Info Petani -
“Jangan ada sejengkal pun lahan kosong,” demikian Wakil Gubernur (Wagub) HM Masduki berpesan kepada masyarakat petani di Desa Cibingbin, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Jumat (29/5) lalu. Kala itu, Wagub melakukan kunjungan kerja melihat hasil proyek-proyek di lingkungan Pemprov Banten, baik berkaitan pendidikan, pertanian, kelautan, kehutanan, infrastruktur, hingga pemberdayaan masyarakat. Sehari sebelumnya, beliau melakukan perjalanan dari Kabupaten Lebak bagian timur hingga Lebak bagian selatan, lalu tiba di Kabupaten Pandeglang bagian selatan.
Wagub melanjutkan ungkapannya bahwa lahan bisa menjadikan pemiliknya sejahtera. Jika tidak dikelola, maka kerugiannya sangat besar. Penulis yang ada mendampingi Wagub saat itu termenung sejenak mendengar ungkapan itu. Begitu sangat dalam maknanya. Mengapa?
Lahan diciptakan untuk dikelola secara baik. Pengelolaan ini bertujuan untuk mendapatkan penghasilan bagi pemiliknya. Tanpa dikelola, lahan akan menjadi petaka. Musibah longsor, banjir, hingga gangguan alam lainnya adalah berawal dari lahan yang tidak dikelola dengan baik.
Pemandangan di hadapan rombongan pejabat Pemprov Banten termasuk Wagub yang didampingi para anggota kelompok tani hutan dan pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah hamparan pohon jati (Tectona grandis) yang luasnya ratusan hektar. Pohon jati yang ditanam di lahan masyarakat itu adalah hak milik masyarakat. Umur pohon jati yang tumbuh itu berumur 2 dan 3 tahun, buah dari program rehabilitasi lahan baik yang didanai APBD Banten maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan, pada tahun 2005 dan tahun 2006. Ada juga hamparan kecil nun jauh pohon akasia, yang batangnya sudah terlihat berwarna jingga. Kalau jati bisa dipanen sekitar 7 tahun lagi, sedangkan umur akasia kurang dari itu.
Penyuluh Kehutanan setempat bernama Herman bertutur kepada Wagub bahwa perubahan pengelolaan lahan oleh masyarakat seiring dengan gerakan penanaman pohon. Masyarakat, lanjutnya, merasa senang karena sudah membayangkan apa yang akan mereka lakukan setelah memanen jati 10 tahun mendatang. Rata-rata ingin berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Cita-cita yang logis.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Mohammad Yanur merinci kepada penulis, bahwa pohon jati yang dipanen dengan umur 10 tahun menghasilkan 2 kubik lebih. Jika 100 pohon yang ditebang, maka dihasilkan 200 kubik. Dan jika 1 kubik harga minimalnya Rp 1 juta, maka dihasilkan Rp 200 juta. Tentu saja belum bersih, karena harus dipotong biaya penebangan dan proses izin serta lainnya. Tapi, ratusan juta setidaknya sudah benar-benar nyata. Luar biasa. Herman dan Yanuar menegaskan, bahwa warga di Cibaliung dan sekitarnya, bisa berangkat haji, membeli mobil, membuat rumah layak, dan setidaknya hidup lebih sejahtera adalah dari hasil penjualan kayu. Karena kayu apapun saat ini tidak pernah tidak laku untuk dijual.
Pertanyaan saya, bagaimana petani hutan itu memenuhi kehidupan harian, mingguan, atau bulanannya? Karena, jati dipanen 10 tahun setelah tanam? Yanuar menjawab, yakni dengan memadukan penanaman pohon musiman, baik pangan maupun palawija. Atau bisa juga dengan memanfaatkan hasil hutan lainnya, baik jamur, madu, hingga pembuatan pupuk kompos. Jadi tidak perlu dikhawatirkan, ujarnya. Memang syarat utamanya untuk bisa berdaya adalah masyarakat tidak malas. Dibantu dengan bimbingan penyuluh atau pendamping, maka hal itu akan mewujud sempurna.
Wagub sebelum meninjau ke lokasi penanaman jati juga meninjau demplot penanaman kacang kedele yang tumpang sari dengan pohon jati usia 2 dan 3 tahun. Kedele dijadikan komoditas unggulan selatan karena tanahnya yang cocok. Juga memiliki keunggulan spesifik lainnya. Mungkin perlu juga dilakukan demplot lainnya untuk penanaman jagung, ubi jalar, dan lainnya. Sehingga benar-benar tidak ada lahan kosong yang dibiarkan begitu saja. Perpaduan hutan kayu, tanaman pangan, dan palawija setidaknya mampu menjadikan masyarakat bisa lebih sejahtera. Konsep yang dikenal dengan agroforestry ini layak dikembangkan, tentu saja dengan pendampingan masyarakat yang sempurna.
Agroforestry
Hal yang paling menakjubkan saat peninjauan itu adalah, ketika penulis dan rombongan sama-sama masuk ke kawasan hutan rakyat untuk melihat agroforestry. Tepatnya di Desa Mendung, Kecamatan Cibaliung. Cerita dari anggota kelompok tani hutan dan penyuluh setempat, 5 tahun lalu kawasan itu hanya diisi tanaman perdu. Setiap kali kemarau, tentu saja gersang. Air pun langka. Hal ini menyebabkan sawah-sawah yang ada di lembah mengering. Masyarakat tidak mampu mengolah lahan sawah mereka, kecuali hanya sekedar menanam kacang-kacangan atau ubi. Itu pun hanya sedikit. Mereka lebih memilih untuk keluar desa mencari pekerjaan kasar, baik buruh petik kelapa, buruh bangunan, atau berdagang.
Namun, kini kondisi itu berubah. Di kawasan agroforestry telah tumbuh menjulang tinggi pohon akasia (Acasia mangium). Berderet berjajar rapi dengan jarak tanam 2 meter kali 2 meter. Wagub yang menyaksikan sedemikian rapat pohon itu, terkagum-kagum sambil berujar, ”Ini namanya hutan. Ini harus terus dikembangkan. Saat penebangan nanti saya minta jangan serentak, tapi tebang pilih.”
Di antara sela-sela, ditanam pohon hortikultura, antara lain durian, rambutan, dan mangga. Meski pertumbuhannya tidak sempurna, petani yakin jika pihaknya sudah melakukan penjarangan, maka pohon-pohon itu akan segera tumbuh maksimal. Harapannya, di lahan agroforestry itu, selain dihasilkan kayu juga dihasilkan buah-buahan yang menjadi unggulan Provinsi Banten. Semoga, masyarakat Banten di wilayah selatan benar-benar berjaya di bidang pertanian, kehutanan, hingga kelautan. Semoga!
Dadan A Hudaya, SP (thl tbpp kab. pandeglang/banten)
Tweet
Follow @kackdir