Info Petani -
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dalam keragaman dan jumlahnya, namun sudahkah kekayaan alam itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Ubi kayu, sagu, ubi jalar, sukun, dan puluhan ubi lainnya berpotensi menjadi sumber bahan baku tepung untuk industri berbasis pertanian. Sudah saatnya produk negeri sendiri mendapat peran yang selayaknya.
Singkong atau ubi kayu adalah anugerah bagi tanah Nusantara. Melalui batangnya yang ditancapkan ke dalam tanah dapat dihasilkan umbi sebagai sumber pangan. Namun mengapa timbul kesan kasihan, nelangsa, dan kekurangan pangan jika ada warga negeri ini yang mengonsumsi ubi kayu?. Pandangan bahwa ubi kayu identik dengan kemelaratan perlu diluruskan.Ubi kayu memang lebih murah dari beras, dan memilih ubi kayu sebagai sumber karbohidrat menggantikan beras merupakan keputusan yang bijak. Ubi kayu sewajarnya dikembalikan menjadi bagian dari pangan pokok. Dalam pemenuhan pangan, ubi kayu semestinya sederajad dengan beras sebagai sumber karbohidrat. Tabir yang menutupi keunggulan ubi kayu harus dikuak, sehingga ubi kayu mendapat tempat yang layak dan menjadi bagian dari makanan melalui transformasi menjadi sajian yang modern.
Ubi kayu sangat mudah tumbuh, namun saat ini produktivitasnya belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah petani belum banyak memberi pupuk organik dan anorganik pada tanamannya. Di Lampung sebagai penghasil ubi kayu terbesar, kesenjangan produktivitas masih jauh. Produktivitas di tingkat petani berkisar 11-17 t/ha dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, sementara di tingkat penelitian dapat mencapai 50-60 t/ha dengan memberikan pupuk kandang dan pupuk anorganik serta sistem tanam double row. Oleh karena itu perlu upaya keras untuk mendongkrak produktivitas ubi kayu, paling tidak menembus angka 35 t/ha.
Dilihat dari pemanfaatannya dalam skala besar, ubi kayu umumnya diolah menjadi tapioka dan gaplek. Rendemen yang diperoleh adalah 20-30% tapioka dan onggok sekitar 10%. Mutu tapioca sangat beragam, terutama derajad putih dan kebersihannya. Mutu gaplek juga sangat bervariasi karena penanganan yang kurang baik, bahkan tingkat kerusakan cukup tinggi.
Produk lain dari ubi kayu dalam skala kecil adalah pangan tradisional seperti tiwul dan gatot. Di beberapa daerah produk ini sudah dibuat instan atas binaan industri pangan dan peran pemerintah. Namun produk pangan tradisional ini masih kurang populer karena masalah selera dan penyajiannya kurang praktis. Bentuk olahan lainnya adalah krupuk dan berbagai camilan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, sering kali petani ubi kayu hanya berperan sebagai produsen bahan baku yang tidak memiliki akses dalam menentukan harga produk segar, ditambah kondisi terdesak atas kebutuhan uang tunai. Untuk mengatasi masalah harga, ubi kayu dapat diolah menjadi produk olahan sederhana seperti chips, sawut kering atau tepung kasava. Pengolahan dapat dilakukan oleh petani atau kelompok tani sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung kasava relatif mudah dan dapat ditangani oleh kelompok tani. Rendemen yang diperoleh berkisar 27-30%.
Tepung kasava cocok untuk substitusi terigu pada berbagai produk pangan. Ketiadaan gluten pada tepung kasava perlu dilihat sebagai keunggulan sehingga secara kesehatan dapat digunakan untuk diet bagi penderita autis. Kemampuan substitusi tepung kasava pada mi dan kue kering/biskuit mencapai 50%, pada roti 25%, dan pada produk cake dapat mengganti 100%
terigu. Peluang yang sangat besar dalam pengurangan impor gandum ini perlu didukung berbagai pihak.
Peluang lain yang cukup prospektif adalah mengolah kasava menjadi gula cair. Teknologi pengolahan gula cair skala pedesaan yang dapat dioperasikan oleh kelompok tani telah tersedia. Bahan baku gula cair tidak harus berupa tepung kasava atau tapioka kering, tetapi dapat langsung dari pati basah. Gula cair yang dihasilkan melalui proses enzimatis berupa glukosa. Bioreaktor sederhana skala 100 liter mampu mengkonversi 40 kg pati basah (kadar air 40%) menjadi 21-25 kg gula cair dalam 3 hari proses. Semakin besar kapasitas peralatan, semakin ekonomis biaya produksinya.
Sumber bahan baku tepung lainnya adalah sagu. Banyak orang mengenal pati sagu sebagai campuran dalam pembuatan kue kering dan lempeng sagu. Di Jawa Barat terdapat mi gleser yang 100% terbuat dari sagu. Dengan sedikit perbaikan pada proses pengolahannya, mi gleser telah berevolusi menjadi "mi metro" atau mi sagu yang lebih higienis, aman, dan mutu lebih baik.
Nama mi metro berasal dari Metroxilon sp. nama latin tanaman sagu.
Teknologi pembuatan mi sagu cukup sederhana meskipun berbeda dengan mi terigu, dan dapat dilaksanakan oleh kelompok tani. Sosialisasi mi sagu di daerah sentra sagu di Kabupaten Luwu Utara (Sulawesi Selatan) menunjukkan 72,5% anak SD dapat menerimanya, meskipun sebelumnya tidak mengenal mi sagu. Teknik pembuatan mi sagu dan alat pencetaknya sebagai contoh telah dicoba dan diadopsi di wilayah tersebut. Tampaknya mi sagu cocok disosialisasikan ke daerah sentra sagu lain sebagai variasi pangan dari sagu.
Secara kesehatan mengonsumsi mi sagu mendapat manfaat dari resistant starch (RS) atau pati tak tercerna. Pati ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan dalam usus manusia sehingga memiliki peran penting dalam diet. RS mampu mengikat asam empedu, meningkatkan volume feses dan mempersingkat waktu transit. RS juga mempunyai efek prebiotik.
Kandungan RS dalam mi sagu berkisar 45 mg/g, atau 4-5 kali lebih besar daripada RS mi instan asal terigu. Endang Yuli Purwani, peneliti yang menangani sagu menyatakan bahwa efek prebiotik dari RS pada orang dewasa diperoleh pada tingkat konsumsi RS 15 g tiap 3 hari. Jumlah tersebut cukup untuk menstabilkan populasi bakteri nonpatogen dalam usus.
Sumber pangan lain seperti sukun, labu kuning, ubi jalar, dan umbi lainnya (garut, ganyong, gembili) juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan setempat. Teknologi pengolahan untuk menghasilkan tepung dan pemanfaatannya, baik untuk substitusi terigu maupun produk lainnya sudah tersedia di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. (source: neocassava.blogspot.com)
dan sekian itulah artikel Mendongkrak Pemanfaatan Sumber Pangan dengan Sentuhan Teknologi terimakasih ^_^
Singkong atau ubi kayu adalah anugerah bagi tanah Nusantara. Melalui batangnya yang ditancapkan ke dalam tanah dapat dihasilkan umbi sebagai sumber pangan. Namun mengapa timbul kesan kasihan, nelangsa, dan kekurangan pangan jika ada warga negeri ini yang mengonsumsi ubi kayu?. Pandangan bahwa ubi kayu identik dengan kemelaratan perlu diluruskan.Ubi kayu memang lebih murah dari beras, dan memilih ubi kayu sebagai sumber karbohidrat menggantikan beras merupakan keputusan yang bijak. Ubi kayu sewajarnya dikembalikan menjadi bagian dari pangan pokok. Dalam pemenuhan pangan, ubi kayu semestinya sederajad dengan beras sebagai sumber karbohidrat. Tabir yang menutupi keunggulan ubi kayu harus dikuak, sehingga ubi kayu mendapat tempat yang layak dan menjadi bagian dari makanan melalui transformasi menjadi sajian yang modern.
Ubi kayu sangat mudah tumbuh, namun saat ini produktivitasnya belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah petani belum banyak memberi pupuk organik dan anorganik pada tanamannya. Di Lampung sebagai penghasil ubi kayu terbesar, kesenjangan produktivitas masih jauh. Produktivitas di tingkat petani berkisar 11-17 t/ha dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, sementara di tingkat penelitian dapat mencapai 50-60 t/ha dengan memberikan pupuk kandang dan pupuk anorganik serta sistem tanam double row. Oleh karena itu perlu upaya keras untuk mendongkrak produktivitas ubi kayu, paling tidak menembus angka 35 t/ha.
Dilihat dari pemanfaatannya dalam skala besar, ubi kayu umumnya diolah menjadi tapioka dan gaplek. Rendemen yang diperoleh adalah 20-30% tapioka dan onggok sekitar 10%. Mutu tapioca sangat beragam, terutama derajad putih dan kebersihannya. Mutu gaplek juga sangat bervariasi karena penanganan yang kurang baik, bahkan tingkat kerusakan cukup tinggi.
Produk lain dari ubi kayu dalam skala kecil adalah pangan tradisional seperti tiwul dan gatot. Di beberapa daerah produk ini sudah dibuat instan atas binaan industri pangan dan peran pemerintah. Namun produk pangan tradisional ini masih kurang populer karena masalah selera dan penyajiannya kurang praktis. Bentuk olahan lainnya adalah krupuk dan berbagai camilan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, sering kali petani ubi kayu hanya berperan sebagai produsen bahan baku yang tidak memiliki akses dalam menentukan harga produk segar, ditambah kondisi terdesak atas kebutuhan uang tunai. Untuk mengatasi masalah harga, ubi kayu dapat diolah menjadi produk olahan sederhana seperti chips, sawut kering atau tepung kasava. Pengolahan dapat dilakukan oleh petani atau kelompok tani sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung kasava relatif mudah dan dapat ditangani oleh kelompok tani. Rendemen yang diperoleh berkisar 27-30%.
Tepung kasava cocok untuk substitusi terigu pada berbagai produk pangan. Ketiadaan gluten pada tepung kasava perlu dilihat sebagai keunggulan sehingga secara kesehatan dapat digunakan untuk diet bagi penderita autis. Kemampuan substitusi tepung kasava pada mi dan kue kering/biskuit mencapai 50%, pada roti 25%, dan pada produk cake dapat mengganti 100%
terigu. Peluang yang sangat besar dalam pengurangan impor gandum ini perlu didukung berbagai pihak.
Peluang lain yang cukup prospektif adalah mengolah kasava menjadi gula cair. Teknologi pengolahan gula cair skala pedesaan yang dapat dioperasikan oleh kelompok tani telah tersedia. Bahan baku gula cair tidak harus berupa tepung kasava atau tapioka kering, tetapi dapat langsung dari pati basah. Gula cair yang dihasilkan melalui proses enzimatis berupa glukosa. Bioreaktor sederhana skala 100 liter mampu mengkonversi 40 kg pati basah (kadar air 40%) menjadi 21-25 kg gula cair dalam 3 hari proses. Semakin besar kapasitas peralatan, semakin ekonomis biaya produksinya.
Sumber bahan baku tepung lainnya adalah sagu. Banyak orang mengenal pati sagu sebagai campuran dalam pembuatan kue kering dan lempeng sagu. Di Jawa Barat terdapat mi gleser yang 100% terbuat dari sagu. Dengan sedikit perbaikan pada proses pengolahannya, mi gleser telah berevolusi menjadi "mi metro" atau mi sagu yang lebih higienis, aman, dan mutu lebih baik.
Nama mi metro berasal dari Metroxilon sp. nama latin tanaman sagu.
Teknologi pembuatan mi sagu cukup sederhana meskipun berbeda dengan mi terigu, dan dapat dilaksanakan oleh kelompok tani. Sosialisasi mi sagu di daerah sentra sagu di Kabupaten Luwu Utara (Sulawesi Selatan) menunjukkan 72,5% anak SD dapat menerimanya, meskipun sebelumnya tidak mengenal mi sagu. Teknik pembuatan mi sagu dan alat pencetaknya sebagai contoh telah dicoba dan diadopsi di wilayah tersebut. Tampaknya mi sagu cocok disosialisasikan ke daerah sentra sagu lain sebagai variasi pangan dari sagu.
Secara kesehatan mengonsumsi mi sagu mendapat manfaat dari resistant starch (RS) atau pati tak tercerna. Pati ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan dalam usus manusia sehingga memiliki peran penting dalam diet. RS mampu mengikat asam empedu, meningkatkan volume feses dan mempersingkat waktu transit. RS juga mempunyai efek prebiotik.
Kandungan RS dalam mi sagu berkisar 45 mg/g, atau 4-5 kali lebih besar daripada RS mi instan asal terigu. Endang Yuli Purwani, peneliti yang menangani sagu menyatakan bahwa efek prebiotik dari RS pada orang dewasa diperoleh pada tingkat konsumsi RS 15 g tiap 3 hari. Jumlah tersebut cukup untuk menstabilkan populasi bakteri nonpatogen dalam usus.
Sumber pangan lain seperti sukun, labu kuning, ubi jalar, dan umbi lainnya (garut, ganyong, gembili) juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan setempat. Teknologi pengolahan untuk menghasilkan tepung dan pemanfaatannya, baik untuk substitusi terigu maupun produk lainnya sudah tersedia di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. (source: neocassava.blogspot.com)
Tweet
Follow @kackdir