728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
 
Rekomendasi Rakor Penanggulangan Penyakit Hewan Menular dan Kesmavet
Pasang Iklan
Pasang Iklan
Rating: 5 Reviewer: Info Petani - ItemReviewed: Rekomendasi Rakor Penanggulangan Penyakit Hewan Menular dan Kesmavet - 9756people
Info Petani -
Rapat koordinasi penanggulangan penyakit hewan menular dan kesmavet 1-3 Maret 2011 di Surakart6a diikuti oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Perbibitan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, BBVet, Balai Karantina Pertanian, Pusvetma, BIB Lembang, BIB Singosari, BET Cipelang, BBPTU Sapi Perah Baturraden, BBalitvet, Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan UNAIR, Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan Propinsi Jawa Timur, JawaTengah, dan DI Yogyakarta, Puskeswan, Lab Keswan / Kesmavet. Setelah mengikuti danmencermati pengarahan dan paparan dari berbagai narasumber, pendapat, saran masukan serta diskusi yang berkembang maupun paparan lainnya selama pertemuan maka disampaikan rekomendasi sebagai berikut :



1. Rencana Kerja Program Kesehatan Hewan tahun 2011 difokuskan pada :

a. Pengendalian dan Pemberantasan PHMS Prioritas Nasional (Rabies, Avian

Influenza, Brucellosis, Anthrax, Hog Cholera, Jembrana)

b. Pembinaan dan Koordinasi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Hewan

c. Penguatan Puskeswan

d. Penanggulangan Gangguan Reproduksi (mendukung PSDS/K)

e. Pengawasan Obat Hewan

f. Penguatan Pengujian dan Penyidikan Veteriner



2. Pengendalian dan Pemberantasan PHMS harus diarahkan pada upaya pembebasan

penyakit secara bertahap per tahun per wilayah berdasarkan situasi epidemiologis

penyakit dan geografis wilayah. Untuk itu sangat diperlukan dukungan anggaran dan

komitmen semua pihak terkait, khususnya Direktorat Kesehatan Hewan, Balai Besar

Veteriner Wates Jogjakarta/BPPV, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan

Kesehatan Hewan, serta Karantina Hewan.



3. Berdasarkan hasil surveilans beberapa penyakit hewan strategis yang berkaitan dengan

Program PSDS/K termasuk penyakit parasiter dan gangguan reproduksi ternyata masih

cukup tingginya angka kasus di lapangan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian

ekonomi yang sangat besar oleh karena itu pengendalian dan penanggulangannya

dilaksanakan lebih intensif dengan meningkatkan dukungan anggaran pelaksanaannya

baik di pusat maupun di daerah.



4. Direktorat Kesehatan Hewan perlu melakukan bimbingan analisis resiko kepada Provinsi

dan Kabupaten/Kota, dan UPT bidang perbibitan dalam rangka penyelenggaraan

Otoritas Veteriner antara lain pengaturan lalu lintas hewan dan pembebasan,

pengendalian dan penanggulangan penyakit dengan pendekatan perwilayahan (zoning).



5. Diperlukan inisiatif spesial/khusus dalam penanggulangan reproduksi (diklat sterility

control) secara terstruktur dan terencana yang merupakan salah satu faktor penting

dalam rangka mendukung Program PSDS/K yang diwujudkan dalam suatu rincian

kegiatan dan kebutuhan anggaran pada setiap Dinas Daerah, UPT Kesehatan Hewan

dan UPT Perbibitan baik Pusat maupun Daerah.



6. Untuk mendukung pelaksanaan Sistem Layanan Kesehatan Hewan dan keberhasilan

Program PSDS/K sangat memerlukan optimalisasi peran Puskeswan dengan

menerapkan metode PDSR sebagai ujung tombak kesehatan hewan di lapangan, sangat

memerlukan penganggaran dari Pusat dan Daerah.



7. UPT Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang bertanggung jawab

terhadap pelaksanaan Surveilans Penyakit Hewan seperti : BPPV/BBVet dan

PUSVETMA (khusus PMK) yang didukung oleh Dinas Peternakan dan Dinas yang

membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk memprioritaskan kegiatan

surveilans yang sesuai kaidah epidemiologi di wilayah masing – masing, dan kerjasama

yang solid dengan BBALITVET dan BBPMSOH. Kegiatan – kegiatan pengendalian PHM

selama ini belum berdasarkan hasil kajian epidemiologi sehingga sangat minim upaya

pengukuran penyakit (disease measurement) yang dilakukan secara benar sehingga

tidak diketahui secara tepat sejauh mana status penyakit di daerah akibatnya tidak dapat

diukur secara valid derajat keberhasilan Program pengendalian PHM di suatu daerah.

Untuk itu Balai Besar Veteriner lebih meningkatkan kualitas surveilans yang benar –

benar dirancang dan dilaksanakan sesuai kaidah epidemiologi yang benar sehingga

hasil yang didapatkan bisa dipertanggung jawabkan dan mengedepankan pendekatan

epidemiologi analitik untuk setiap kegiatan surveilans.



8. Penanganan AI diprioritaskan di daerah padat penduduk dan unggas. Faktor – faktor

resiko terjadinya penularan pada manusia diminimalisasi seperti : Tempat penampungan

unggas, pasar – pasar tradisional yang menjual unggas hidup, tempat pemotongan

unggas tradisional, masih berkeliarannya unggas dipemukiman dan masih rendahnya

pemahaman masyarakat tentang penyakit AI dan resikonya.



9. Kejadian kasus Anthrax di Sragen dan Boyolali agar dijadikan perhatian dan terus

dilakukan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Dinas Propinsi Kabupaten/Kota, BBVet,

dan masyarakat agar penyakit Anthrax dapat dikendalikan dan tidak menyebar ke daerah

lain dan sosialisasi terhadap masyarakat akan bahaya penyakit Anthrax. BBVet Wates

agar melakukan surveilans post vaksinasi Anhrax di Boyolali dan sekitarnya guna

mengetahui efektivitas vaksin.



10. Pemanasan global berdampak pada lingkungan, kesehatan manusia, dan kesehatan

hewan. Dampak pada kesehatan hewan antara lain munculnya penyakit baru (new

emerging disease) dan merebaknya penyakit hewan menular yang telah lama tidak

muncul (re-emerging disease) termasuk penyakit zoonosis. Untuk menghadapi situasi

yang crusial tersebut diperlukan penguatan Sistem Kesehatan Hewan.



11. Untuk mendukung program pemerintah dalam Swasembada daging sapi dan kerbau

BBVet meningkatkan kegiatan surveilans penyakit Brucellosis terutama di kantung –

kantung ternak sapi dan kerbau. Serta Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota agar terus

mengupayakan penyelamatan sapi betina produktif. Sampai saat ini, status Brucellosis di

pulau Jawa terutama Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta masih

ditemukan walau hanya pada sapi perah. Mulai tahun ini BBVet merencanakan kegiatan

surveilans dalam rangka pembebasan pulau Madura dari penyakit Brucellosis.



12. Dinas Peternakan dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan

Hewan memberikan advokasi pada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran

pelatihan ATR, bagi petugas di RPH, UPTD, dan dokter hewan Puskeswan.



13. Untuk mendukung Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY mempertahankan bebas

rabies maka mutlak dibentuk immuno belt rabies di kabupaten Banyuwangi, Situbondo,

Brebes dan Cilacap (wilayah perbatasan).



14. Guna mendukung pencapaian status bebas Brucellosis di Jawa Tahun 2014 diharapkan

program kegiatan “test and slaughter” dapat berjalan lancar, untuk itu diharapkan Pusat,

Daerah dan stake holder (GKSI) dapat membantu dari segi pengadaan dana

kompensasi.



15. Dinas Peternakan dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan

Hewan Propinsi dan Kabupaten/Kota dan Lab. Tipe B dan Tipe C diminta secara aktif

dan rutin untuk mengirimkan laporan situasi PHM (formulir E1, E29, dan pelaporan

terjadinya wabah) di tingkatkan di daerah masing – masing kepada Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan dan tembusan ke Balai Besar Veteriner Wates. Agar

engalokasian dana ke Daerah memiliki justifikasi yang kuat.



Sumber: Ditkeswan, DItjen PKH, Kemtan



dan sekian itulah artikel Rekomendasi Rakor Penanggulangan Penyakit Hewan Menular dan Kesmavet terimakasih ^_^

SILAHKAN KLIK SUKA DI SINI JIKA SUKA ARTIKELNYA Info Petani^_^



kackdir foto bugil wallpaper uang gambar contoh coreldraw psd cdr
728x90 , banner , kackdir , space iklan space banner
 
5 Info Petani © 2012 Design Themes By Blog Davit