728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
 
Respon Pembentukan Antibodi pada Tikus Putih Terhadap Vaksin ompA-rekombinan Feline Chalmydiosis
PUDJIATMOKO
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(National Veterinary Drug Assay Laboratory)
Gunungsindur, Bogor 16340, Indonesia

ABSTRACT

The ompA-recombinant protein produced by E. coli BL21 (DE3)plysS containing pRSETA/ompA gene of feline Chlamydia psittaci B 166 strain was purified using method of Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). To eliminate guanidine hydrochloride, the suspension of ompA-recombinant protein was dialyzed in 20 mM Tris pH 7.8, glycerol 10% and phenylmethylsulfonyl fluoride containing 0,1 M MgCI2 CaCl2, NaCI or KCI. To prepare the vaccines, the purified proteins were emulsified with oil adjuvant. One ml of each vaccine was injected intramuscularly to 4 spesific pathogen free rats 8-week-old. The second vaccination was performed at 3 weeks post first vaccination. IgG antibody titer against feline Chlamydia psittaci was measured using microimmunofluorescence test at a week post second vaccination. Vaccination using ompA-recombinant could initiate IgG antibody in 21 of 24 vaccinated rats. IgG antibody titer or rats vaccinated with materials dialyzed in dialysis buffer containing KCl has highest titer ranged from 1:16 to 1:64, and its geometric mean titer is 1 :38. The results of the present study indicate that the ompA-recombinant protein of chlamydia used for main component of vaccine may initiate antibody against feline C. psittaci in rats.

Key words: Chlamydia, cat, ompA, rat, vaccine

ABSTRAK


Protein ompA-recombinan yang dihasilkan oleh E. coli BL21(DE3)plysS yang mengandung rekombinan plasmid pRSETA/gen ompA feline Chlamydia psittaci galur B 166 dimurnikan dengan cara Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). Untuk menghilangkan guanidine hydrochloride, suspensi ompA-rekombinan didialisis dengan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8, glycerol 10% dan phenylmethylsulfonyl fluoride yang mengandung 0, I M MgCI2, CaCI2, NaCI atau KCI. Tiap-tiap protein yang telah dimurnikan tersebut diemulsikan dengan adjuvan minyak untuk dijadikan vaksin. Satu ml tiap-tiap vaksin tersebut disuntikan secara intramuskular pada 4 ekor tikus putih specific pathogen free (SPF) umur 8 minggu. Vaksinasi kedua dilakukan 3 minggu setelah vaksinasi pertama. Seminggu setelah penyuntikan kedua titer antibodi IgG diukur dengan microimmunofluorescence test. Vaksinasi menggunakan protein ompA-rekombinan feline C. psittaci ini bisa merangsang terbentuk antibodi IgG pada 21 dari 24 tikus yang divaksin. Titer antibodi IgG tikus yang divaksin dengan material yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung KCl mempunyai titer tertinggi berkisar antara 1:6 dan 1:64 dengan geometric mean titer 1:38. Dari hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa protein ompA-rekombinan Chlamydia yang digunakan sebagai komponen utama vaksin bisa merangsang timbulnya antibodi terhadap C. psittaci pada tikus putih.

Kata kunci : Chlamydia, kucing, ompA, tikus, vaksin

PENDAHULUAN


Feline Chlamydia psittaci adalah bakteri Gram negative yang merupakan parasit obligate intracellular yang menyerang kucing (Moulder et aI., 1984) yang menyebabkan conjuctivitis, rhinitis dan pneumonia (Hoover et aI., 1978, Johnson, 1984, Baker et aI., 1942). Organisme tersebut merupakan salah satu kelompok genetik genus Chlamydia yang diajukan sebagai spesies baru (Pudjiatmoko et aI., 1997) dan kemudian dinamakan Chlamydophyla felis (Everett et aI., 1999).

Dalam menanggulangi penyakit Chlamydiosis pada manusia telah digunakan chlamydia utuh sebagai vaksin inaktif yang diberikan secara intramuskuler, .tetapi masa proteksi yang diperoleh singkat dan vaksinasi dengan cara ini bisa menimbulkan sakit yang lebih parah selama masa infeksi berikutnya, hal ini mungkin disebabkan reaksi patogen terhadap antigen Chlamydia tertentu (Grayston dan Wang, 1978; Grasyton dan Wang, 1975).

Pada studi sebelumnya menunjukan bahwa E. coli BL21(DE3)plysS yang mengandung rekombinan ompA-­pRSETA bisa memproduksi protein ompA-rekombinan 40 kDa yang bisa bereaksi dengan antibodi monoclonal major outer membrane protein (MOMP) C. psittaci G-IB6 dan protein rekombinan tersebut diusulkan untuk digunakan sebagai salah satu komponen utama vaksin chlamydiosis pada kucing (Pudjiatmoko, 1999a).

Vaksin menggunakan immunogene ompA- rekombinan diharapkan akan lebih cepat, mudah dan ekonomis dalam mempersiapkan immunogene dan bisa menghindari efek samping vaksin Chlamydia utuh. Penelitian kali ini bertujuan mempelajari respon immunigenisitas vaksin ompA-rekombinan feline C. psittaci pada tikus putih.

BAHAN DAN METODE


Ekspresi Protein ompA-rekombinan
Prosedur untuk memproduksi protein ompA ­rekombinan dilakukan seperti pada studi awal pembuatan vaksin feline chlamydiosis sebelumnya (Pudjiatmoko, 1999a), gen ompA feline C. psittaci galur B166

respon1



(Gambar 1) disisipkan pada vektor plasmid pRSETA yang mengandung 6 tandem residu histidine (invitrogen BV, The Netherland) (Gambar 2) pada tempat restriksi antara enzim BamHI dan XhoI. Plasmid rekombinan pRSETA/gen ompA feline C. psittaci ditransformasikan ke dalam E. coli BL21 (DE3)plysS dengan ciri-ciri genotipe F, ompT hsdSB (rB mB) gal dcm (DE3) plysS (CamR). E. coli yang telah memperoleh rekombinan pRSETA-ompA tersebut dibiakan pada media Terrific broth (TB) yang mengandung 10 µg/ml Carbenicillin dan 34 µg/ml Chloramphenicol. Ekspresi gen ompA diinduksi dengan cara menambahkan 1,0 mM Isopropyl-ß-D-­thiogalactopyranoside (IPTG) ke dalam biakan tersebut pada suhu 37 C. Sebelum dilakukan pengecekan protein ompA-rekombinan, E. coli BL21(DE3)plysS dilisis dengan menggunakan French pressure cell yang dioperasikan pada tekanan 16.000 - 18.000 Lb/inz (Hopkins, 1992).

Pembuatan Vaksin
Protein ompA-rekombinan dimurnikan dengan column yang berisi resin ProBondTM menggunakan Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands). Sel E. coli BL21(DE3)plysS yang telah dipanen dilisis dengan 10 ml guanidium lysis buffer (6M guanidine hydrochloride, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 7,8) selama 10 menit. Untuk menguraikan DNA dan RNA, suspensi sel E. coli disonikasi dengan frekuensi tinggi selama 10 detik tiga kali. Supematan dikumpulkan setelah pemusingan pada 3.000 x g selama 15 menit.

Sepuluh ml supernatan tersebut diaplikasikan pada column yang telah dialiri dengan denaturing binding buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 7,8). Protein ompA-rekombinan dipisahkan dengan denaturing elution buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 4,0) setelah dilakukan pencucian terlebih dahulu dengan denaturing washing buffer (8M urea, 20 mM sodium phosphate, 500 mM sodium chloride, pH 6,0 dan pH 5,3).

Protein ompA-rekombinan ini dibagi menjadi 4 bagian dengan volume yang sarna, masing-masing bagian dimasukkan ke dalam seamless cellulose tube (Viskase sales corp., Japan) dan didialisis menggunakan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8, glycerol 10% dan phenylmethylsulfonyl fluoride (PMFS) dimana setiap larutan dapar terse but mengandung 0,1 M MgCI2, CaCl2, NaCI atau KCl. Setelah dialisis, material dipusing 10.000 x g selama 10 menit. Pelet dan supematan dipisahkan dan disuspensikan dengan larutan dapar yang sama sehingga mengandung protein 1 µg/ml.

Untuk kontrol positif digunakan Feline C. psittaci galur Fe/145. Chlamydia dibiakan pada sel SL pada suhu 37°C selama 4 hari, setelah dipanen Chlamydia diencerkan dengan sucrose-phosphate-glutamic acid (SPG) sehingga diperoleh suspensi chlamydia 10 pangkat 7,0 ELD50 per ml. Chlamydia diinaktifkan dengan formalin sehingga konsentrasi akhir 0.1 % selama 3 hari pada suhu 37°C.

Chlamydia yang telah diinaktifkan atau suspensi protein OmpA-rekombinan yang telah dimurnikan tersebut diemulsikan dengan adjuvan minyak yang terdiri dari minyak mineral (parafin cair) dan emulgator sorbitan mono-oleat. Vaksin disimpan pada suhu 4°C sampai dengan saatnya digunakan.

Vaksinasi pada Tikus Putih
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini tikus putih bebas patogen tertentu (specific pathogen free,SPF') umur 8 minggu diperoleh dari Kyoto Biken Laboratories, Jepang. Tigapuluh dua ekor tikus dibagi menjadi 8 kelompok (Kelompok A, B, C, D, E, F, G, dan H) sehingga tiap kelompok terdiri dari 4 ekor. Setiap ekor tikus disuntik secara intramuskuler dengan 1,0 ml vaksin yang mengandung immunogen seperti tertulis pada Tabel I. Penyuntikan diulang pada tiga minggu setelah penyuntikan pertama. Tikus dari kelompok A divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-­rekombinan dari supematan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M MgCl2 (supematan MgCl2), kelompok B divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari supernatan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M NaCI (supernatan-NaCl), kelompok C divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari supernatan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCI (supernatan-KCl), kelompok D divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-­rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapat yang mengandung 0,1 M MgCl2 (Pelet-MgCl2), kelompok E divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M NaCl (Pelet-NaCl), kelompok F divaksin dengan vaksin yang mengandung protein ompA-rekombinan dari pelet yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCl (pelet­-KCl), dan Kelompok G divaksin dengan feline Chlamydia galur Fe/145 sebagai kontrol positif. Sedangkan kelompok H disuntik secara intramuskuler dengan campuran E. coli BL21(DE3)plysS tanpa ompA-rekombinan dan adjuvan sebagai kontrol negatif.


respon2a


Microimmunofluorescence Test
Sampel serum tikus putih dikumpulkan pada saat sebelum vaksinasi dan seminggu setelah vaksinasi kedua (booster). Microimmunofluorescence test dilakukan mengikuti prosedur penelitian sebelumnya (Pudjiatmoko et al., 1996). Ringkasnya, 1µl antigen (feline C. psittaci galur Fe/145 dan Cello) diulaskan pada 12-well teflon­coated slide (Cell-line Associated Inc., Newfield, N.J., US) dan dikeringkan dalam suhu kamar dan difiksasi dengan methanol dingin selama 10 menit, dan 10 µl serum yang telah diencerkan (pengenceran secara seri kelipatan dua, dimulai dari 1 :4) diteteskan pada setiap lubang dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 60 menit. Setelah inkubasi slide dicuci tiga kali dengan PBS(-) selama 5 menit. Kemudian direaksikan dengan 10 µl fluorescence­isothiocyanate-conjugated goat anti-rat IgG (Cappel, conchraville, Pa., USA) yang telah diencerkan 20 kali dengan PBS(-) pada suhu 37° C selama 60 menit, dilanjutkan dengan pencucian tiga kali menggunakan PBS(-) selama 5 menit. Titer antibodi ditunjukan dari pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan perpendaran Chlamydia berwarna hijau. Kontrol positif diperoleh dari hyperimmune serum tikus putih yang disuntik dengan galur Fe/145. Serum tikus putih SPF yang tidak mengandung antibodi Chlamydia pada complement fixation test dan ELISA digunakan sebagai kontrol negatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada proses ekspresi protein ompA-rekombinan, kondisi optimum yang diperoleh adalah sebagai berikut: setelah pembiakan awal dalam 3 ml TB pada suhu 37°C selama 6 jam, E. coli yang mengandung plasmid pRSETA­gen ompA dibiakan kembali pada suhu yang sama dalam 50 ml TB selama 100 menit sehingga densitas-optiknya pada pembacaan OD 600 mencapai 0,4 saat yang paling tepat untuk dimulainya induksi dengan 1 mM IPTG. Protein ompA-rekombinan terbanya~ diperoleh setelah diinduksi pada suhu 37° C selama 180 menit.

Pada pemurnian bahan immunogen, protein ompA-­rekombinan berikatan dengan resin ProBond™ dalam 20 mM larutan dapar fosfat, 500 mM NaCl pH 7,8, sedangkan sebagian besar protein sel induk semang (E. coli) tidak berikatan dengan resin ProBondTM. Sebagian kecil protein sel induk semang yang bisa berikatan dengan resin pada pH tersebut bisa dilepaskan dari resin ProBond™ dengan mudah menggunakan larutan dapat pH 6,0. Protein ompA­rekombinan dilepaskan dari resin ProBond™ dengan pencucian menggunakan larutan dapar pH 4,0.

Karena protein ompA-rekombinan yang dihasilkan insoluble (terdapat pada pelet setelah pelisisan sel) maka pemurnian protein dilakukan dalam kondisi denature dimana pada proses pelisisan sel digunakan guanidine hydrochloride. Untuk protein refolding dan mengem­balikan kemampuan aktifitas protein tersebut, perlu dilakukan penyingkiran guanidine hydrochloride dalam suspensi ompA-rekombinan. Cara untuk menyingkirkan guanidine hydrochloride diIakukan dengan cara men­dialisis suspensi ompA-rekombinan pada larutan dapat yang mengandung MgCI2, NaCl, KCl atau CaCI2

Dialisis dengan larutan dapar yang mengandung CaCl2 menyebabkan timbulnya banyak agregasi protein ompA-rekombinan sehingga protein yang dihasilkannya tidak baik untuk immunogen sehingga tidak digunakan sebagai vaksin. Dialisis menggunakan larutan dapar yang mengandung MgCl2 dan NaCl menimbulkan sedikit agregasi protein ompA-rekombinan. Sedangkan ompA-­rekombinan sedikit sekali mengalami agregasi ketika didialisis menggunakan larutan dapar yang mengandung KCl. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis immunobloting, band protein ompA-rekombinan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung KCl terlihat lebih jelas dibanding dengan ompA-rekombinan yang didialisis dengan larutan dapar yang mengandung MgCl2 dan NaCl. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa larutan dapar yang mengandung KCl bisa dengan baik menyingkirkan guanidine hydrocloride dalam proses protein refolding sehingga protein ompA-rekombinan tidak rusak, bisa bereaksi dengan monoclonal antibody G-IB6 yang khas terhadap outer membrane protein C. psittaci dan bisa digunakan sebagai immunogen. Dialisis dengan larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8 10% glycerol, 1 mM PMFS yang mengandung KCl bisa dipergunakan dalam pemurnian ompA-rekombinan.

Untuk mengetahui immunogenisitas ompA-rekom­binan, titer antibodi IgG serum tikus yang divaksin diukur dengan menggunakan microimmunofluorescence test. Sebelum dilakukan vaksinasi yang pertama semua tikus tidak mempunyai antibodi terhadap C. psittaci. Pada seminggu setelah vaksinasi kedua, tikus kelompok kontrol negatif tidak seekorpun yang mempunyai titer antibodi terhadap C. psittaci, sedangkan tikus dari kelompok C mempunyai geometric mean titer (GMT) tertinggi yaitu 1 :38, titer bervariasi antara 1: 16 dan 1 :64 (TabeI2). GMT yang kedua, tikus dari kelompok F yaitu 1:23 dengan kisaran titer antara 1:16 dan 1:32, diikuti kelompok D dengan GMT 1:13, dengan kisaran titer 1:8 dan 1:16, kemudian kelompok E dengan GMT 1: 10 dengan kisaran titer 1:8dan 1:16. Sedangkan kelopok A dan B mempunyai GMT masing-masing 1:4 dan 1 :8. Titer antibodi kelompok kontrol positif yang divaksin dengan vaksin yang mengandung Chlamydia utuh berkisar antara 1:32 dan 1:64 dengan GMT 1:45. Keberagaman titer kelompok satu dengan kelompok yang lain ini menunjukkan bahwa larutan dapar yang digunakan untuk dialisis mempengarui kwalitas immunogen yang dihasilkan.

Seminggu setelah vaksinasi kedua, 21 ekor dari 24 ekor yang divaksin dengan vaksin ompA-rekombinan mempunyai titer antibodi IgG terhadap feline C. psittaci.

respon3


Titer antibodi tersebut berkisar antara 1:8 sampai dengan 1:64. Baik material yang berasal dari pelet maupun dari supernatan bisa merangsang timbulnya antibodi IgG pada tikus. Tikus kelompok C yang divaksin dengan konsentrasi ompA-rekombinan tertinggi menunjukkan titer antibodi IgG yang tertinggi kemudian diikuti oleh tikus yang berasal dari kelompok F. Kedua kelompok C dan F tersebut merupakan kelompok yang divaksin dengan ompA­-rekombinan yang didialisis dalam larutan dapar yang mengandung 0,1 M KCI. Tikus kelompok C divaksin dengan ompA-rekombinan yang berasal dari supernatan, sedangkan tikus dari kelompok F divaksin dengan ompA-­rekombinan yang berasal dari pelet. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin ompA-rekombinan bisa menginduksi antibodi IgG terhadap feline C. psittaci.

Vaksin yang dibuat dari immunogen ompA-rekom­binan yang didialisis dengan MgCl2 dan NaCl menim­bulkan antibodi degan GMT kurang dari 1: 14. Sedangkan vaksin yang diperoleh dari protein yang didialisis dengan menggunakan KCl memperlihatkan kemampuan untuk menimbulkan terbentuknya IgG pada tikus cukup tinggi. Immunogen ompA-rekombinan yang berasal dari super­natan lebih banyak dari pada yang berasal dari pelet. Hal ini memperlihatkan bahwa protein ompA-rekombinan larut dalam denaturing elution buffer. Dari hasil-hasil ini menunjukkan larutan dapar dialisis yang mengandung KCl bisa digunakan dalam dialisis sehingga ompA-rekombinan bisa digunakan sebagai immunogen.

Pada studi kali ini vaksin yang mengandung Chlamydia 10 pangkat 7,0 ELD50 yang bisa merangsang terbentuk antibodi IgG cukup tinggi pada kelompok G. Hasil ini sesuai dengan hasil studi terdahulu tentang respon dosis vaksin inaktif yang menyatakan bahwa untuk memperoleh kekebalan yang cukup terhadap infeksi Chlamydia pada kucing, sebaiknya vaksin inaktif yang diberikan mengandung Chlamydia lebih besar lO pangkat 5,5ELD50 (Pudjiatmoko, 1999b). Titer antibodi yang diperoleh cukup tinggi pada kelompok C menunjukkan bahwa immunogen ompA-rekombinan bisa digunakan sebagai komponen utama vaksin Chlamydosis pada kucing. Untuk mengetahui potensi vaksin tersebut perlu dilakukan uji potensi menggunakan hewan percobaan kucing yang ditantang dengan Chlamydia hidup untuk mengetahui kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin ompA­-rekombinan tersebut.

KESIMPULAN


Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) protein ompA-rekombinan Chlamydia yang digunakan sebagai komponen utama vaksin bisa merangsang timbulnya antibodi pada tikus putih. (2) Protein ompA-­rekombinan feline Chlamydia dapat dimurnikan dengan Xpress system protein purification (Invitrogen BV, The Netherlands) menggunakan kolom resin ProBond™, (3) Larutan dapar 20 mM Tris pH 7,8 10% glycerol, 1 mM PMFS yang mengandung KCl bisa digunakan untuk dialisis ompA-rekombinan dalam mengeliminasi guanidine hydrochloride,dan (4) untuk menguji potensi vaksin ompA-rekombinasi Chlamydia perlu dilakukan studi respon immungenisitas ompA-rekombinan Chlamydia pada kucing dengan menggunakan tantangan Chlamydia hidup.

UCAPAN TERIMAKASIH


Penulis sampaikan terimakasih kepada Dr. Masubuchi Katsuo dan Dr. Iwamoto Kayo atas bantuan teknis yang diberikan dalam penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Society of Techno-inovation for Agriculture, Forestry and Fisheries (STAFF) Jepang.

DAFTAR PUSTAKA


Baker, J.A.A. 1942. A virus obtained from pneumonia of cats and its possible relation to the cause of atypical pneumonia in man. Science 96: 475-476.

Cello, R.M. 1967. Ocular infections in animal with PLT (Bedsonia) group agents. Am. J. Opthhalmol. 64: 1270-1273.

Everett, K.D.E., R.M. Bush, A.A. Andersen. 1999.
Emended description of the order Chlamydiales. proposal of Parachlamydiaceae fam. novo and Simkaniaceae fam. nov., each contammg one monotypic genus, revised taxonomy of the family chlamydiaceae, including a new genus and five new speies,and standards for the identification of organisms. Int. J. Syst. Bacteriol. 49: 415-440.

Hoover, E.A., D.E. Kahn, and J.M. Langloss. 1978. Experimentally induced feline chlamydia infection. Am. J. Vet. Res. 39: 541-547.

Hopkins, T.R. 1991. Physical and chemical cell discription for the recovery intercellular proteins. in: Purification and analysis of recombinant proteins (R. Seetharam and S.K. Sharma, eds.) pp 57-83. Marcell Dekker, New York.

Johnson, F.W.A. 1984. Isolation of Chlamydia psittaci from nasal and conjuctival exudate of a domestic cats. Vet. Rec. 114: 342--344.

Moulder, J. W., T.P. Hatch, C.-C. Kuo, J. Schachter, and J. Storz. 1984. Genus 1. Chlamydia Jones, Rake and Stearns 1945,55 AL. In: Krieg, N.R. and J.G. Holt (eds.) bargey's Manual of Systematic Bacteriology. Vol. 1, pp. 729-739. Williams and Wilkins. Baltimore.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi, and K. Hirai. 1996. Seroepidemiology of feline Chlamydiosis by microimmunofluorescence assay with multipe strains as antigen. Microbiol. Immunol. 40:755-759.

Pudjiatmoko, H. Fukushi, Y. Ochiai, T. Yamaguchi, and K. Hirai. 1997. Phylogenie analysis of the genus Chlamydia based on 16S rRNA gene sequences. Int. J. Syst. Bacteriol. 47: 425-431.
Pudjiatmoko. 1999a. Studi awal pembuatan vaksin feline Chlamydiosis menggunakan protein rekombinan outer membrane protein A (ompA). Inovasi 8: 46-58.

Pudjiatmoko. 1999b. Respon dosis vaksin inaktif Chlamydiosis galur Fe/145 pada kucing. pp. 269-272. In: Proceeding of The 8th Scientific meeting of Indonesian Student Association, Osaka, Japan.


Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan nomor 8 tahun 2001
Rating: 5 Reviewer: Info Petani - ItemReviewed: Respon Pembentukan Antibodi pada Tikus Putih Terhadap Vaksin ompA-rekombinan Feline Chalmydiosis - 9756people
Info Petani -
Kilas Balik - PROGRAM KETAHANAN PANGAN 2005-2010
KONDISI SEBELUM 2005

Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan
Rating: 5 Reviewer: Info Petani - ItemReviewed: Kilas Balik - PROGRAM KETAHANAN PANGAN 2005-2010 - 9756people
Info Petani -
Identifikasi Subtipe Virus Avian Influenza Isolat Legok Menggunakan Polymerase Chain Reaction
PUDJIATMOKO, BAHRUDDIN SYAHRONI HASIBUAN, SRI MURNI ASTUTI, EMILIA DAN ENUH RAHARJO JUSA
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
(National Veterinary Drug Assay Laboratory), Gunungsindur, Bogar 16340, Indonesia

ABSTRACT

The virology laboratory of Veterinary Drug Assay Laboratory isolated a virus which caused respiratory clinical signs in chicken from a layer farm, in Legok, Tangerang. The clinical signs of the disease were very similar to the avian influenza. The virus isolate was then identified by RT-PCR using Primer NP-1200f and NP-1529r that amplified nucleoprotein gene of all influenza virus of poultry, man, pig and horse, and using 15 pair of HI­-15 primer that amplified haemagglutinin antigen (HA) of avian subtype. The result of RT-PCR showed that both of the genes of Legok isolate were amplified with NP-1200f and NP-1529r pair and H5-131f and H5-580r pair primers. The result indicated that the Legok isolate was an avian influenza subtype H5Nl.

Key word: Avian influenza, RT-PCR, Nucleoprotein, hemagglutinin, Legok isolate.

ABSTRAK

Laboratorium virologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan telah mengisolasi virus avian influenza yang berasal dari ayam dengan gejala klinis kelainan saluran pernafasan, dari peternakan ayam layer di Legok, Tangerang. Gejala penyakit yang ditimbulkan menyerupai penyakit avian influenza. Isolat virus diidentifikasi menggunakan RT-PCR dengan sepasang primer NP-1200f dan NP-1529r yang dapat mengamplifikasi gen Nucleoprotein (NP) dari semua virus influenza dari unggas, manusia, babi dan kuda serta menggunakan 15 pasang primer HI-15 yang dapat mengamplifikasi gen Hemagglutinin (HA) dari subtipe virus avian influenza. Hasil RT-PCR memperlihatkan kedua gen dari virus isolat Legok tersebut dapat teramplifikasi menggunakan pasangan primer NP-1200f dan NP-1529r, dan dengan pasangan primer H5-131f dan H5-580r. Hasil ini menunjukkan bahwa isolat Legok termasuk virus AI subtipe H5N I.
Kata kunci: Avian influenza, RT-PCR, Nucleoprotein, Hemagglutinin, isolat Legok

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) adalah penyakit sangat menular disebabkan oleh virus influenza tipe A, termasuk dalam famili Orthomyxoviridae (Lamb and Krug, 1996). Virus avian influenza dibagi menjadi 15 subtipe HA (H1-H15) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Rohm et al., 1996). Diantara 15 subtipe HA, hanya H5 dan H7 yang tergolong sangat virulen pada unggas. Perbedaan asam amino di antara subtipe HA tersebut sebesar 20%-74%, sedangkan perbedaan asam amino dalam subtipe HA yang sama hanya 0%-9% (Air, 1981). Berdasarkan perbedaan asam amino ini, Lee, et al. (2001) telah merancang primer yang digunakan dalam RT-PCR untuk identifikasi cepat subtipe HA virus avian influenza.

Pada bulan Oktober 2003 telah diisolasi pertama kali di Indonesia virus AI dari ayam layer di Legok Tangerang dengan gejala kelainan pada saluran pernapasan. Untuk mengetahui subtipe virus avian influenza tersebut dilakukan identifikasi dengan metoda RT-PCR menggunakan 15 pasang primer yang ditargetkan pada gen Hemagglutinin (HA) virus. Dari hasil identifikasi ini dapat dilaporkan bahwa cDNA dari isolat tersebut teramplifikasi dengan menggunakan sepasang primer khusus subtipe H5N1.

BAHAN DAN METODA

1. Isolat Virus
Spesimen isolat virus yang diidentifikasi merupakan isolat virus AI strain Legok dalam cairan allantois yang diperoleh dari laboratorium virologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH).

2. Ekstraksi RNA virus berasal dari cairan allantois
RNA diekstraksi menggunakan TRIZOLLSREAGENT (INVITROGEN). Prosedur secara singkat sebagai berikut, 250 µl suspensi virus isolat dicampur dengan 750 µl trizol dalam micro tube hingga rata. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu kamar (25-30°C) selama 5 menit untuk memisahkan nucleoprotein. Setelah ditambahkan dengan 200 µl chloroform, campuran dikocok dengan tangan selama 15 detik, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 10 menit. Campuran dipusing 12.000 rpm pada suhu 2-8°C selama 15 menit. Lima ratus µl fase cair pada supernatan dipindahkan ke microtube baru. Selanjutnya ditambahkan dengan 500 µl isoprophil alkohol. Kemudian disimpan pada suhu kamar selama 10 menit. Setelah dipusing 12.000 rpm pada suhu 2 - 8°C selama 10 menit supernatannya dibuang. Endapan RNA dicuci dengan 1.000 µl ethanol 75% dan dipusing 12.000 rpm suhu 2 - 8 C selama 5 menit. RNA dikeringkan selama 7 menit dan dilarutkan dengan 10 µl air suling bebas RNAse.

3. Pembuatan cDNA
Pembuatan cDNA menggunakan metoda SuperScript First-Strand Synthesis System for RT-PCR (Invitrogen). Prosedur ringkasnya adalah sebagai berikut, ke dalam 0,5 ml microtube dibuat campuran RNA/primer yang berisi 3 µl RNA contoh, 1 µl 10 mM dNTP mix, 1 µl antisense primer, 5 µl air suling bebas RNase. Campuran ini dipanaskan pada suhu 65°C selama 5 menit, kemudian didinginkan di atas es sekurang - kurangnya selama 1 menit. Pada saat pemanasan campuran diatas, disiapkan pula 9 µl pereaksi yang terdiri dari 2 µl 10X RT buffer, 4 µl 25 mM MgC12, 0,2 µl 0,1 M DTT dan 1 µl RNaseOut (RNase inhibitor). Campuran RNA/primer dicampur dengan pereaksi, kemudian diinkubasi pada suhu 42°C selama 2 menit. Satu µl SuperScript II RT ditambahkan ke dalam campuran tersebut, dan inkubasi dilanjutkan lagi selama 50 menit. Reaksi ini diakhiri dengan pemanasan 70°C selama 15 menit dan pendinginan di atas es. Kedalam campuran RNA, primer dan pereaksi ditambahkan 1 µl RNAse H dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 20 menit.

4. Primer
Untuk identifikasi virus influenza dipergunakan sepasang primer yang dapat mengamplifikasi 329 bp fragmen gen nucleoprotein, NP-1200f [5'CAG(A/G)TACTGGGC(A/T/C)ATAAG(A/G)AC-3] dan NP­1529r [5' -GCATTGTCTCCGAAGAAATAAG-3 ']. Untuk mengidentifikasi subtipe virus avian influenza digunakan 15 pasang primer seperti pada Tabel 1.
isolat legok1 documen
5. Amplifikasi cDNA
Amplifikasi cDNA dilakukan berdasarkan metoda Super Script First-Stand Synthesis System for RT-PCR (Invitrogen). Amplifikasi cDNA dilakukan dalam 50 µl campuran reaksi yang mengandung 5 µl 10X PCR reaction buffer tanpa Mg, 1,5 µl 50 mM MgC12, 1 µl 10 mM dNTP mix, 0,5 µl 50 µM primer (forward), 50 µM primer (reverse), 0,4 µl (2 unit) Platinum Taq DNA polymerase (Invitrogen), 2 fl1 cDNA dan 38,1 µl air suling yang telah diautoclave. Amplifikasi cDNA dilakukan menggunakan Astec Program temperature control system PC-800, dengan urutan perputaran suhu, 95°C selama 3 menit (denaturasi awal) , 35 kali putaran 95°C selama 30 detik (denaturasi), 50°C selama 40 detik (annealing), noc selama 40 detik (ekstensi), dan diakhiri dengan ekstensi noc selama 10 menit.
Photobucket

6. Elektroforesis
Hasil RT-PCR dielektroforesis menggunakan Mupid-2 pada 2% agarose (Promega) dengan running buffer TBE selama 60 menit. Band DNA diwarnai dengan ethidium bromide, dan gambarnya didokumentasikan menggunakan kamera digital (Fuji FinePix, A202).

HASIL DAN PEMBAHASAN

cDNA yang dipero1eh dari isolat virus AI dari Legok, Tangerang dapat menghasilkan band gen Nucleoprotein sekitar 330 bp pada RT-PCR menggunakan primer pasangan NP1200f dan NP1529r (Tabel 2). Pasangan primer tersebut dapat mengamplifikasi gen Nucleoprotein yang berasal dari virus influenza yang berasal dari unggas, babi dan kuda (Altmuller et al., 1989; Gorman et al., 1990; Shu et al., 1993; Lee et al., 2001). Pada elektroforesis, contoh sampel dari virus AI isolat Legok dapat menghasilkan band DNA tersebut berarti gen Nucleoproteinnya dapat teramplifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa virus isolat Legok benar sebagai virus influenza.

Untuk mendukung hasil RT-PCR menggunakan primer umum virus influenza, cDNA isolat Legok juga diuji menggunakan 15 primer HA yang dapat digunakan untuk deteksi subtipe HA virus avian influenza. Terdapat satu pasang primer yang dapat mengamplifikasi gen hemagglutinin virus tersebut yaitu pasangan primer H5­-131f dan H5-580r (Tabel 2), produk PCR yang dihasilkan sekitar 450 bp. Hal ini menunjukkan bahwa virus AI isolat Legok yang diidentifikasi virus avian influenza merupakan subtipe H5N1.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Antonius dan Ratnawati atas bantuan reagen serta kepada Deden Amijaya atas bantuan pengambilan gambar menggunakan digital kamera.

DAFTAR PUSTAKA

Air, G.M. 1981. Sequence relationship among the hemagglutination gene of 12 subtype of influenza a virus. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 78,7639-7643.

Altmuller, A., W.M. Fitch, C. Scholtissek. 1989.
Biological and genetic evolution of the nucleoprotein gene of human influenza A viruses. 1. Gen. Virol. 70, 2111 - 2119.

Gorman, O.T., W.J. Bean, Y. Kawaoka, W.G. Webster. 1990. Evolution of the nucleoprotein gene of influenza A virus. 1. Virol. 64.1487 -1497.

Lamb, R.A., R. M. Krug. 1996. Orthomyxoviridae: the viruses and their replication. In: B.N. Fields, D.M. Knipe, P.M. Howley, R.M. Chanoek, J.L. Melnick, T.P. Momath, B. Roizman Teds.), Field Virology, 3rd ed., Lippincott-Raven, Philadelphia, PA.

Lee, M.S., P.C. Chang, J.H. Shien, M.C. Cheng, H.K.
Shieh. 2001. Identification and subtyping of avian influenza viruses by reverse transcription-PCR. J. Virol. Met. 97, 13-32.

Rohm, c., N. Zhou, J. Suss, J. Mackenzie, R. G.
Webster. 1996. Characterization of a novel influenza hemagglutinin, H15: criteria for determination of influenza A subtypes. Virology 15, 508 -516.

Shu, L.L., W.J. Bean, R.G. Webster. 1993. Analysis of the evolution and variation of the human influenza A virus nucleoprotein gene from 1933 to 1990. J. Virol. 67,2723-2729.

Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan no. 10 tahun 2004.
Rating: 5 Reviewer: Info Petani - ItemReviewed: Identifikasi Subtipe Virus Avian Influenza Isolat Legok Menggunakan Polymerase Chain Reaction - 9756people
Info Petani -
728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
 
5 Info Petani © 2012 Design Themes By Blog Davit