprehensiveness & substantially all trade’; timeframe; Special & Differential Treatment (S&D); Technical & Economic Cooperation. Sementara itu, SEOM mencatat mengenai belum adanya kesamaan pandangan ASEAN terhadap isu ‘Substantive Business Operation (SBO)’ dan ‘Portfolio Investment’.

9. Menindak lanjuti hasil pertemuan COPS II di Jakarta tanggal 12-13 Juni 2006 yang lalu, khususnya dalam pelaksanaan integrasi sektor-sektor prioritas ASEAN termasuk Logistics, SEOM sepakat untuk mengundang seluruh ‘Implementing Bodies’ terkait dalam pertemuan Special SEOM tanggal 3-7 Juli 2006 di Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar mereka bisa memberikan pandangannya terhadap kebijakan-kebijakan terkait dari masing-masing Roadmap dalam upaya finalisasi Phase 2 Roadmap sektor-sektor prioritas ASEAN tersebut. Protocol Phase 2 dari masing-masing Roadmap diperkirakan baru bisa ditanda tangani para Menteri Ekonomi ASEAN pada saat pertemuan ASEAN Summit di Cebu, bulan Desember 2006 yang akan datang.
SEOM juga sepakat bahwa “legal enactment” untuk Phase-2 dari Priority Integration Sectors (PIS) dapat diterbitkan oleh masing-masing Negara paling lambat 31 maret 2007, dengan ketentuan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2007, menyusul “legal enactment” untuk Phase-1 yang harus diterbitkan selambat-lambatnya tanngal 31 Desember 2006 untuk diimplementasikan mulai tanggal 1 Januari 2007. Namun demikian, diberikan kesempatan untuk hanya mengeluarkan satu legal enactment untuk Phase-1 dan Phase-2 sekaligus, karena Phase-2 merupakan ‘updating’ dari Phase-1.

10. SEOM telah menyoroti sejumlah isu yang menjadi ganjalan dalam pelaksanaan CEPT AFTA, antara lain tentang program kerja penghapusan NTBs yang dimulai tahun 2008/2010, dimana seluruh anggota ASEAN telah dapat menyetujuinya kecuali Philipina yang masih menganggap bahwa di tahun 2010 adalah pengesahan daftar NTBs yang akan dihapus. Dalam hal ini, pertemuan telah meminta Philipina untuk bisa mempergunakan ‘fleksibilitas’ yang tersedia dalam program penghapusan NTBs untuk bisa dipertimbangkan para Menteri Ekonomi ASEAN dalam pertemuannya di Kuala Lumpur yang akan datang.

Pada kesempatan SEOM ini disajikan dan dibahas hasil studi oleh konsultan mengenai perkembangan komitmen ASEAN dalam perdagangan di bidang jasa dalam kerangka ‘ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)’. Kesimpulan dan rekomendasi hasil studi tersebut antara lain menyatakan bahwa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak diberlakukan, pelaksanaan AFAS belum memberikan hasil optimal karena antara lain keengganan atau sensitivitas sebagian besar Negara anggota ASEAN membuka akses pasar dalam perdagangan di bidang jasa.

11. Dalam pembicaraan langkah-langkah lebih lanjut perundingan FTA/CEP ASEAN dengan sejumlah Mitra Dialogue, khususnya tentang perundingan ASEAN FTA dengan India, sejumlah anggota ASEAN termasuk Indonesia menyarankan untuk tidak meneruskan perundingan dengan India, karena pihak India yang masih belum menunjukkan keseriusannya dalam penyelesaian perundingan perdagangan barang. Sementara sejumlah anggota ASEAN lainnya menyarakan agar perundingan tersebut sepakat agar Malaysia selaku Co-chair bisa mengangkat hal ini kepada AEM di Kuala Lumpur.

12. Pertemuan reguler SEOM 4/37 akan diadakan pada tanggal 17-21 Juli 2006 di Singapura. Pertemuan AEM-38 di Kuala Lumpur akan diadakan pada tanggal 22-23 Agustus 2006 didahului oleh pertemuan AIA & AFTA Council, tanggal 21 Agustus 2006. Sedangkan rangkaian pertemuan ke-12 ASEAN Summit akan akan diadakan di Cebu, Philipina pada tanggal 6-13 Desember 2006.


PENGAMATAN

13. Nampaknya upaya pemenuhan target liberalisasi di bidang perdagangan barang, jasa dan investasi ASEAN masih belum sepenuhnya terlaksana, karena antara lain adanya keengganan sejumlah anggota ASEAN yang belum siap untuk membuka pasarnya. Keadaan ini menyebabkan perundingan FTA dengan sejumlah Mitra Dialogue juga mengalami hambatan.

14. Beberapa komitmen yang telah disepakati di bidang perdagangan barang dan jasa dalam kerangka CEPT-AFTA tidak sepenuhnya dapat dipenuhi, antara lain tidak melaksanakan komitmen pemberian konsesi tarif atas produk ekspor tertentu, dan adanya keinginan negara anggota tertentu untuk menunda atau memperlambat komitmen penghapusan NTBs.

15. Berbagai komitmen yang telah disepakati dengan Mitra Dialog terutama dengan China dan Korea telah mengakibatkan skema CEPT-AFTA terkait dengan Rules of Origin (ROO) telah menjadi ”worse off”, tidak lagi kondusif untuk mendorong dunia usaha di negara anggota ASEAN dalam peningkatan perdagangan intra-ASEAN. Hal ini mencerminkan negara anggota ASEAN lebih memfokuskan perhatiannya kepada kerjasama ASEAN dengan Mitra Dialog, merupakan ASEAN sebagai satu entitas dalam pengembangan ekonomi khususnya perdagangan sebelum membuka diri kepada negara lain di luar ASEAN.

16. Dari hasil pengamatan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jika tidak ada usaha-usaha strategis atau ”breakthroughs” atau ’mindset’ baru oleh ASEAN, sangat sulit diharapkan terwujudnya percepatan (akselerasi) AEC dari tahun 2020 menjadi 2015.


TINDAK LANJUT

17. Perlunya diadakan rapat-rapat koordinasi dalam menghadapi pertemuan Special SEOM di Jakarta, 3-7 Juli 2006 dan SEOM 4/37, tanggal 17-21 Juli 2006 di Singapura, dengan mengikut sertakan sejumlah instansi dan dunia usaha terkait .

18. Perlunya menyiapkan konsep Peraturan Menteri Keuangan tentang Implementasi Phase-1 dan Phase-2 dari PIS sesuai dengan batas akhir yang sudah disepakati yaitu selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2006 untuk Phase-1 dan tanggal 31 Maret 2007 untuk Phase-2.

Yangon, 22 Juni 2006
Rating: 5 Reviewer: Info Petani - ItemReviewed: ASEAN SEOM 3/37 di Yangon - 9756people
Info Petani -
728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
 
5 Info Petani © 2012 Design Themes By Blog Davit